Chapter 3. Keluarga (1)

30 4 3
                                    

Matahari masih terik menyelimuti meskipun sudah jam setengah 4 sore. Farhan, laki-laki itu, melajukan motornya dengan kecepatan normal menuju SMP Negeri 4, sekolah adiknya—Arinistiana Putri. Situasi jalan raya sore itu cukup ramai karena di jam seperti ini, sekolah-sekolah yang menerapkan full day school memang baru pulang. SMA Bhaki Nusa Mulya sendiri masih belum menerapkan full day school, maka dari itu Farhan pulang sekolah setiap jam 1 siang.

Sesampainya di depan gerbang sekolah, Farhan mengeluarkan ponselnya dan menelepon adiknya. "Rin, kakak udah di depan gerbang."

"Iya, bentar, Kak," sahut Arin dari seberang telepon dan mematikan panggilan secara sepihak. Tak lama, Arin muncul dari dalam sekolah dan tanpa banyak bicara, Farhan langsung menyerahkan helm dan masker pada Arin.

"Kakak tadi main dulu sama Kak Nathan sama Kak Azqa?" tanya Arin yang entah apa maksudnya. Mungkin hanya untuk mengobrol dengan kakaknya itu karena kakaknya selalu memilih untuk diam ketimbang banyak bicara.

"Iya. Tadi Azqa titip salam."

Wah, ternyata Farhan benar-benar menyampaikan salam Azqa pada adiknya, tapi pesan selanjutnya memang tidak disampaikannya. Farhan bisa melihat adiknya tertawa dari ekspresi matanya karena sebagian wajahnya tertutup oleh masker.

"Kak Azqa tuh serius nggak sih, Kak? Arin jadi takut," tanya Arin lagi sambil menaiki motor. "Udah, Kak."

Farhan pun melajukan motornya lebih pelan dari biasanya. Jika ada adiknya, ia memang akan lebih mengutamakan keselamatan daripada kecepatan. Benar-benar sosok kakak idaman meskipun adiknya harus mengajaknya bicara lebih dulu, kalau tidak, kakaknya hanya akan membicarakan hal yang penting-penting saja.

"Mau dia serius atau nggak, jangan mau sama dia," jawab Farhan serius. Farhan memang serius ketika bilang adiknya itu bisa memilih siapa saja yang ia suka, tapi Farhan juga serius ketika ia bilang jangan mau dengan Azqa.

"Karena dia mau jadi DJ beneran?"

Farhan tertawa mendengar pertanyaan adiknya sambil menjawab, "iya."

Sebenarnya tidak juga. Mungkin karena Farhan tahu semua kejelekan Azqa, makanya ia tidak mau adiknya bersama dengan sahabat gendengnya itu. Sekali lagi, benar-benar sosok kakak idaman.

"Sebenernya Kak Azqa ganteng kok, tapi ya serem kalau dia mau jadi DJ beneran," ungkap Arin yang sebenarnya ... agak mengejutkan?

"Emang serem. Makanya jangan mau sama dia," balas Farhan masih dengan tawa yang sangat jarang ia tunjukkan ke orang-orang. Hanya dengan keluarga dan sahabat dekatnya ia bisa tertawa seperti sekarang.

Di rumah tingkat dua yang cukup mewah berwarna abu-abu itu ternyata masih kosong. Seperti biasa, Farhan akan langsung pergi mandi dan Arin masuk ke kamarnya untuk membersihkan diri, kemudian melakukan kegiatan masing-masing seperti mengerjakan tugas atau bersantai. Menjelang makan malam, barulah Farhan dan Arin memasak bersama karena mama mereka tidak mungkin bisa memasak untuk mereka. Arinistiana Clara, mama mereka, belum pulang karena masih bekerja dan biasanya akan pulang sekitar jam 7 malam, saat makan malam.

Pukul 19.20, Clara sudah pulang membawa makanan. Farhan dan Arin juga sudah selesai memasak. Sambil memersiapkan meja dan makan malam bersama, biasanya Clara menanyakan apa yang mereka lakukan selama seharian, makan apa siang tadi, dan hal-hal sederhana lainnya. Meskipun Farhan lebih banyak diam, tapi Farhan lebih menikmati saat-saat seperti ini.

Tidak ada pertengkaran, tidak ada cacian, tidak ada teriakan, tidak ada suara barang pecah, tidak ada kata-kata yang menyakitkan hati, tidak ada suara tamparan dan pukulan, dan jelas menurutnya ini jauh lebih baik daripada ketika masih ada pria Jahannam yang dengan tega menyakiti fisik dan segenap jiwa mamanya.

Masih Seorang ManusiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang