Part 25

142 11 0
                                    

Mungkin ada yang kamu lupakan tentang cinta. Dia rela berkorban untukmu tanpa memandang apapun. Walau pada akhirnya dia akan terluka, namun kekuatan cinta yang luar biasa akan menyembuhkan luka itu.

➖➖➖➖➖

Sudah dua hari ini Ben terlihat berbeda. Dia lebih sering diam dan melamun. Bahkan ketika ada Rido yang sering merecokinya dan kedua orang tuanya yang mengajaknya mengobrol. Alena pun terus berusaha membuatnya kembali seperti Ben yang dulu. Namun sia-sia. Laki-laki itu seperti kehilangan semangat.

" Ben. Kamu udah mutusin mau kuliah di mana? " Tanya Alena saat memotong apel untuk Ben. Dia melirik Rido tajam ketika laki-laki itu dengan lancangnya mengambil potongan apel di piring dan memakannya.

" Orang lagi sakit lo nanyain yang kayak gitu. Udah cukup dia pikiran sama Alda, lo tambahin lagi " Ucap Rido lalu mengambil lagi potongan apel. Alena terdiam. Hatinya tercubit mendengar ucapan Rido.

Ben masih saja diam. Sibuk dengan dunianya. Tak menyadari sepasang manusia tengah bertengkar tepat di pinggir ranjangnya.

" Rido. Lo mending diam deh.  Lagian kan kalian udah kelas 3. Hal macam beginian kan sudah harus dipersiapkan jauh hari " Rido mencibir lalu membuka ponselnya dan melihat notifikasi yang masuk. Dia sedang malas dengan perempuan pencari perhatian di sebelahnya.

" Jadi, Ben. Kamu udah mutusin? " Tanya Alena sambil menyentuh lengan Ben. Laki-laki itu sedikit tersentak dan mengernyit. Lalu dengan refleks dia mengangguk.

" Gue udah putusin buat jadi donor untuk Alda"

Hening.

Alena melotot kaget dengan ucapan Ben, sedangkan Rido mematung di tempatnya. Rupanya Ben tidak mendengarkan perkataannya tempo hari. Rahang Rido mengeras.

" Kamu bicara apa,  Ben? Kamu mau donor apa buat Alda? " Tanya Alena lirih. Tangannya bergetar.

" Lo.... " Rido berdiri dengan kasar. Dia menunjuk Ben dengan marah. Namun belum sempat dia melanjutkan kata-katanya, pintu ruang rawat Ben terbuka.

Menampilkan empat orang dengan raut wajah berbeda-beda.
Di sana, Arvan dan Frida menatap Ben dengan raut wajah kaget dan marah. Di belakangnya Bram dan Amanda menatapnya dengan raut wajah tak terbaca.

" Kamu pikir apa yang mau kamu lakuin,  Ben? " Tanya Frida dengan marah. Suaranya bergetar. Arvan menahan lengannya.

Alena refleks menarik tangan Rido keluar. Laki-laki itu sempat melayangkan tatapan protes, namun saat dirasakannya situasinya sedang seperti ini,  mungkin sebaiknya mereka keluar saja.

" Ben cuma mau tanggung jawab ma. Semua yang terjadi pada Alda tuh.. "

" Jangan salahin diri kamu, nak "  Bram angkat bicara. Bagaimanapun dia tersentuh melihat sikap Ben yang ingin bertanggungjawab terhadap anaknya.

" Tapi om..  "

" Alda bakal sangat sedih kalau kamu lakuin itu. Dia gak bakal nyalahin kamu " Bram melanjutkan sambil berjalan maju dan menepuk pundak Ben. " Om berterima kasih karena kamu mau menjaga Alda. Itu saja sudah cukup. Jangan korbankan dirimu untuk sesuatu yang membahayakan. Kondisi Alda semakin stabil dan masih ada waktu untuk menunggu donor yang tepat "

Ben diam. Mematung. Itu hanya kalimat penguatan baginya. Dia tau Alda tidak baik-baik saja. Dia tau.

" Ben kamu lebih baik istirahat. Mama sama papa mau ngomong sama orang tuanya Alda dulu. Nanti Alena sama Rido ke sini lagi " Frida mengusap kepala Ben dengan tangan bergetar lalu membantunya tidur.

Ben tetap diam.

Saat akan keluar, Amanda menyuruh tiga orang lainnya keluar lebih dulu. Dia mendekat ke arah Ben yang tengah memejamkan mata. Perlahan diusapnya kepala Ben. Laki-laki itu membuka matanya dan mengernyit mendapati Amanda di sana.

" Kami gak pernah marah sama kamu, nak. Jangan pernah merasa bertanggung jawab. Ini bukan salah kamu. Tuhan sudah menempatkan takdir ini supaya manusia belajar. Jadi jangan menempatkan diri kamu dalam posisi sulit ini. Tante mohon " Amanda tersenyum. Lalu melanjutkan.

" Tante tau kamu sayang Alda. Tante paham. Jadi tolong selalu ada di samping dia " Amanda mengecup pelan dahi Ben dan berlalu. Ben tersenyum pedih.

" Ini bukan karna rasa bersalah atau tanggung jawab. Gak sama sekali. Ini karena aku rasa, aku ingin melakukannya atas dasar cinta.  Itu saja sudah cukup "

🐢🐢🐢🐢🐢

" Alda. Lo gak mau bangun juga? Ya ampun  keras kepala banget sih. Lo gak tau kalo gue sama Riana tuh udah capek-capek dateng buat kasih kejutan. Eh, lo gak bangun. Kan jadi sia-sia " Kata Vira dengan suara bergetar. Riana sudah tak dapat menahan tangisnya. Dia terisak pelan di samping tempat tidur Alda.

Di ruangan itu ada beberapa orang lainnya. Bram dan Amanda,  Frida dan Arvan, Rido dan Ben, Vira dan Riana. Bahkan ada Alena juga. Mereka di sana. Menunggui sang kesayangan bangun dan tersenyum, terkejut akan apa yang mereka bawa.

Hanya Vira yang mampu bersuara, walau suaranya diiringi isakan.
Alda masih ingin tidur ternyata. Kondisinya kembali kritis tadi. Mungkin Alda lelah. Dia ingin istirahat. Berbaring sebentar. Tanpa harus banyak berpikir atau menanggung beban.

Vira merasakannya. Dia merasakan keterpukulan sebagai sahabat. Riana juga tidak lebih baik dari dia. Mereka menyadari bahwa ketika bersama, mereka adalah perpaduan yang lengkap. Maka saat Alda hanya terbaring dengan selang infus di sini, mereka seolah kehilangan sebagian jiwa. Kehilangan semangat.

Mereka lengkap hanya jika mereka bertiga. Itu saja sudah cukup. Perlahan Vira meraih tangan Alda. Menggenggamnya erat. Menyalurkan rindu dan rasa sayang.

" Betewe Al, lo denger gue kan?  Gue mau ngucapin selamat ulang tahun, Emeralda. Gak percaya lo udah tujuh belas. Lo sering bilang kalau lo pengen ulang tahun yang ke tujuh belas itu harus spesial. Lo bilang di ulang tahun lo yang ke tujuh belas, lo pengen papa lo. Lo tujuh belas dan lo cuma tidur aja? " Vira menghentikan kalimatnya dan menghela napas panjang. Menetralisir tangisnya.

" Lo... Lo bangun dong,  Al. Jangan berlebihan tidurnya. Calon dokter kok gitu sih. Gue... Kangen lo. Riana juga. Semua kangen lo, Al " Vira akhirnya menangis. Tak lagi mampu menahan air mata yang sejak tadi mendesak keluar.

Riana memegang bahu Vira. Dari mereka bertiga memang Riana yang paling halus perasaannya. Dia hanya bisa menangis.

Amanda memeluk Bram dan menangis. Arvan dan Frida duduk di samping Ben. Laki-laki itu diam. Dilema. Memandang kosong ke depan. Perlahan dia bangun. Tertatih berjalan dengan tongkatnya menuju tempat tidur Alda.

Dia menatap Alda penuh penyesalan. Air matanya luruh begitu saja.

" Al. Selamat ulang tahun " Ben tercekat oleh suaranya sendiri. Bergetar menahan tangis.

" Gue kangen lo, Al. Tidur mulu sih. Gue sempet kaget juga waktu tau lo butuh donor mata dan ginjal. Gue bersedia kok jadi pendonor. Biar lo bangun. Ketawa lagi. Senyum lagi. Kejar impian lo jadi dokter " Ben tersenyum pedih. Besok Ben sudah bisa pulang ke rumah. Tapi Alda masih belum juga bangun.

Hening...

Ben terisak. Sebelah tangannya yang bebas menghapus air mata yang meluruh lalu dia hendak mendekat untuk mencium Alda.

Namun, saat tubuhnya baru mulai membungkuk, kelopak mata di hadapannya begerak perlahan disertai dengkingan elektrokardiograf.

➖➖➖➖➖

Iya saya tau saya telat..
Saya juga tau kalau saya jahat banget sama Alda..

Tapi ini kan cerita saya, terserah saya deng..  Hehehehe

Thanks buat yang masih ikutin cerita ini sampai sekarang.

Endingnya mulai kelihatan nih..

Jangan lupa tinggalkan jejak..

Salam dari Vira dan Riana yang lagi sedih..





PetrichorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang