SMA Bhakti Nusa Mulya.
Salah satu SMA favorit di ibu kota. Gedung bertingkat tiga seluas 1500 m2 berwarna jingga itu terlihat megah dan kukuh. Begitu masuk ke dalam sekolah, pemandangan hijau tampak memukau mata, ditambah dengan saung dan kolam ikan hias, menambah nilai untuk sekolah ini.
Di kelas 11 IPA 1, pelajaran jam kedua diisi oleh Pak Mino yang sedang mengural materi hidrokarbon. Di bangku hampir belakang, terlihat Nathan dan Azqa yang entah sedang melamunkan apa. Pelajaran kimia memang tidak mudah dan sebenarnya Farhan yang sedang duduk di baris kedua dari depan juga tidak terlalu menyukai ilmu eksakta seperti fisika, kimia, atau matematika, tapi ia selalu mengingat perkataan ibunya, bahwa ia harus memelajari dan memahami banyak hal tentang dunia dan alam semesta.
"Pak, saya ingin bertanya."
Pak Mino yang sedang bertanya apakah ada siswa-siswa yang ingin bertanya pun mengangguk, memersilakan Farhan untuk bertanya.
"Apa gunanya materi hidrokrabon ini untuk kehidupan manusia, Pak?"
Pak Mino tersenyum. "Bagus sekali pertanyaannya, Farhan. Khusus untuk materi senyawa hidrokarbon yang barusan kita bahas, penggunaan senyawa hidrokarbon memang sangat penting dalam kehidupan manusia seperti metana yang ada pada tinta, semir, atau ban karena mengandung black carbon dan oktana sebagai bahan utama dalam pembuatan bensin. Begitu juga dengan senyawa alkena dan alkuna. Propena sendiri digunakan dalam pembuatan plastik dan etuna sebagai bahan bakar untuk las."
Farhan mendengarkan dengan baik jawaban Pak Mino yang masih menjelaskan manfaat senyawa hidrokarbon dalam kehidupan sehari-hari. Sebenarnya Farhan lebih menyukai ilmu humaniora, tapi entah bagaimana ia bisa terdampar di jurusan IPA dan syukurlah, ia tidak terlihat keberatan untuk belajar fisika, kimia, atau matematika karena buktinya ia masih bisa meraih peringkat satu seangkatan dua kali berturut-turut. Ya, Tuhan memang baik sekali ketika menciptakan seorang Farhan.
Mari pindah ke kelas 11 IPA 2 yang sedang membahas ceramah, pidato, dan khutbah dengan Bu Halimah di pelajaran bahasa Indonesia. Murid-murid sedang sibuk mencatat tulisan Kirana, sekretaris kelas, di papan tulis dan ada juga beberapa murid yang duduk di lantai tepat di depan papan tulis karena tulisannya tidak terlihat dari bangku belakang, termasuk Adinda dan Wilen karena mereka dapat bangku di pojok kiri hampir belakang kelas. Untuk urutan baris bangku sendiri memang diganti setiap hari dan urutan kolom ditukar setiap minggunya, itu yang disepakati oleh kelas 11 IPA 2.
Sebenarnya mata Adinda normal-normal saja. Ia masih bisa melihat tulisan di papan tulis meskipun ia duduk di paling belakang, tapi ia tidak suka sendirian di belakang dan akhirnya mengikuti Wilen yang duduk di lantai depan papan tulis.
"Wil," panggil Adinda sambil masih mencatat.
"Hmmm?" sahut Wilen tanpa menoleh.
"Kemaren lo sampe rumah jam berapa?"
Wilen melirik sedikit ke arah Adinda, kemudian kembali ke papan tulis sambil mencatat. "Jam 5. Kenapa emang?"
"Nggak apa-apa, nanya doang."
Adinda memang sering bertanya hal-hal yang tidak penting, tapi ia juga sering menanyakan hal yang penting. Ia hanya suka bicara, itu saja.
"Om sama tante apa kabar?"
Wilen masih sibuk mencatat. "Baik."
"Kak Gilang apa kabar?"
Gilang adalah kakak kandung Wilen yang sekarang sedang kuliah di salah satu universitas negeri di Bandung dan sekarang sudah memasuki semester tiga perkuliahan. Adinda pernah bertemu sekali dengannya ketika Gilang kebetulan menjemput Wilen di sekolah dan membuat heboh (dalam hati dan pikiran) satu sekolah. Kenapa? Karena Gilang sampai masuk ke dalam sekolah untuk mencari Wilen yang bahkan masih bersiap-siap untuk pulang. Adinda, Wilen, dan Rena pun bertemu dengan Gilang yang sedang duduk di saung dekat kolam ikan dan murid-murid yang diam-diam memandangi Gilang dengan senyum salah tingkah. Alasan utama kenapa terjadi kehebohan adalah karena wajah Gilang yang ganteng, itu saja.
"Baik," jawab Wilen masih sambil mencatat.
"Buset dah, udah kayak doi aja ngejawabnya cuma gitu doang,"
"Ya gue kan lagi nyatet, Adinda Elvarette Nevosa," balas Wilen kesal. "Mending lo buruan nyatet. Ntar keburu dihapus sama Kiran, loh."
"Iye iye, maaf." Adinda pun kembali fokus pada catatannya.
***
Sekolah memang tempat yang nyaman. Banyak siswa yang betah berlama-lama di sekolah sekedar untuk mengerjakan tugas, makan di kantin, atau membaca di perpustakaan karena sekolah baru ditutup jam 5 sore dan sekarang baru jam 1 siang, jam pulang di SMA Bhakti Nusa Mulya.
"Eh, gue duluan ya? Mau ada arisan soalnya di rumah, emak gue nyuruh gue bantuin."
Di pintu keluar sekolah, Rena buru-buru pamit. Adinda dan Wilen pun mengizinkan Rena pulang lebih dulu dan Wilen minta ditemani Adinda untuk pergi ke Warung Bi Inem di dekat sekolah.
"Ngapain ke sana?" tanya Adinda.
"Gue mau ngambil buku catetan kimia gue di Nathan."
Adinda memutar bola matanya malas. "Lu kan udah pernah ke sana sendirian. Kenapa sekarang jadi takut gitu kan?"
"Yang kemaren tuh gue bareng Nathan ke sananya. Ogahlah kalau gue sendirian juga." Wilen menggenggam lengan Adinda dan memasang senyum termanisnya. "Ya? Temenin gue?"
Adinda menghela napas berat sampai akhirnya ia menjawab, "oke."
"Maaciw, Dinda sayang." Wilen langsung menarik lengan Adinda menuju Warung Bi Inem.
Sesampainya di sana, memang ada banyak laki-laki. Sebenarnya agak membingungkan juga, bagaimana Nathan bisa langsung ada di Warung Bi Inem padahal sekolah baru saja pulang. Yang lebih membingungkan lagi, kenapa Nathan dan Wilen tidak bertemu di sekolah saja? Biarkan saja itu menjadi misteri atau ... kalian sudah tahu jawabannya?
Gerombolan laki-laki adalah mimpi buruk bagi perempuan sebenarnya. Makanya Wilen sampai harus mengajak Adinda kemari dan benar saja. Meskipun sudah berdua, tetap saja terasa mengerikan. Nathan memang jahat sekali malah menyuruh pacarnya datang menemuinya di tempat tongkrongan laki-laki. Benar-benar tidak bertanggung jawab.
Sebenarnya jarak Adinda dan Wilen dengan Warung Bi Inem masih 20 m lagi, tapi suara obrolan, teriakan, dan tertawaan sudah terdengar. Membuat Adinda dan Wilen jadi maju-mundur.
"Wil, ini kita harus ke sana banget? Suruh Nathan ke sini, kek!" omel Adinda.
"Ya ini gue lagi ngechat dia," tukas Wilen sambil memainkan ponselnya.
"Kenapa sih lu mau-mau aja nyamperin di ke sini? Bucin sih bucin, tapi tolonglah jangan sampe segininya, Wil." Adinda pun mengikat rambutnya karena gerah, tentu saja.
"Ya mohon maaf nih kalau gue bucin," balas Wilen.
Adinda dan Wilen pun berteduh di balik tiang listrik yang sebenarnya tidak meneduhkan juga sambil menunggu balasan dari Nathan yang lama sekali datangnya. Wilen menelepon pun tidak diangkat.
"Udahlah, barbar aja. Kita langsung masuk ke sana," tegas Adinda yang membuat Wilen terkejut. "Gue mau ngadem nih. Sekalian aja kita jajan di sana."
"What?! Serius, Din?"
"Udah, cepetan!" Adinda langsung menyeret Wilen. Jika sudah kepanasan, Adinda memang akan seperti ini. Barbar.
To be Continued~

KAMU SEDANG MEMBACA
Masih Seorang Manusia
Teen FictionFarhan Achazia Lazuardi, 17 tahun, yang sempurna. Tampan, pintar, bergelimang harta. Seakan tanpa cela. Dalam diamnya, ia menyimpan seribu kebencian. Adinda Elvarette Nevosa, 17 tahun, yang segalanya. Cantik, cerdas, bermilyaran materinya. Seakan ta...