Chapter 11. Semoga

26 3 0
                                    

Play music above for good reading experience.

"Kalau lu menduga gue nangis tadi karena ibu gue, dugaan lu bener," lanjut Adinda lagi. "Itu sebabnya gue sering ke sini. Gue nggak suka di rumah. Di rumah sepi dan ada terlalu banyak hal yang ngingetin gue sama ibu gue."

"Padahal udah 4 tahun sejak ibu gue meninggal, tapi rasanya kayak baru kemaren terjadi. Ternyata masih banyak bersisa lukanya. Gue selemah ini ternyata." Adinda tertawa miris.

"Ayah gue sibuk kerja, ninggalin gue sendirian dengan uang-uang yang berlimpah, tapi gue tetep ngerasa kosong. Gue bahkan nggak tahu hidup gue bakal ke mana." Adinda membuka tasnya, mengambil rokok, menyalakannya dengan korek api gas, dan mengisapnya. Farhan hanya bisa menatap Adinda melakukan itu semua.

"Mau?" tawar Adinda sambil menyerahkan sebatang rokok pada Farhan. Adinda memang tidak peduli bagaimana image-nya di mata Farhan, toh, Farhan juga sudah tahu jika ia merokok.

"Nggak, makasih."

"Idiw, nggak usah malu-malu kali," kekeh Adinda. "Rokok gue baunya nggak semenyengat kayak rokok bapak-bapak, kok."

Bukannya malu-malu. Farhan hanya masih merasa tidak nyaman merokok di depan orang lain, itu saja.

"Masih nggak suka ngerokok di depan orang lain?" Adinda lagi-lagi seakan-akan bisa membaca pikiran Farhan. "Gue kagum sama lu, sih. Bisa banget nyembunyiin fakta kalau lu ngerokok di depan orang-orang, bahkan Bi Inem aja bilang kalau lu hebat karena nggak ngerokok."

Farhan mengerjap-ngerjapkan matanya tidak percaya. Bi Inem membicarakan dirinya pada Adinda?

"Tenang. Bi Inem cuma ngomongin itu, kok. Jangan berprasangka buruk, Anda," tukas Adinda kemudian mengisap rokoknya sekali dan mengembuskannya. "Lagian kalau emang lu ada berbagi rahasia sama Bi Inem, gue juga nggak mau ngorek-ngorek apa pun, kok."

Sebenarnya Farhan juga tidak berbagi rahasia sepenting yang Adinda pikirkan dengan Bi Inem. Farhan hanya pernah bercerita kalau orang tuanya sudah bercerai. Nathan dan Azqa pun juga sudah tahu soal itu. Farhan melihat tas-tas plastik dari berbagai macam toko di sisi kiri Adinda dan dari situ Farhan tahu kalau Adinda telah pergi berbelanja.

"Oohh ...." respons Farhan masih sependek balasan pesan gebetan.

"Nggak apa-apa sih kalau lu masih nggak nyaman deket-deket gue. Ini aja kita baru ngobrol gini dua kali, 'kan?" tutur Adinda sambil membuka kotak cheese cake yang ia beli di mall tadi. Sebenarnya daripada mengobrol, mereka lebih seperti wawancara pegawai baru.

"Mau?" tawar Adinda lagi. Farhan hanya menatap kue yang ditawarkan Adinda.

"Jangan nolak mulu, kek. Secara psikologis, ditolak atas hal sekecil apapun tetep bikin sakit hati tahu," sungut Adinda.

Farhan yang mendengar Adinda bicara seperti itu pun akhirnya mengambil satu kue dari dalam kotak. "Makasih."

Adinda tertawa saking senangnya melihat Farhan akhirnya menerima tawarannya. "Gitu dong dari kemaren."

Farhan tidak memedulikan Adinda dan lebih memilih sibuk mengunyah kue. Farhan memang suka yang manis-manis, tapi favoritnya bukan cake seperti ini. Lalu apa? Mari kita nantikan saja.

"Semua orang pada takut banget sama lu, Farhan," ujar Adinda. Sampai kapan Adinda akan terus bicara seperti ini? Adinda sudah capek saja sepertinya tetap tidak akan berhenti selama di sisinya masih ada orang yang bisa ia ajak bicara.

"Wilen cerita kalau Nathan sama Azqa nggak mau cerita apa-apa tentang lu. Kayak ... mereka sehormat itu sama lu," sambung Adinda lagi masih sambil mengisap rokoknya, "dan waktu itu gue bilang 'bakal bagus juga kalau gue diskusi sama lu tentang pelajaran', tapi kayaknya kita masih jauh dari kata diskusi deh. Gue nanya-nanyain lu aja masih dijawab seadanya."

Masih Seorang ManusiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang