Play music above for good reading experience.
Waktu seakan-akan berhenti di sana. Sebenarnya Adinda juga bingung kenapa ia bisa sekaget ini melihat Farhan di sini dan ... sedang merokok. Jadilah sekarang ia dan Farhan saling menatap satu sama lain.
Adinda memutuskan untuk tersenyum dan berkata, "hai, Farhan. Kita ketemu lagi hari ini."
Adinda membuang puntung rokoknya ke tanah dan menginjaknya, lalu ia ambil lagi untuk dibuang ke tempat sampah terdekat. Meskipun Adinda memang terlihat barbar, ia masih tahu jika membuat sampah harus tetap di tempatnya.
"Ngapain lu di sini, Farhan?" tanya Adinda berbasa-basi. Ia tidak berharap Farhan akan menjawab pertanyaannya karena pertanyaan Adinda memang sudah jelas sekali jawabannya. Farhan sendiri hanya menatap Adinda tanpa ekspresi, lalu ia buang rokok yang sedang dipegangnya dan menginjaknya. Adinda hanya tersenyum melihatnya.
"Apalagi yang mau lu sembunyiin? Kita sama-sama udah ketahuan kok." Adinda tertawa kecil. "Gue lebih penasaran kenapa lu lebih milih 'menyendiri' di sini sih?"
Farhan masih menatap Adinda tanpa ekspresi. Entahlah Farhan akan menjawab atau tidak, yang pasti ia masih bersandar ke tembok gedung, kemudian menatap langit tak berbintang di atas sana.
"Nggak ada yang ngelarang gue buat menyendiri di sini."
Oh? Salah sekali jika kamu menjawab pertanyaan Adinda, Farhan. Adinda bukan seperti Wilen yang mudah menyerah. Kita lihat sebentar lagi, apa yang akan Adinda katakan selanjutnya?
"Udah berapa lama lu 'menyendiri' di sini? Kenapa gue baru ngelihat lu sekarang, ya?"
Farhan kembali menatap Adinda. Meskipun gelap, ia masih bisa melihat Adinda dari beberapa penerangan di sekitarnya. "Udah lama dan soal itu gue juga nggak tahu kenapa."
Sebenarnya Adinda cukup terkejut karena ternyata Farhan masih mau menjawab pertanyaan basa-basinya walau dengan jawaban yang benar-benar to the point, seperti yang dikatakan Wilen, tapi Adinda pikir Farhan mungkin tidak akan menghiraukan pertanyaannya atau bahkan bilang bukan urusanmu.
Adinda sedikit memiringkan kepalanya, menatap Farhan yang kembali menatap langit di atas sana. Menarik. Pikir Adinda saat ini dan ia termakan omongannya sendiri saat di restoran waktu itu.
"Pantes aja dia direbutin. Soalnya makin misterius orangnya, bakal pada makin mepet-mepet, dah."
"Gue 'menyendiri' di sini dari 1/2 tahun yang lalu," cerita Adinda tanpa diminta dan ikut bersandar di sebelah Farhan, tentunya dengan jarak yang tidak dekat, tapi juga tidak jauh. "Gue nggak suka ada di rumah, sepi."
Farhan terdiam karena beberapa pikiran berkecamuk di dalam kepalanya. Ia tidak kenal baik dengan Adinda, bahkan ini pertama kalinya mereka mengobrol seperti ini. Bagaimana bisa ada orang yang bisa punya banyak pertanyaan basa-basi dan bisa menceritakan masalah mereka semudah itu pada orang yang tidak terlalu mereka kenal? Mengingatkan Farhan dengan sosok bawel di rumahnya, adiknya.
"Ohh," balas Farhan sesingkat balasan pesan dari gebetan.
"Lu sendiri kenapa nggak pulang? Lagi olahraga?" tanya Adinda lagi. Seharusnya Farhan kabur sekarang karena jika ia menunggu Adinda untuk menyerah, bisa-bisa sampai besok mereka akan seperti ini di sini.
"Iya, tadi lagi olahraga."
Adinda tertawa. "Olahraga sekalian nyebats (merokok), ya?"
Farhan menaikkan alisnya. Iya juga, ia sudah ketahuan oleh satu orang sesekolahnya jika ia merokok. Apakah ini akan jadi awal dari segala bencana?
"Kalau lu takut gue bakal ember, nggak bakal. Lu sendiri juga udah ngelihat gue ngapain, 'kan?" Adinda seperti bisa membaca pikiran Farhan, seram sekali. "Kalau gue ember, lu juga tinggal laporin gue ke kepala sekolah aja sekalian."

KAMU SEDANG MEMBACA
Masih Seorang Manusia
Teen FictionFarhan Achazia Lazuardi, 17 tahun, yang sempurna. Tampan, pintar, bergelimang harta. Seakan tanpa cela. Dalam diamnya, ia menyimpan seribu kebencian. Adinda Elvarette Nevosa, 17 tahun, yang segalanya. Cantik, cerdas, bermilyaran materinya. Seakan ta...