"Gimana keadaan mama dok? " Tanya Ben saat melihat dokter keluar dari ruang rawat mamanya.
" Mama kamu baik-baik saja. Usahakan mama kamu jangan terlalu banyak pikiran dan stres. Bisa berbahaya bagi kesehatannya. Mama kamu sudah sadar. Sudah boleh kamu jenguk " Dokter itu menjelaskan. Ben menghembuskan napas lega lalu mengangguk.
" Makasih banyak dok "
" Bukan masalah, nak. Saya permisi"
Selepas perginya dokter itu, Ben hendak mengambil jaketnya di kursi ruang tunggu untuk menemui mamanya, namun dia tersadar saat melihat Alda tertidur di kursi samping jaketnya. Gadis itu sedari tadi ada di sana dan dia melupakan kehadirannya. Ben sebenarnya tidak tega membangunkan Alda namun ia tidak mungkin meninggalkan gadis itu sendirian di sini." Alda. Bangun, Al " Ben menepuk pelan pipi Alda membuat gadis itu menggeliat sebentar lalu membuka matanya. Sedikit kaget saat menyadari itu bukan kamarnya, namun dengan cepat mengingat bahwa ia menemani Ben ke rumah sakit.
" Aduh. Sory gue ketiduran " Kata Alda pada Ben. Laki-laki itu tersenyum lalu menggeleng.
" gak apa-apa. Gue yang harusnya minta maaf karena ngerepotin." Ben nemakaikan Alda jaketnya membuat Alda kaget dan pipinya memerah.
"Mama udah sadar. Ayo ikut jengukin" Alda mengangguk dan mengekori Ben.
" Hai Ma "
" Halo sayang " Kata mama Ben. Lalu tersadar bahwa Ben tidak sendiri. " Ada teman Ben juga rupanya. Ayo sini" panggil mama Ben pelan. Alda menurut dan berdiri di sebelah Ben.
" Halo tante, aku Alda " Kata Alda sedikit kaku. Bagaimanapun juga ia tidak terlalu sering berinteraksi dengan orang dewasa selain mama dan gurunya.
" Alda? Oh, akhirnya tante ketemu juga sama kamu. Nama tante Frida. Tapi kamu boleh panggil mama. Tante udah lama pengen anak perempuan tapi gak kesampean " Kata mama Ben sambil terkekeh pelan. Alda tersenyum. Sepertinya mama Ben adalah teman mengobrol yang seru.
" Tante tau saya darimana? " tanya Alda pelan namun membuat Beb dan Mamanya terdiam. Mama Ben tersenyum penuh arti menatap Ben lalu Alda. Ben mulai salah tingkah. Mamanya terkekeh pelan.
"Ben adalah pengagum yang baik, Al. Dia tiap hari ngomongin kamu. Tante sampe sakit telinga lho. Semua pembicaraan bermuara ke kamu " Kata Mama Ben sambil tersenyum. Alda kaget, lalu terkekeh sambil mendengarkan penuh rasa ingin tau.
" Ma, udah malam. Istirahat deh " Kata Ben, namun sang mama tidak menanggapi." Bahkan ya, Alda, pernah tante sama Ben lagi ngobrol tentang pertandingan bulutangkis, jatuhnya dia ngomongin kamu " Mama Ben tertawa melihat muka Ben dan Alda yang memerah.
" Yaudah kalian pulang gih, udah malam. Besok sekolah. Ben jangan lupa ajak Alda makan malam " Kata Mama Ben. Dua anak di depannya mengangguk patuh.
" Saya pamit tante. Sampai ketemu lagi " Kata Alda lalu mencium tangan Mama Ben. Diikuti Ben yang langsung diberi tepukan di pipinya.
" Jaga anak perempuan orang yah sayang "
"Iya mamaku sayang " Kata Ben lalu berlalu diikuti Alda.
🐢🐢🐢🐢🐢
"Mama kamu orangnya menyenangkan banget " Kata Alda membuka pembicaraan saat mereka sudah di dalam mobil Ben.
" Iya. Tapi mama paling suka ngumbar aib aku " Kata Ben dengan datar. " Jangan dipikirin kata mama yah" Ben berkata pelan. Alda terkekeh.
" Udah terlanjur. Tapi kamu nganggap aku aib kamu? " Kata Alda dengan tersinggung. Ben kaget.
" Bu.. Bukan gitu " Ben menoleh dan mendapati Alda menyipit menatapnya. " maksud gue... Aduh.. Gimana yah--" Ben tidak sempat melanjutkan karena Alda sudah terbahak kencang.
" Muka lo lucu banget. Sumpah" Mata Alda bahkan berair karena tertawa.
" Iya Al. Ledekin aja terus. Lo hampir bikin gue serangan jantung di sini " Ben mencebik kesal. Alda akhirnya berhenti tertawa.
" Maaf deh Ben. Ambekan banget sih "
" Gue bahkan gak marah sama lo, Al. Gak pernah bisa " Ben menatapnya sebentar lalu kembali memperhatikan jalan. Alda terdiam. Jantungnya sedang melompat di dalam sana. Ah, akhir ini jantungnya sering berdebar. Mungkin dia harus ke dokter jantung." Errr, Ben. Papa lo mana? Kok gue gak liat tadi? " Tanya Alda pelan membuat Ben tersenyum. Gadis ini selalu suka mengalihkan topik pembicaraan saat dia berbicara frontal tentang perasaannya.
" Papa lagi di Dubai, Al. Ada urusan bisnis. Mama gak mau aku kasih tau papa karena papa pasti bakalan langsung datang. Mama gak mau papa banyak pikiran " Kata Ben. Alda mengangguk mengerti. " Kamu mau makan malam dulu atau langsung pulang? " Tanya Ben melanjutkan.
" Langsung pulang aja deh. Takut mama nyariin " Ben mengangguk lalu membelokkan mobilnya memasuki jalan menuju rumah Alda.
" Oh ya, ngomong-ngomong, gimana sama papa lo? Gue--" Ben belum sempat menyelesaikan ucapannya ketika Alda menyela.
" Gue... Gue bahkan udah lupa rasanya punya papa " Alda mengakhiri kalimatnya bertepatan dengan mobil Ben yang berhenti di depan rumahnya.
" Maaf. Papa lo udah meninggal? " Tanya Ben pelan. Alda menggelang.
" Gue gak tau. Papa pergi saat gue masih 9 tahun. Papa adalah pecinta hujan, Ben. Kayak lo. Gue juga. Dulu. Dan kepergian papa adalah alasan gue benci hujan " Alda mengakhiri kalimatnya. Ben masih terdiam memandang Alda yang sedang memandang lurus ke depan. Belum berniat untuk turun. Ben hendak berbicara, namun menutup kembali mulutnya, menelan kembali kata-kata yang akan dia keluarkan.
" Dulu papa pernah bilang, hujan itu keajaiban. Dia datang membawa berkat dan pergi membawa beban. Bahkan hujan yang mempertemukan papa dan mama. Tapi itu semua omong kosong. Papa dan mama bertengkar hebat malam itu, dan papa pergi. Dan saat itu hujan " Alda menyelesaikan kalimatnya. Dia menatap Ben yang sedari tadi menatapnya. Tidak ada air mata. Raut wajahnya tak terbaca. Tapi Ben tau kalau di dalam mata yang penuh kekecewaan itu ada kerinduan yang sangat dalam.
" Gue gak mau kejadian itu berulang, Ben. Itulah kenapa gue menghindari lo. Walau gak bisa. Kita selalu aja ketemu " Alda terdiam.
"Jadi gue berharap malam ini adalah terakhir kita kayak gini. Gue gak mau egois dengan nyuruh lo berhenti suka gue. Itu hak lo. Tapi tolong jangan lagi bersikap dekat, Ben. Gue gak mau dibilang kasih harapan kosong. Kejar orang lain yang mau dikejar Ben. Gue gak bisa sama lo, lo harus tau itu. Karena hujan itu mempertemukan dan memisahkan. Bukan mempertemukan dan menyatukan. Gue pergi, Ben " Alda keluar dan Ben tidak mencegahnya.
Ben terdiam menatap Alda yang masuk ke rumahnya.
"Gue bahkan belum bilang maaf dan makasih buat bantuan lo, Al. Dan lo ngusir gue secara halus dari kehidupan lo" Kata Ben pelan. Dia menenggelamkan kepala dalam lipatan tangannya. Seburuk itukah dia di mata Alda? Hanya karena dia menyukai hujan. Yah, mungkin dia harus memikirkan perkataan Alda soal 'mengejar yang lain'. Walau tidak mungkin.
Sementara Alda menatap Ferari hitam di depan pagar rumahnya. Mobil itu belum beranjak dari sana. Dia menghembuskan napas kasar. Dia merasa ada yang mengganjal hatinya. Tapi tak tau apa.
Dia sudah mengungkapkan yang ingin dia ungkapkan. Dia sudah menyuruh Ben menjauh. Tapi bukan rasa lega yang dia dapat. Dia merasa ..... Kehilangan.
Ini dulu buat part 6 yahhh...
Jangan lupa vote dan comment...Salam saya,
L
KAMU SEDANG MEMBACA
Petrichor
Teen FictionKau tau? Aku suka hujan. Akan selalu begitu. Aku suka momen-momen ketika bau petrichor menelusup masuk ke hidung, menyambangi relung hati, menelisik jiwaku, membisikkan namamu dan membuat lengkungan pada tiap-tiap sudut bibirku ketika kenangan aka...