"Eh, kalian mau mesen apa?" tanya Adinda pada Wilen dan Rena. Mereka sudah sampai di salah satu restoran mie yang cukup terkenal di salah satu jalan di ibukota.
"Gue biasa, mie kuah keju level sepuluh," jawab Wilen dengan penuh semangat. Jika soal keju dan pedas, Wilen memang juaranya.
"Gue yang murah aja deh. Masih harus tahu diri soalnya," jawab Rena cengengesan. "Gue mie goreng pedes level lima aja, telornya dua sama es teh manis."
"Oh iya, gue belum milih minum nih." Wilen pun membalik menu, mencari minuman yang pas. "Gue chocolate milkshake aja."
Adinda pun memanggil pelayan untuk mencatat pesanan mereka. "Pesen mie kuah keju pedes level sepuluh 1, mie goreng pedes level lima 1, telornya 2 ya, terus... mie goreng pedes level dua 1 pakai telor dadar sama sayur ya. Minumnya es teh manis, chocolate milkshake, sama susu vanilla hangat aja, Mas."
Setelah mencatat pesanan dan menyuruh untuk menunggu sebentar, sang pelayan pun pergi, meninggalkan mereka bertiga yang sepertinya sudah terlihat kelaparan padahal mereka baru makan 4 jam yang lalu.
"Buset, Dinda selalu langsung hafal apa aja pesenan kita padahal kita cuma nyebut satu kali doang," puji Rena yang membuat Adinda tersenyum.
"Dari dulu yang kalian pesen kan emang nggak jauh-jauh dari sana," jawab Adinda.
"Ah, yang dapet beasiswa empat bulan tiap semester mah emang selalu merendah." Wilen kali ini ikut berkomentar.
"Ih, apa hubungannya coba sama mesen makanan?" balas Adinda yang sebenarnya tidak terlalu suka jika kejeniusannya dibicarakan secara terang-terangan seperti sekarang.
"Tapi gue penasaran deh." Rena menatap Adinda dan Wilen bergantian. "Dinda kan selalu dapat peringkat dua seangkatan, tapi gue pengen banget sih ngelihat langsung sejenius apa yang peringkat satu. Enak banget dia selama sekolah nggak pernah bayar SPP karena dia tiap semester selalu peringkat satu."
Di SMA Bhakti Nusa Mulya, setiap semesternya memang akan ada pemberian beasiswa bagi peringkat 1, 2, dan 3 seangkatan. Untuk peringkat 1 mendapat beasiswa selama 6 bulan, peringkat 2 mendapat 4 bulan, dan peringkat 3 mendapat 2 bulan. Untuk peringkat 3 memang selalu berubah-ubah orangnya, tapi untuk peringkat 1 dan 2, yang mendapatkannya selalu orang yang sama.
"Eh, lu ngomongin Farhan?" tanya Wilen. "Jangan deh ngomongin dia. Nathan aja nggak mau sembarangan ngomongin dia."
Bagaimana Wilen bisa mengenal seorang Nathannael Ardhani? Jawabannya mudah. Wilen dan Nathan memang sudah pacaran sejak pertengahan kelas sepuluh. Entah pesona apa yang Nathan pakai sampai-sampai seorang Wilentya Wijayanto terpikat? Hanya Tuhan yang tahu sepertinya.
Adinda yang biasanya tidak tertarik membicarakan laki-laki pun ikut berkomentar, "gue cuma pernah lihat dia lewat-lewat aja di sekolah. Auranya terlalu nggak tersentuh, seakan di sekelilingnya itu ada yang bilang jauh-jauh sana."
"Lewat-lewat dikira hantu kali," Rena tertawa, "padahal dia ganteng banget, tapi kebanyakan orang ganteng gitu sih, sok cool kalem gimana gitu."
"Nathan cerita, banyak banget yang nanyain Farhan ke dia atau ke Azqa, tapi entah gimana, Nathan sama Azqa aja nggak berani ngomongin dia tentang apapun. Tanggal lahirnya aja nggak berani mereka kasih tahu. Jadi ya ... sehormat itu Nathan sama Azqa pada privasi seorang Farhan." Cerita Wilen membuat Rena dan Adinda semakin penasaran.
"Pantes aja dia direbutin. Soalnya makin misterius orangnya, bakal pada makin mepet-mepet dah," ujar Adinda. "Jujur aja, gue emang penasaran sih. Image dia tuh kalem, pinter, ganteng, susah dideketin, pokoknya tipe-tipe cowok halu kayak di novel-novel deh, tapi kayaknya bakal bagus juga kalau kita bisa diskusi bareng tentang pelajaran."
Rena memutar bola matanya malas. "Buset, diskusinya berat amat, Bu. Saya skip."
Adinda tertawa. "Menurut gue bisa kok kalau kita mau kenalan sama Farhan. Kan kita udah punya koneksi terdekat." Adinda menunjuk Wilen dengan senyum lebar.
"Yeuu, gue aja cuma pernah ngobrol sekali doang sama dia, itu pun gara-gara gue ikut Nathan ke tongkrongan dia di Warung Bi Inem deket sekolah. Dia jawabnya cuma iya, oh, nggak. Gue kasih pertanyaan terbuka, dia bener-bener jawab poinnya doang. Beuh, susah banget dah." Wilen geleng-geleng kepala, mengingat betapa canggungnya hari itu ketika ia berbicara dengan Farhan.
"Itu lu udah dapet bangku VIP sampe bisa ngobrol sama Farhan lho, Wil. Yaa ... meskipun pakai jasa orang dalem sih." Adinda tertawa, disusul Rena.
"Nggak tau deh. Terserah kalian. Gue udah males ngajak ngomong dia lagi pokoknya." Ucapan Wilen terhenti karena pelayan sudah membawakan pesanan mereka.
"Selamat makan," seru Adinda bersemangat sambil mengambil sumpit di pojok meja makan dan mereka pun kembali melanjutkan obrolan dan candaan tentang dunia dan seisinya.
Dari luar, Adinda memang selalu tersenyum ceria, begitu berbahagia seakan tidak akan ada duka yang sanggup menghancurkan dirinya. Namun ... ya, memang tidak akan ada lagi yang bisa menghancurkan dirinya karena ... ia memang sudah hancur, sejak 4 tahun yang lalu.
***
"Gue izin balik duluan ya? Gue harus jemput adek gue," izin Farhan sekembalinya ia dari gedung terbengkalai di belakang sekolah.
"Oke. Titip salam ya buat Dek Arin. Bilangin, Kak Azqa kapan-kapan yang bakal jemput di..." Belum genap ucapan Azqa, ia sudah mendapat toyoran dari Nathan.
"Bilang ke Arin, jangan mau sama makhluk astral satu ini, nggak ada masa depannya pula. Cita-cita kok mau jadi DJ. Emang nanti kamu mau makan liqueur sama tequila?" Nathan ikut menambahkan, atau mengompori sebenarnya.
"Weh, dikira gue mau jadi bartender, kali," ucap Azqa tidak terima. "Kak Azqa cuma mau nge-DJ aja kok. Nggak bakal minum minuman terlarang. Lagian DJ bisa dapet lima juta tiap 1,5 jam main lho, Dek. Yakin nggak mau sama Kakak Azqa?"
"Itu mah kalau DJ-nya udah banyak jam terbangnya. Lu dibayar mending, Zquy," balas Nathan sambil tertawa. Farhan hanya tertawa kecil melihat kekonyolan Azqa dan Nathan.
"Halah, mana ada nge-DJ doang. Paling juga lu bakal disuruh minum dikit-dikit dulu, terus nagih." Farhan mengenakan sarung tangannya. "Gue sih terserah Arin mau sama siapa, tapi dia pasti tahulah mana yang baik, mana yang buruk," ucap Farhan dengan kata buruk ia arahkan pada Azqa.
"Anjir," umpat Azqa tanpa sensor. "Ya namanya juga cita-cita. Cita-cita kan boleh apa aja."
"Cita-cita sih cita-cita, tapi tetep harus tahu realita di mana, Zquy," balas Nathan. "Ya kali calon mertua lo nerima kalau lo kerja jadi DJ. Orangtua lo aja emang ngijinin?"
"Emang ye, temen mah ngedukung temennya, kek. Ini malah menghancurkan impian temennya, anjay," balas Azqa kesal sambil meminum sodanya yang hanya dibalas tertawaan oleh Nathan dan Farhan.
"Dah, gue duluan. Ntar salam lo gue sampein, tapi pesannya kagak bakal." Farhan langsung saja meninggalkan kedua sahabatnya itu. Entahlah apa yang akan mereka lakukan di sana, tapi Farhan yakin mereka paling hanya akan mengisengi satu sama lain seperti biasa.
To be Continued~

KAMU SEDANG MEMBACA
Masih Seorang Manusia
Teen FictionFarhan Achazia Lazuardi, 17 tahun, yang sempurna. Tampan, pintar, bergelimang harta. Seakan tanpa cela. Dalam diamnya, ia menyimpan seribu kebencian. Adinda Elvarette Nevosa, 17 tahun, yang segalanya. Cantik, cerdas, bermilyaran materinya. Seakan ta...