Chapter 13. Mungkinkah ...

15 2 0
                                    

Adinda membeku. Tidak tahu harus bilang atau melakukan apa. Fakta menarik, Adinda belum pernah pacaran, tapi ia memang pernah menyukai laki-laki diam-diam dan beberapa kali mendapat ucapan seperti Deren barusan, terakhir saat ia SMP dan ini pertama kalinya ada yang mengatakannya saat ia SMA. Yang Adinda lakukan waktu itu? Tertawa karena menurutnya itu aneh dan belum pantas juga untuk anak seusia SMP pacar-pacaran seperti itu.

Adinda yang sekarang sudah jauh lebih paham. Ia dengan berani menatap Deren, mencari sesuatu di sana dan ... Deren memang bersungguh-sungguh mengatakan itu, Adinda tahu. Sebagai respons yang normal, tentu saja Adinda berdebar-debar mendengar ucapan Deren barusan, apalagi Deren menggunakan aku-kamu padanya.

"Lu nanya gue bakal bilang apa, 'kan?" balas Adinda. "Jawaban gue, 'maaf, gue nggak bisa ngasih apa-apa'."

Deren mengerutkan alisnya bingung dengan jawaban Adinda yang menurutnya aneh. "Maksudnya?"

"Gue nggak bisa ngasih apa-apa ke lu, termasuk balasan cinta yang lu inginkan." Adinda menunduk sedikit, melewati lengan Deren yang tadi menghalangi langkahnya. Syukurlah Deren membiarkannya lewat kali ini.

"Makasih banyak udah suka sama gue, tapi masih banyak hal yang harus gue kejer." Adinda tersenyum. "Gue cuma bisa jalan-jalan sama yang gue anggep cukup deket sama gue. Kalau lu mau, jadi temen deket gue aja. Gue duluan."

Adinda pun meninggalkan Deren yang masih terdiam. Kasihan sekali, Deren kena friendzone oleh Adinda. Yaa ... setidaknya Deren sudah cukup berusaha?

Adinda melihat jam di tangannya, sudah hampir jam 5. Adinda tidak tahu harus ke mana karena uang jajannya sekarang sudah terbatas. Janji ayahnya yang hanya akan memberikan Adinda uang tunai sepertinya sudah cukup membuat Adinda menabung dan tidak pulang terlalu malam lagi.

Jika kalian masih bertanya apakah Adinda masih merokok, jawabannya masih. Lagipula ia merokok tidak sebanyak itu sampai ia bisa membeli rokok barang sebatang. Ia juga belum bertemu dengan Farhan lagi di gedung terbengkalai di belakang sekolah. Ia hanya melihat Farhan di sekolah dan menyapanya selintas.

Membicarakan soal Farhan, ternyata Farhan ada ada di dekat ruang piket setelah ia berbicara dengan Bu Halimah terkait lomba yang akan ia ikuti. Adinda yang melihat Farhan pun langsung tersenyum senang.

"Farhan!"

Sekarang Adinda sudah tidak malu lagi memanggil nama Farhan. Padahal kemarin saja ia sebenarnya masih takut memanggil namanya. Sang pemilik nama itu menoleh dan melihat Adinda yang sedang berjalan ke arahnya.

"Kok belom pulang?" tanya Adinda langsung.

"Habis ngobrol sama Bu Halimah tentang lomba."

"Wih, semangat kalau gitu," balas Adinda dengan senyumnya. "Gue habis rapat. Acara besok pasti seru, deh."

Farhan menatap bola mata kecokelatan gadis di depannya itu. Sebenarnya ia masih tidak paham bagaimana seorang Adinda bisa cukup mudah masuk ke dalam hidupnya seperti ini? Apakah karena mereka punya kesamaan? Entahlah.

"Semoga," respons Farhan masih sesingkat balasan pesan gebetan.

"Lu nggak pulang, Han? Sekolah udah mau ditutup, lo," ujar Adinda sambil memerhatikan sekitarnya. "Udah sepi juga sekolahan. Kalau udah gelap, sekolah jadi serem tahu."

Farhan tertawa kecil. "Serem apanya? Lu sendiri juga nongkrong sendirian di gedung belakang."

Adinda mengerjap-ngerjapkan matanya melihat Farhan yang tertawa. Pemandangan yang sangat langka melihat Farhan berekspresi karena Farhan lebih banyak tidak berekspresi, terlebih lagi jika sedang banyak orang.

"Tapi kan ini sekolah, kita hampir setiap hari di sini. Jadi kalau ada yang serem-serem 'kan lebih serem," tambah Adinda sambil bergidik ngeri.

"Lah, emang lu nggak tahu?" ucap Farhan yang intonasinya tiba-tiba serius. "Di ruang OSIS tuh ada cewek tanpa kepala sama anaknya."

Adinda memelototi Farhan dan pura-pura ingin menendangnya karena bisa-bisanya Farhan sefrontal itu menceritakan kisah horror langsung di lokasinya. "Woey! Cerita serem tuh jangan cerita di tempatnya dong. Nanti kalau dateng beneran, gimana coba?!"

Farhan tertawa meskipun tanpa suara. "Ya kalau dateng emang lu bisa lihat? Lagian 'mereka' tuh ada di mana-mana, jadi ya biarin aja."

Adinda terdiam, bukan karena ucapan Farhan, tapi karena ia barusan melihat Farhan tertawa yang sangat terlihat. Membuat Adinda melirikkan matanya ke kanan bawah karena salah tingkah.

"Lu nggak pulang, Din?"

Adinda langsung melotot terkejut ke arah Farhan, membuat Farhan menatapnya bingung. Ada apa?

"Lu tadi nanya?" tanya Adinda tidak percaya.

"Emang intonasi gue nggak jelas? Ya nanya itu."

"Akhirnyaaa ...." Adinda menutupi wajahnya, berpura-pura menangis karena terharu. "Seorang Farhan akhirnya nanyain gue."

Farhan menatap Adinda sambil mengulang memori-memori lalu. Sebenarnya Farhan bahkan tak sadar jika ia tidak pernah menanyakan Adinda apapun. Selama ini Adinda yang banyak sekali bertanya dan menceritakan tentang dirinya.

"Selamat kalau gitu." Entah apa maksud Farhan yang malah menyelamati Adinda. "Mending lu langsung pulang. Gue tahu rumah lu nggak menyenangkan, tapi gimana pun, itulah satu-satunya tempat lu untuk 'pulang'."

"Lagian lu cewek. Jangan sering jalan-jalan sendirian, apalagi ke gedung belakang sekolah yang kosong gitu, malem-malem pula."

Adinda yang sudah membuka wajahnya pun menatap Farhan agak lama. Ada apa dengan jantungnya? Kenapa ... jadi terdengar semakin keras? Aneh, Adinda tidak pernah merasa berdebar ketika ada orang yang mengkhawatirkannya.

Adinda jadi tersenyum salah tingkah. "Eh, ma ... makasih, Farhan, udah ngekhawarin gue, hehe ...."

"Dih, siapa juga yang ngekhawatirin?" balas Farhan menyebalkan. "Itu gue ngasih tahu, bukan ngekhawatirin."

Adinda memasang wajah malasnya. Apa coba yang ia harapkan dari seorang Farhan? Lucu sekali. "Iye, makasih udah ngasih tahu gue. Kalau gitu gue duluan. Lu juga jangan keluyuran. Inget anak-istri di rumah."

"Mana punya gue anak-istri," sahut Farhan lagi. "Dah."

Adinda tersenyum sambil melambaikan tangannya dan menghilang dari pandangan Farhan. Farhan mengembuskan napasnya sambil tersenyum. Sebenarnya Farhan bisa dibilang mengkhawatirkan Adinda, tapi Farhan pun khawatir karena Adinda mengingatkannya pada Arin. Ia bahkan tidak akan mengizinkan Arin keluyuran seperti Adinda yang mengelilingi seisi ibukota sendirian. Kasihan sekali Adinda hanya dianggap seorang adik oleh Farhan.

Mari kita doakan lagi untuk sepasang insan kesayangan kita ini. Semoga semesta memberikan skenario yang terbaik untuk mereka berdua.

***

To be Continued~

Masih Seorang ManusiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang