Pedih ....
Sakit ....
Kenapa ini semua masih terasa begitu menyakitkan? Sudah 4 tahun sejak bunda pergi dan lukanya tetap terasa seperti baru terjadi kemarin. Aku ingin lari! Aku ingin bersama bunda!
Tidak. Tidak bisa. Aku masih harus berada di sini. Itu permintaan terakhir bunda, tapi aku tidak bisa, Bunda. Aku ingin rasa sakit ini pergi. Aku harus bagaimana, Bunda? Ayah tidak ada. Ayah sudah tidak memedulikanku. Ia telah tenggelam dengan dunianya, Bunda. Tolong aku ... Tolong ....
Di dalam kamar yang gelap itu, di atas ranjang besar dan banyak boneka-boneka, duduklah seorang gadis berusia 17 tahun di balik selimut tebalnya. Rambut panjang hitamnya itu kusut, matanya memerah dan ... kosong, seakan tak ada kehidupan di dalam dirinya.
Gadis itu membuka laci di nakas samping ranjangnya, mengambil sebotol obat, dan meminumnya sebanyak satu tablet. Entah obat apa yang ia minum, tapi tidak lama setelah meminumnya, gadis itu pun perlahan tertidur, berusaha melupakan apa yang ia rasakan sebelumnya.
***
"Din, pulang sekolah nanti mau ikut nggak?"
Di kelas, Adinda Elvarette Nevosa, nama gadis itu, sedang asyik menikmati segelas minuman dingin di jam istirahat. Rambut panjang hitam bergelombangnya terurai indah dan kulitnya yang juga putih-bersih. Bak bidadari, tak ada cela di wajah khas Asia itu dengan bola mata kecokelatan dan bibir yang telah dipoles dengan warna merah muda itu.
Ia pun menoleh ke arah sahabatnya. "Ke mana? Ke mana?" tanya Adinda antusias. Sudah lama ia tidak jalan-jalan. Mungkin kali ini ia akan ikut ke mana Wilen akan mengajaknya. Lagipula di rumah ia hanya akan bersama Bi Minah, pembantunya.
"Ke restoran mana gitu? Udah lama kita nggak pergi makan bareng di luar," sahut Rena tiba-tiba dari bangku belakang, "tapi jangan mahal-mahal, please. Makan di warung pecel lele pinggiran juga gue udah ikhlas kok."
Adinda menunjukkan wajah malasnya. "Ya kalau gitu bukan makan di restoran dong namanya, Ren, but okay. Kita ke Restoran Mami Rumi yang deket sekolah aja, gimana? Murah juga kan di sana?"
Wilen yang dari tadi diam pun berkomentar. "Jangan di sana deh. Kata anak-anak nggak terlalu enak makanannya. Gue lagi pengen makan mie keju pedes deh. Nanti Rena gue bayarin setengah atau tiga perempatnya deh."
"Nah ini dia yang gue tunggu-tunggu dari tadi, Wil." Rena pura-pura terharu. "Temanku memang dermawannya tidak terkalahkan."
"Ewh, Ren," balas Adinda. "Jangan keseringan bayarin Rena, Wil. Nanti anaknya jadi kebiasaan."
Sirena Athalia dan Wilentya Wijayanto namanya. Wilen telah menjadi sahabat Adinda sejak masa orintasi siswa baru setahun lalu di SMA Bhakti Nusa Mulya. Salah satu sekolah swasta terbaik di ibukota. Rena sendiri baru mengenal Adinda waktu mereka sekelas di kelas 10 IPA 2. Sekarang sudah dua bulan mereka naik ke kelas 11 IPA 2 dan rasa-rasanya semua pelajaran di sekolah semakin terasa rumit saja.
"Mohon maaf nih, Din. Gue kan nggak setajir kalian berdua." Rena tersenyum. "Meskipun keluarga gue masih bisa dibilang cukup, tetep aja gue nggak bisa egois mau ini-itu seenaknya, tapi gue sangat berterima kasih sama kalian yang masih mau nemenin gue yang pelit ini."
Adinda merasa tidak enak begitu melihat wajah Rena yang meskipun tersenyum, tapi masih terlihat ada muram di matanya. Adinda merasa seharusnya ia tidak berkata seperti itu. Adinda melirik ke arah Wilen. Wilen hanya mengangkat alisnya, tidak tahu.
Memang bisa dibilang Adinda dan Wilen terlahir dari keluarga yang berada. Ayah Wilen adalah pemilik perusahaan raksasa Wijayanto yang bekerja di bidang pariwisata dan kuliner yang sudah tersebar di beberapa negara di luar Indonesia, seperti Malaysia, Thailand, dan Singapura. Ayah Adinda sendiri bekerja sebagai kepala bagian yang mengurus ekspor barang-barang baku seperti tekstil dan rempah-rempah.
"Maaf, Ren, gue nggak bermaksud ..."
"Iiihh, Dinda, jangan ngerasa nggak enak gitu dong," sela Rena yang ternyata juga merasa tidak enak. "Gue emang begini anaknya, asal ngomong aja, tapi gue tetep dibayarin Wilen kan ya?"
Adinda tertawa kecil. "Nanti gue bayarin lu juga. Pulang sekolah kita perginya kan?"
Rena tersenyum senang dan langsung memeluk erat Adinda. "Yeaaayy! Makasih, Adinda sayaaang!"
"Ren ... gue ... kecekek ...."
"Hehe, maaf, Din." Rena pun melepas pelukannya sambil cengengesan. "Gue doain semoga Tuhan membalas kebaikan kalian berdua deh. Aamiin."
Adinda dan Wilen mengamini doa Rena dan kembali melanjutkan obrolan dengan topik lain. Entah mereka membicarakan apa, Selama mereka masih bertiga, mereka bisa membicarakan seisi langit dan bumi. Jadi tidak perlu dicemaskan jika mereka akan kehabisan bahan pembicaraan.
***
"Farhaaan!!! Lo ke mana aja? Ditelen paus ya lu?" Panggilan dari Azqa, salah satu sahabat Farhan, memenuhi seisi Warung Bi Inem.
"Berisik lu, Azquy!" omel Nathan pada Azqa kemudian iseng mencekoki Azqa dengan minuman bersoda dan langsung disambut dengan semburan dari mulut Azqa. Farhan terkekeh pelan. Nathannael Ardhani memang sudah cocok sekali jika sudah bersama Azqa, seperti dua saudara yang baru saja bertemu.
"Berisik lu berdua." Farhan mengambil salah satu minuman dari kulkas beserta sedotannya dan duduk di samping Azqa. Ikut bergabung dengan obrolan meskipun ia sedikit terlambat karena harus membantu wali kelasnya.
Farhan Achazia Lazuardi namanya. Tingginya 168 cm, berbola mata hitam yang begitu dalam, garis rahang yang tegas tanpa kumis dan janggut, berambut hitam legam yang dipotong dengan rapi, dan warna kulitnya yang sawo matang khas orang Indonesia, menambah ketampanan yang memang sudah dianugerahkan Tuhan sejak awal untuknya.
"Lu ke mana aja, Han? Kangen gue, gila." Langsunglah Azqa mendapat tatapan jijik dari Farhan karena jijik. Memang seperti itulah seorang Azqa Nadhif Rahendra. Selalu membuat suasana menjadi menyenangkan sekaligus menggelikan bagi kedua sahabatnya, Farhan dan Nathan.
"Nggak penting juga gue ke mana. Bolos satu hari nggak akan bikin gue nggak naik kelas," jawab Farhan santai.
Nathan menyalakan rokok karena bosan, mengisapnya, dan membuang asapnya melalui mulut dan hidungnya. "Lu mau?" tawar Nathan pada Farhan dan tidak pada Azqa karena Azqa bukan seorang pecandu rokok. Lebih tepatnya, Azqa adalah pecandu nasi padang.
"Ogah. Lo aja," tolak Farhan sambil menyesap minumannya.
"Elah, Han, masih aja sok-sok nolak." Nathan mengisap sekali lagi rokoknya.
Farhan terdiam. Farhan bukannya tak mau merokok, tapi Farhan tidak mau ketahuan oleh orang sekitarnya jika ia adalah seorang perokok aktif. Merokok bukanlah hal yang pantas untuk dipamerkan, itu prinsip Farhan. Cukup ia yang merasakan rokoknya sendiri, tak perlu orang lain mengisap rokoknya atau asapnya juga. Lagipula akan sangat menambah masalah jika ia ketahuan merokok oleh guru dan keluarganya.
"Gue pergi dulu bentar. Ntar gue balik," izin Farhan pada kedua sahabatnya. Ia segera pergi menuju pojok belakang sebuah gedung terbengkalai di belakang sekolah dan duduk sambil mengambil rokok dari sakunya. Di sinilah Farhan biasa merokok, tanpa diketahui oleh siapa pun.
***
To Be Continued~

KAMU SEDANG MEMBACA
Masih Seorang Manusia
Teen FictionFarhan Achazia Lazuardi, 17 tahun, yang sempurna. Tampan, pintar, bergelimang harta. Seakan tanpa cela. Dalam diamnya, ia menyimpan seribu kebencian. Adinda Elvarette Nevosa, 17 tahun, yang segalanya. Cantik, cerdas, bermilyaran materinya. Seakan ta...