Part 21

106 8 0
                                    

Alda menatap nanar ke arah foto di nakasnya. Foto yang dia sambung kembali dengan selotip. Fotonya bersama kedua orang tuanya. Rasa pedih menghantamnya. Sekarang dia benar-benar menyesal telah membenci papanya. Perlahan diangkat dan diusapnya bingkai foto itu beriringan dengan tetes demi tetes air mata yang jatuh.

" Papa di mana sih? " Tanya Alda pelan sambil terisak.

Sudah satu minggu sejak dia menerima kiriman dari papanya dan papanya tidak bisa dihubungi sama sekali. Alda membuka kembali pesan-pesan yang dia kirimkan pada papanya. Sebagian besar berisi permintaan maaf dan menanyakan kabar serta keberadaan papanya.

Namun tidak ada satupun yang dibalas. Alda menghela napas dan meletakkan kembali foto itu. Kejadian beberapa hari belakangan membuatnya sensitif.

Ingatannya berputar saat Ben menciumnya di UKS, saat Ben mengobatinya, saat laki-laki itu mengajaknya ke makam kembarannya, saat laki-laki itu menembaknya, dan saat masa lalu laki-laki itu kembali hadir. Semua itu terjadi dalam waktu satu minggu.

Alda kembali berpikir tentang perasaanya yang mulai tumbuh untuk Ben. Dia takut akan kedatangan Alena dalam kehidupan Ben. Dia takut laki-laki itu berpaling.

Tiba-tiba saja lamunan Alda tersentak. Kesadaran memukulnya telak dan membuat paru-parunya menciut.

Memangnya dia siapa?

Dia tidak ada apa-apanya dibanding Alena yang lebih dulu hadir bersama Ben.

Dia bukan siapa-siapa.
Apalagi Ben dan Alena pernah saling mencintai. Tidak menutup kemungkinan rasa itu akan datang kembali.

Lalu apa arti dari kebersamaannya dan Ben selama ini?  Waktu serasa telah mempermainkannya.

Mengangkatnya tinggi-tinggi dan membuangnya dengan mudah.

Dia berharap ini semua hanya mimpi. Sehingga ketika dia bangun, dia akan tersenyum dan kembali beraktivitas seperti biasa.

Dengan lemas Alda menghidupkan layar ponselnya dan mengetikan sebuah pesan.

Papa, apa semua pecinta hujan akan pergi? 

🐢🐢🐢🐢🐢

Dengan langkah gontai Ben keluar dari ruang ujian. Hari ini hari terakhir pelaksanaan try out. Mata pelajaran Fisika cukup menguras tenaga. Ditambah dengan pikiran tentang Alda dan Alena yang membebaninya.

Ben sadar,  bahwa dua hari ini Alda menghindarinya. Gadis itu sangat menjaga jarak, terlebih ketika dia sedang bersama Alena.

" Kerut amat tuh muka " Rido merangkul Ben.

" Hmm " Jawaban Ben yang pelan terdengar seperti gumaman.

" Hari terakhir, harusnya cerah dong itu muka. Jangan macam pakaian kusut gitu dong " Kata Rido santai sambil menyeret Ben dengan sedikit pemaksaan menuju kantin. Rido beralasan rumus fisika hari ini telah menambah kadar asam lambungnya melebihi batas normal.

" Halo para gadis cantik,  dikarenakan semua meja kantin penuh, dan karena kalian cuma bertiga, kita bakal duduk di sini yah " Kata Rido sambil duduk dan menarik Ben untuk ikut duduk tanpa memperdulikan tiga pasang mata yang menatapnya dengan pandangan berbeda.

Ben duduk di hadapan Alda dan menatap canggung pada gadis itu yang kembali memakan nasi gorengnya tak acuh. Dia menelan ludahnya susah payah. Ben lebih memilih berada di ruangan ujian dan mengerjakan soal fisika paling sulit sambil diawasi Lord Voldemort saja.

" Rido. Lo kalo naksir gue bilang aja. Gak usah liat-liat dengan tatapan kayak gitu " Bentak Vira yang merasa diperhatikan.

" Enak aja,  nenek lampir. Gue itu lagi liatin Alda. Cantik banget hari ini. Lo aja yang kegeeran " Kata Rido tidak terima.  Alda sontak menatap Rido dengan malas. Vira menatap kesal dengan wajah memerah malu pada Rido. Riana hanya terkikik pelan. Namun lain halnya dengan Ben. Dia merasa.....  Aneh. Aneh dengan sikap Rido.

PetrichorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang