Sesampainya di kantin, ia melihat Arin sedang mengobrol dengan Wilen dan Rena sambil makan dimsum. Farhan pun segera menemui mereka dan akhirnya Wilen, Rena, dan Arin melihat Farhan.
"Akhirnya anaknya ada juga," keluh Rena begitu melihat Farhan.
"Dinda ke mana, Han?" tanya Wilen.
"Udah siap-siap lomba kayaknya."
"Lo? Iya ya, udah jam 1. Buruan ke lapangan, Ren," desak Wilen sambil membereskan barang-barang di mejanya.
"Jagain adek lu yang bener. Untung dia ketemunya sama kita, kalau sama orang jahat, gimana coba?" nasihat Rena sambil mengenakan ranselnya. "Wil, tungguin gue!"
Rena pun menyusul Wilen yang sudah berjalan lebih dulu. Farhan pun duduk di sebelah Arin dan mencomot satu dimsum.
"Iiihh, kakak ke mana aja? Arin telepon berjuta-juta kali, nggak aktif coba!" omel Arin.
"Mau ke panggung, nggak? Lihat yang lomba nyanyi," ajak Farhan.
"Evelyn Fajar kapan dateng?" tanya Arin yang sepertinya hanya ingin melihat Evelyn Fajar.
"Nanti sore pas penutupan, sekitar jam setengah 5," jawab Farhan sambil berdiri. "Mau ikut, nggak?"
"Iya." Arin pun ikut berdiri dan membuang sampah dimsumnya ke tempat sampah, kemudian mengikuti Farhan ke depan panggung yang ada di lapangan.
Setelah istirahat dari adzan dzuhur sampai jam 1, akhirnya pembawa acara kembali membuka acara. Orang-orang kembali berseru dengan semangat baru, termasuk Wilen dan Rena yang memang tidak sabar ingin melihat Adinda.
"Denger-denger peserta kali ini bisa nyanyi sambil main piano lo, Semuanya!" seru sang pembawa acara. "Langsung kita sambut peserta nomor urut satu, Adinda Elvarette Nevosa dari SMA Bhakti Nusa Mulya!"
Suara riuh tepuk tangan dan teriakan yang menyebut nama Adinda langsung bergemuruh, mengiringi langkah Adinda yang sudah berganti baju dengan gaun putih berlengan pendek dan ujung roknya di bawah lutut. Percayalah, Adinda tidak sempat berdandan, tapi sekarang ia tetap elok dengan gaun putih itu, membuat ia laksana bidadari yang sebenarnya.
Adinda duduk di atas kursi dengan keyboard di depannya. Ketika peserta lain harus mengirim musik instrumen pada panitia atau membawa teman yang bisa memainkan alat musik, Adinda tidak memerlukannya. Ia bermain piano sejak usianya 5 tahun dan bundanyalah yang mengajarinya waktu itu.
"Halo, Semuanya. Terima kasih untuk semua yang sudah menonton saya di sini," sapa Adinda dengan mikrofon di depannya. "Kali ini saya akan membawakan lagu yang paling berkesan untuk saya. Mungkin memang klise dan kalian semua tahu lagu ini, tapi inilah lagu yang membuat saya begitu merindukan sosok yang begitu saya kasihi--ibu saya."
Adinda menarik napas panjang. Ia gugup, tentu saja. "Semoga kalian terhibur dengan apa yang saya bawakan sebentar lagi. Selamat mendengarkan."
Semua yang menonton Adinda dari bawah panggung terdiam dan akhirnya terdengarlah alunan keyboard yang sedang memainkan intro dari lagu Bunda yang dipopulerkan oleh Melly Goeslaw.
Kubuka album biru
Penuh debu dan usang
Kupandangi semua gambar diri
Kecil bersih belum ternoda
Seluruh penonton pun melambaikan tangan mengikuti ketukan lagu, kecuali Farhan. Permainan keyboard itu sangat menawan. Suara lembut dan manis Adinda membuat Farhan yang ada di tengah kerumunan terdiam. Farhan selalu mendengar suara Adinda yang cempreng itu bertanya atau mengomelinya dan sekarang ia mendengar suara Adinda yang begitu lembut dan penuh perasaan, membuat memori-memori tentang mamanya terputar kembali di dalam pikirannya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Masih Seorang Manusia
Teen FictionFarhan Achazia Lazuardi, 17 tahun, yang sempurna. Tampan, pintar, bergelimang harta. Seakan tanpa cela. Dalam diamnya, ia menyimpan seribu kebencian. Adinda Elvarette Nevosa, 17 tahun, yang segalanya. Cantik, cerdas, bermilyaran materinya. Seakan ta...