Chapter 6. Warung Bi Inem

31 3 3
                                    

Warung Bi Inem sebenarnya mirip dengan kantin sekolah, ada sembilan bangku yang disusun berbaris dan warung yang menjual berbagai macam makanan-minuman dan barang-barang lainnya ada di belakang bangku-bangku itu. Mereka sudah sampai di depan warung, meskipun belum sepenuhnya sampai karena mereka masih harus melewati bangku-bangku dan meja panjang yang diduduki anak-anak untuk sampai di warungnya. Di warung yang bertembok hijau muda ini pun menjual jajanan yang biasanya ada di warung: ada berbagai macam camilan dan minuman, sabun-sabun untuk bersih-bersih, rokok, bahkan pulsa, dan masih banyak berbagai macam barang lainnya.

Suara-suara yang tadinya memenuhi seisi warung sampai 20 m ke depan pun langsung menghilang setengahnya begitu melihat Adinda dan Wilen, tentu saja. Pemandangan yang sangat langka untuk siswa perempuan yang berani ke sini.

"Woee! Ada cewek!" seru salah satu laki-laki di sana yang entah apa maksudnya.

Gerombolan Nathan dan Azqa ternyata ada meja pojok sebelah kanan langsung menoleh dan akhirnya Nathan melihat Wilen yang ada di belakang Adinda. Akhirnya.

"Itu cewek lu 'kan, Nath?" tanya Vano, salah satu teman semeja mereka.

Nathan langsung bangkit dan menghampiri mereka berdua yang juga sedang menghampiri Nathan. Jadilah mereka berdua bertemu di pinggiran warung.

"Lu gimana sih jadi cowok, Nath?!" semprot Adinda langsung. "Masa cewek lu, lu biarin ke sini sendirian? Untung dia ngajak gue!"

Nathan tertawa mendengar omelan Adinda. Nathan dan Adinda memang pernah mengobrol beberapa kali, terlebih lagi mereka berdua memang tipe orang yang mudah akrab dengan orang lain.

"Nanggung soalnya."

"Nanggung apaan?! Lagi main ML emang?" balas Adinda masih kesal. "Kalau sampe si Wilen kenapa-kenapa pas sama lu, golok gue udah tersedia di rumah."

"Oke, ampun, Nyonya Adinda." Nathan mengangkat kedua tangannya seakan menyerah.

"Sana, Wilen, tadi lu mau ngapain? Sampe lupa gue gara-gara emosi. Gue mau beli minum sekalian." Adinda membiarkan Wilen dengan Nathan dan pergi ke Warung Bi Inem untuk membeli susu kotak rasa cokelat.

"Bibi udah berapa lama jualan di sini?"

Sambil menunggu Wilen dan Nathan menyelesaikan urusannya, Adinda mengajak Bi Inem mengobrol meskipun beberapa laki-laki di sana terang-terangan menatap atau menggoda Adinda. Bi Inem yang sedang duduk saja pun tersenyum.

"Udah 10 tahun, Neng, bibi jualan di sini."

"Bibi jualan sendirian?"

"Ada suami bibi juga, tapi suami bibi ada pekerjaan lain. Makanya bibi yang ngurus warung ini."

Adinda mengangguk sambil mengambil sebungkus roti dan keripik kentang yang tergantung. "Udah lama juga bibi di sini berarti ya?"

"Iya, Neng. Eneng sendiri asli mana?"

"Kurang paham juga saya, Bi. Ayah orang Jawa, ibu orang Sulawesi, saya lahir di Denpasar, hehe."

"Ya berarti eneng orang Jawa itu, ngikut ayah."

"Saya nggak bisa bahasa Jawa tapi, Bi," ujar Adinda sambil tertawa kecil. "Lebih paham bahasa Inggris, hehe."

"Anak zaman sekarang memang harus bisa bahasa Inggris, ya? Bibi sendiri cuma bisa yes no yes no doang."

Adinda tertawa tanpa bermaksud meremehkan, tentu saja. Sambil mengobrol dengan Bi Inem dan makan roti, Adinda sekali-kali melihat keadaan Wilen dan Nathan yang masih ada di pinggiran warung sambil bercanda ria. Kalau sampai mereka berdua di pojokan, tentu Adinda akan langsung bertindak.

"Mereka nggak pegel apa ya berdiri terus di situ?" pikir Adinda. "Ya udahlah. Kekuatan cinta emang nggak pernah bisa dipahami."

Mengobrol dengan Bi Inem ternyata seru juga. Mengingatkan Adinda dengan sosok bundanya meskipun memang tidak sama, tapi setidaknya ia bisa bicara dengan sosok yang memang keibuan. Syukurlah Adinda menemani Wilen ke sini.

"Bi, saya ambil kacang 2 sama akua 1."

Adinda dan Bi Inem yang sedang asyik mengobrol refleks menoleh ke arah sumber suara. Adinda hampir saja tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya karena yang ada di depannya sekarang adalah Farhan. Ya, Farhan Achazia Lazuardi, si peringkat satu seangkatan. Bahkan ini pertama kalinya Adinda mendengar suaranya yang tidak dalam, tapi juga tidak secempreng itu.

Memang harus diakui kalau Farhan memang tampan. Bisa dilihat Adinda sekarang yang terang-terangan menatap Farhan yang sedang menunggu uang kembalian, tapi sepertinya Adinda menatap Farhan seperti itu bukan karena ganteng.

"Farhan?"

Ketika sang pemilik nama itu menoleh ke arahnya, barulah Adinda menyadari kebodohannya. Kenapa ia sembarangan memanggil nama Farhan? Ayo, Adinda, apa yang akan kamu lakukan sekarang?

Adinda terdiam 5 detik yang sudah seperti 5 tahun karena ia bingung harus berkata apa dan akhirnya ia mengucapkan satu kata, "hai."

Farhan hanya menatap Adinda tanpa ekspresi. Farhan tahu Adinda karena selama dua semester berturut-turut, Adinda ada di sebelahnya, menerima beasiswa peringkat dua seangkatan yang diumumkan setelah upacara bendera. Selebihnya ia tidak tahu apa-apa tentang Adinda.

"Hai."

Adinda mengerjap-ngerjapkan matanya tidak percaya. Ia pikir Farhan tidak akan memedulikan panggilannya tadi, tapi sekarang Farhan bahkan membalas sapaannya. Baru saja Adinda hendak membuka mulutnya, Bi Inem kembali, menyerahkan uang kembalian Farhan, dan Farhan pun langsung berlalu, sayang sekali.

"Bibi kenal dia?" tanya Adinda pada Bi Inem.

"Aa Farhan? Bibi kenal dong. Aa sering ke sini sama temen-temennya setahun belakangan ini."

Adinda mengangguk-angguk. "Ooohhh."

"Tapi si Aa hebat banget."

Adinda langsung tertarik. Kenapa Bi Inem saja bahkan bisa bilang kalau seorang Farhan itu hebat? Menarik.

"Bibi lihat temen-temennya Aa pada ngerokok di sini, tapi cuma si Aa yang nggak pernah bibi lihat ngerokok."

Sebenarnya Adinda agak sedikit tergelitik karena ia sendiri juga merokok, tapi Farhan tidak merokok? Agak mengejutkan sebenarnya. Bagaimana bisa seseorang bisa sekuat itu tidak terpengaruh oleh lingkungannya? Begitulah pikiran Adinda yang masih belum tahu apa-apa.

"Wow. Dia juga peringkat satu seangkatan di sekolah lho, Bi." Entah apa maksud Adinda yang malah menceritakan prestasi Farhan.

"Wah, makin hebat itu. Neng Adinda suka sama Aa Farhan?"

Adinda langsung tersedak keripik kentang yang sedang ia makan. Bi Inem hanya tertawa saja melihat reaksi Adinda yang sedang meminum susunya.

"Mana ada, Bi. Ngomong sama dia aja nggak pernah," terang Adinda. "Dia diem banget orangnya."

"Emang gitu si Aa orangnya. Mungkin si Aa emang kelihatannya diem aja, tapi setiap orang punya masalahnya masing-masing, 'kan?"

Adinda menatap terang-terangan Bi Inem yang sepertinya tahu-menahu tentang Farhan yang orang-orang tidak mau bicarakan. Apakah Adinda akan mengorek sesuatu dari Bi Inem?

"Iya, Bi, hehe ...."

Tidak. Adinda tahu di mana batas ia boleh mengorek informasi seseorang, apalagi ini tentang masalah atau aib, bukan? Adinda pun juga tidak akan suka jika ada orang yang membicarakan masalah atau aibnya. Obrolan Adinda dan Bi Inem berakhir 1 menit kemudian saat Wilen dan Nathan menghampirinya.

To be Continued~

Note: Gimana kabarnya kalian? Semoga masih pada sehat-sehat. Akhirnya Farhan & Adinda bicara untuk pertama kalinya meskipun ya cuma gitu doang🤣 Tapi makin ke belakang, beuh, makin-makin dah. Stay tune aja pokoknya🙂👍

Masih Seorang ManusiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang