Chapter 4. Keluarga (2)

21 3 4
                                    

Play music above for good reading experience

Pukul 19.20, di pojok belakang gedung terbengkalai belakang sekolah, duduklah seorang gadis yang masih mengenakan seragam sekolah meskipun ia mengenakan sweater berwarna merah gelap. Sebenarnya tidak terlalu terlihat apa yang sedang gadis itu lakukan karena hanya ada dua cahaya temaram yang berasal dari lampu 10 watt yang tergantung di langit-langit gedung.

Setelah diperhatikan agak dekat, gadis itu memegang sesuatu di jarinya dan ... ada setitik warna terang dan berasap di dekat jarinya. Ya ... itu rokok dan gadis yang berani merokok sendirian di gedung terbengkalai malam-malam hanya satu orang.

Adinda Elvarette Nevosa. Apa yang ia lakukan?

Adinda, gadis itu, setelah makan bersama teman-temannya, ternyata ia tidak pulang ke rumah. Ia jalan-jalan sendirian di pusat perbelanjaan, membeli apapun yang ia inginkan karena tidak akan ada yang melarangnya, dan sekarang ia juga sendirian di gedung terbengkalai di belakang sekolah, merokok untuk melepas penat.

Adinda mengisap rokok yang ia pegang dan membuang asapnya melalui hidung dan mulutnya. Entah apa yang ia pikirkan saat ini. Ia hanya tidak ingin cepat-cepat pulang ke rumah. Di rumahnya hanya ada seorang pembantu, Bi Minah namanya. Ayahnya sibuk dan mungkin baru akan pulang tengah malam nanti atau ... tidak pulang.

Adinda menatap kosong lantai di sekitarnya. Ia tidak suka berada di rumah. Di rumah, ia hanya sendirian dan ada terlalu banyak hal yang mengingatkan dia tentang bundanya dan itu membuatnya begitu marah dan juga sedih sekaligus.

Bundanya Adinda, Eva, telah meninggal 4 tahun yang lalu karena sakit jantung dan sejak saat itu, ayahnya semakin tenggelam dalam kesibukan, meninggalkan Adinda yang merasa kosong dan kesepian sendirian. Seberharga itu sosok Eva di hidup Adinda, meskipun sudah 4 tahun berlalu, Adinda tetap merasa rasa sakit yang ia rasakan seperti baru terjadi kemarin, masih begitu pedih dan menyayat.

Bunda ... Dinda tidak tahu harus pergi ke mana lagi. Hanya kehampaan yang selama ini Dinda pahami. Hanya kesepian yang menemani Dinda selama ini. Sejak bunda pergi, Dinda tidak tahu Dinda ini siapa? Apa yang Dinda inginkan? Apa yang Dinda cita-citakan? Jika bunda ada di sini, Dinda yakin bunda akan membantu Dinda menemukan siapa Dinda, tapi ternyata nihil. Dinda dibiarkan seperti ini seorang diri.

Adinda kembali mengisap rokoknya. Kali ini memandang kosong langit-langit gedung yang telah menghitam. Entah sejak kapan Adinda merokok diam-diam seperti ini tanpa takut, tapi kita akan segera mengetahuinya.

***

Pukul 22.00, meskipun gelap, terlihatlah sebuah rumah putih mewah bertingkat dua dengan gerbang kayu cokelat besar yang menjulang, yang bisa dibilang gedung sebenarnya, dan lampu-lampu putih yang menghiasi taman menambah kesan mewah pada rumah itu. Pemilik rumah ini tidak lain dan tidak bukan adalah milik Rio Haryanto Nevosa, ayah Adinda.

Adinda yang baru pulang pun diam-diam membuka gerbang, sebisa mungkin tidak menimbulkan bunyi meskipun itu tidak mungkin karena ia sedang mengendarai sepeda motor dan sepeda motor itu tidak ada yang tidak berbunyi, kecuali motornya mati. Setelah berhasil membuka gerbang, Adinda melajukan sepeda motornya pelan dan memarkirkannya di garasi.

Naasnya, baru saja Adinda membuka pintu belakang yang menyambungkan garasi dengan rumah, wajah datar Rio ada di sana. Menunggu seakan-akan tahu Adinda akan muncul dari sana.

Adinda menatap ayahnya datar. Bukan pertama kalinya ia ketahuan pulang malam seperti ini. Lagipula ia tidak melakukan yang aneh-aneh seekstrim seks bebas, minum minuman keras, atau memakai narkoba. Adinda masih tahu di mana batasnya.

"Ayah tumben udah pulang?"

Entah itu sindiran atau Adinda benar-benar bertanya. Yang pasti air wajah ayahnya tidak menampakkan sesuatu yang bagus.

"Kamu ke mana, Adinda?"

Adinda yang sudah melewati ayahnya pun terhenti langkahnya. Sudah lama ia tidak mendengar suara ayahnya yang dalam dan berat itu. Biasanya ayahnya akan pulang ketika ia sudah tidur dan ketika bangun, ayahnya sudah kembali bekerja atau bahkan berhari-hari tidak pulang karena sibuk, karena itu Adinda sudah tidak sering mendengar suara ayahnya.

"Main," jawab Adinda malas. Ia hanya ingin ayahnya segera memarahinya saja dan ia bisa kembali ke kamar.

"Main apa sampai jam segini, hah?!"

Bentakan ayahnya memenuhi seisi rumah, tapi Adinda masih santai saja membelakangi ayahnya. Memang seperti inilah jika Adinda berbicara dengan ayahnya. Tidak ada kehangatan dan kasih sayang lagi di antara mereka sejak bundanya meninggal.

"Main ludo."

"KAMU MASIH BERANI BERCANDA DENGAN AYAH?!"

Ya, suara Rio sudah naik tiga not, menandakan amarahnya sudah memuncak. Salahkan Adinda yang menjawab asal pertanyaan ayahnya.

"Dinda di rumah juga ngapain? Nggak ada siapa-siapa di rumah. Mendingan Dinda main di luar," ucap Adinda ketus dan langsung menaiki tangga melingkar menuju kamarnya, meninggalkan ayahnya.

"ADINDA! SIAPA YANG MENGAJARI KAMU JADI ANAK KURANG AJAR, HAH?!"

Adinda sudah tidak peduli karena setiap kali ia ketahuan pulang malam, ia memang akan disemprot seperti ini. Daripada ia membuang-buang waktu dengan mendengarkan amukan ayahnya, lebih baik ia langsung ke kamarnya dan istirahat.

Sesampainya di kamar, kamarnya kali ini terang, tidak seperti terakhir kali. Kamar itu memang luas sekali, ranjangnya berukuran queen dengan berbagai macam boneka mengisi ranjang dan beberapa tempat di kamarnya yang dicat warna putih. Lantai kamar itu dari marmer yang dilapisi dengan karpet lembut berwarna merah tua. Isi kamar itu pun sederhana saja: ranjang dengan 2 nakas di kanan dan kirinya dan lampu tidur di atasnya, meja dan kursi belajar, 2 lemari pakaian, dan 3 lemari yang isinya khusus buku-buku dan buku-buku yang Adinda koleksi bukan main jumlahnya. Novel-novel, buku non-fiksi, dan buku pelajaran jika semuanya digabung telah mencapai ratusan dan jangan tanya apakah Adinda sudah membaca semuanya? Tentu saja sudah. Tidak heran jika Adinda seakan-akan telah tahu banyak hal karena ia memang sudah membaca banyak hal.

Adinda langsung membanting pintu kamarnya dan menguncinya, kemudian meletakkan ransel, dan merebahkan diri di ranjangnya. Menikmati empuknya ranjang yang sudah ia tinggalkan seharian ini.

Tapi, apakah kalian pernah menyangka? Dua orang yang terlihat begitu cemerlang, wajah yang rupawan, berwawasan luas, bergelimang harta, selalu tenang dan terlihat seakan tak ada beban di hidupnya, tertawa paling keras seakan ia adalah manusia paling bahagia di dunia ternyata hanyalah manusia biasa yang bahkan di dalam hatinya hanya ada kekosongan. Mengecewakan? Memang. Padahal kita pikir ini akan jadi kisah cinta yang manis, ternyata pahit sekali yang telah mereka lalui selama ini.

Kisah ini lebih dari itu. Bacalah, pahamilah, dan kamu akan mengerti bahwa dunia tidak hanya tentang kamu, tapi juga tentang sekelilingmu yang bahkan mungkin tidak kamu sadari kalau mereka telah sangat berarti di dalam hidupmu.

***

To be continued~

Note: Hulaa, sampai juga di chapter 4 dari "Farhan & Adinda". Gimana sejauh ini tentang Farhan & Adinda? Interesting? Atau biasa aja?:( Butuh komen dan saran dari kalian, gays:( Ide cerita tentang broken home emang udah cukup biasa, tapi aku mau membuat warna baru dan cerita yang khas aku gitu dan jadilah "Farhan & Adinda". Tentang keluarga, sekolah, persahabatan, cita-cita, dan ... cinta?:) Pokoknya tetep stay tune!

Masih Seorang ManusiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang