Kali ini Adinda pulang jam 7 malam. Tidak semalam biasanya karena pertemuannya dengan Farhan tadi membuat mood-nya membaik. Padahal Farhan hanya mendengarkan celotehannya yang tidak ada habisnya, tapi berbicara dengan orang lain memang membuat Adinda merasa lebih baik.
Setelah memarkirkan sepeda motornya di garasi, Adinda membuka pintu yang menghubungkan garasi dengan rumahnya. Seperti biasa, ayahnya belum pulang dan Bi Minah sedang duduk di sofa sambil menonton televisi berukuran 48 inchi di ruang tamu.
Rumah Adinda memang besar sekali. Interior yang dipasang di dalam rumah itu pun bukan barang-barang murah, tentu saja. Meskipun rumahnya hanya di-cat warna putih, tapi warna putihnya bersih sekali.
"Selamat datang, Non Dinda," sapa Bi Minah dan bangkit dari sofa. "Mau makan malem, Non?"
"Boleh, Bi," balas Adinda. "Dinda ganti baju dulu."
Adinda pun naik menuju ke kamarnya. Kenapa Bi Minah tidak mengatakan banyak hal ketika Adinda selalu pulang malam seperti ini? Karena memang sudah setiap hari seperti ini dan Bi Minah tahu Adinda ke mana saja jika ia pulang malam. Adinda memang banyak bercerita dengan Bi Minah tentang semuanya, kecuali fakta jika ia merokok dan minum obat tidur.
Selesai membersihkan dirinya dan berganti baju, Adinda pun turun ke meja makan dan sudah terhidang nasi, ayam panggang, tahu-tempe, dan sayur capcay. Seperti makanan kalian di rumah? Adinda juga makan makanan seperti kalian, kok.
Adinda makan dengan lahap, sampai tidak menyadari tiba-tiba Rio muncul dari belakangnya dan duduk di kursi meja makan di depannya. Adinda sampai melotot saking terkejutnya. Kenapa ayahnya sudah pulang?
Rio hanya diam menatap Adinda, membuat atmosfer di sekitar Adinda jadi terlalu menyesakkan. Apakah ayahnya akan mengatakan sesuatu atau hanya akan diam saja sampai selesai makan malam?
"Adinda."
Suara dalam itu memanggil Adinda, membuat firasat Adinda tidak enak. Apakah ia ketahuan membuat masalah? Tapi ia sudah pulang lebih dulu dari ayahnya bukan?
"Di mana kartu ATM-mu?"
Pertanyaan ayahnya membuat Adinda tidak jadi memasukkan suapan nasi ke mulutnya. Kartu ATM? Ini pertanyaan baru untuk Adinda.
"Di dompet," jawab Adinda yang memang iya. Memang akan ada di mana lagi selain di dompet?
"Mulai besok, ayah hanya akan memberikan kamu uang tunai. Kamu pikir ayah nggak tahu kamu membelanjakan uang itu untuk apa saja, hah?"
Keringat dingin mulai menetes dari pelipis Adinda, tapi ... apa yang ia takutkan? Adinda pada dasarnya tidak segila itu dengan uang. Sepertinya ... ia hanya takut dengan ayahnya.
"Dinda cuma pakai apa yang udah ayah kasih, kok," balas Adinda sambil mengaduk-aduk nasinya. "Lagian uang itu emang milik Ayah. Dinda nggak bisa apa-apa kalau ayah emang mau mengambilnya lagi, 'kan?"
Adinda meletakkan sendoknya di atas piring yang makanannya masih bersisa. "Dinda udah selesai makan."
Tidak nyaman. Adinda langsung naik ke kamarnya, meninggalkan ayahnya yang masih duduk di meja makan. Di kamar, Adinda duduk pinggir ranjangnya, baru memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi ke depannya. Tentang ayahnya yang hanya akan memberikannya uang tunai dan tentu itu terbatas jumlahnya. Kemungkinan besar ia juga tidak bisa jalan-jalan sampai malam karena ia tidak punya cukup uang.
Adinda tertawa. Ternyata itu tujuan ayahnya. Ayahnya ingin ia ada di rumah ketika ... ayahnya sendiri jarang ada di rumah.
Adinda masih tertawa, sayangnya air mata itu kembali menetes. Terkadang realita memang selucu itu.
Semesta, bahagia sehari saja tidak bisa? Kenapa selalu ada saja yang menyangkal hal-hal baik yang terjadi? Padahal keinginan Dinda sederhana saja, bahkan jika itu terlalu menggelikan untuk kaukabulkan, biarkan Dinda ... bertemu bunda, sekali lagi. Ada begitu banyak hal yang telanjur tidak tersampaikan. Dinda ingin sekali mengatakan sejuta atau semilyar kali kalau Dinda ... sayang Bunda, tapi seberapa pun Dinda mengucapkannya, kata-kata itu hanya tinggal menjadi buih saja, mengambang tak bermakna di antara luasnya dunia.
Adinda membuka kembali laci nakasnya, mengeluarkan sebutir obat tidur dari botolnya, dan menelannya dengan air mineral. Air mata itu masih berjatuhan dan napasnya mulai sesak. Adinda tidak ingin merasakan kesakitan ini lagi. Ia harus pergi, entah ke mana, yang penting ia tidak merasakan apa pun lagi.
Akhirnya Adinda jatuh tertidur di pinggir ranjang. Apakah ia meminum obat tidur karena insomnia atau hanya ingin melarikan diri saja dari apa yang ia rasakan? Mungkin ... keduanya. Semoga Adinda segera baik-baik saja.
***
Satu hari sebelum acara ulang tahun sekolah, bisa kita lihat Adinda sedang berkumpul dengan anggota-anggota panitia sedivisinya di dalam kelas sepulang sekolah. Adinda sendiri pun memutuskan untuk masuk ke divisi PDD (publikasi, dokumentasi, dan desain) dan Adinda masuk ke bagian publikasi dan periklanan poster dan pamflet acara di jalan-jalan dan sosial media.
Sepertinya mereka serius sekali. Bisa dilihat dari ekspresi Adinda yang serius sekali. Pemandangan yang agak langka bisa melihat Adinda seserius sekarang karena ia bisa seserius sekarang jika hanya sedang mengerjakan sesuatu yang benar-benar sulit, misalnya soal fisika atau matematika IPA.
Rapat itu berakhir di jam setengah 5 sore karena jam 5, sekolah sudah ditutup. Setelah meneriakkan yel-yel khusus divisi PDD, Adinda pun menuruni tangga menuju tempat parkir sepeda motornya. Baru saja ia menginjak anak tangga terakhir di lantai satu, Adinda dikagetkan dengan Deren yang langsung ada di depannya.
"Astaga!" latah Adinda yang benar-benar kaget. Jika Deren mengagetkannya di anak tangga yang lebih tinggi lagi, ia bisa saja jatuh menggelinding di tangga. Amit-amit, tentu saja.
"Halo, Adinda," sapa Deren dengan senyum yang ia usahakan manis.
Adinda menghela napas. Sudah ia duga kalau ia akan bertemu Deren lagi, cepat atau lambat.
"Ngagetin lu di sini, woy!" marah Adinda sambil memegangi dadanya yang berdebar karena kaget.
"Hehe, maaf," cengir Deren tanpa dosa. "Lagi kamu kenapa kemaren-kemaren kabur? 'Kan kita belom selesai ngomong."
Adinda terdiam sebentar, berusaha mencari alasan yang masuk akal. "Gue kemaren kebelet mau ke kamar mandi, makanya gue langsung pergi, hehe." Alasan yang bagus sekali.
Deren mengangkat alisnya sebelah, terlihat tidak percaya, tapi ia tidak terlalu memedulikan alasan Adinda yang sebenarnya agak aneh itu. "Pertanyaanku masih sama nih. Hari Minggu kamu ada acara nggak?"
Adinda tersenyum pasrah. "Kan gue udah bilang, tiap hari Minggu gue ngerjain PR. Lagian gue sibuk jadi panitia."
Deren hanya menatap Adinda yang kelihatannya tidak percaya sepenuhnya. "Minggu depannya lagi nggak usah ngerjain PR-lah. Kamu juga butuh jalan-jalan sekali-sekali."
Semesta, Adinda ingin menghilang saja. Adinda menangis dalam hati. Kenapa Deren gigih sekali seperti ini sih? Membuat Adinda ingin kabur lagi saja, tapi jika ia kabur, masalah ini tentu tidak akan selesai.
"Hayoo, mau nyari alesan apalagi?" kelakar Deren sambil tersenyum.
"Gue dari Senin sampe Sabtu udah jalan-jalan, makanya hari Minggu nggak perlu jalan-jalan lagi," kelit Adinda dan berusaha melewati Deren. "Permisi, gue ada urusan di rumah."
Yang tidak disangka-sangka, Deren menahan langkah Adinda dengan tangan kanannya yang ia letakkan di tembok kanannya, membuat Adinda terkejut dan mendongak menatap Deren yang kali ini menatapnya datar. Ada apa? Adinda mau diapain, Semesta?
"Apa yang mau kamu bilang kalau aku bilang aku suka sama kamu?"
To be Continued~
Note: Waduh, ada apa ini, Pemirsa? Apa yang akan terjadi pada Deren dan Adinda selanjutnya?😲 Stay tune terus pokoknya!

KAMU SEDANG MEMBACA
Masih Seorang Manusia
Dla nastolatkówFarhan Achazia Lazuardi, 17 tahun, yang sempurna. Tampan, pintar, bergelimang harta. Seakan tanpa cela. Dalam diamnya, ia menyimpan seribu kebencian. Adinda Elvarette Nevosa, 17 tahun, yang segalanya. Cantik, cerdas, bermilyaran materinya. Seakan ta...