Chapter 9. Kemudian

29 3 0
                                    

Seminggu kemudian, Adinda terbangun pukul 3 dini hari. Hal seperti ini sepertinya sudah biasa untuknya. Semalam ia sampai di rumah jam 11 malam dan ayahnya belum pulang seperti biasa. Yang kemarin ia memang hanya sedang tidak beruntung saja, ayahnya sudah pulang dan menangkap basah dirinya pulang malam untuk ke sekian kalinya.

Adinda menyalakan lampu di kamarnya dan menuju kamar mandi. Setelahnya, ia duduk di kursi belajarnya, mengambil salah satu novel fiksi yang ia beli tempo hari, dan membacanya. Ini adalah salah satu kegiatan Adinda jika ia terbangun di jam-jam yang tidak biasa. Ia akan bermain ponsel, membaca, atau menyanyi sambil bermain piano.

Ia terus membaca sampai di pukul 4 pagi, ia menutup novelnya yang sudah setengahnya ia baca dan meletakannya di meja belajarnya. Adinda kembali ke ranjangnya dan mengambil sebotol obat di laci nakasnya, mengeluarkan satu tablet, dan menelannya bersama dengan air mineral. Adinda kembali meletakkan botol itu di atas nakas dan kembali tertidur 20 menit kemudian.

Ah, yang ia minum barusan dan kemarin-kemarin itu memang obat tidur. Adinda sendiri yang berkonsultasi dengan dokter tentang insomnia yang ia derita sekitar 2 bulan yang lalu. Sang dokter pun meresepkan obat tidur untuknya, tapi kelihatannya belum ada perubahan yang signifikan pada pola tidur Adinda karena sudah 2 bulan berlalu pun, Adinda masih harus mengonsumsinya. Lagipula ia harus bangun jam setengah 6 pagi nanti, kenapa ia malah minum obat tidur sekarang?

Entahlah. Kita doakan yang terbaik saja untuk gadis kesayangan kita ini.

***

Seperti yang sudah bisa diduga, Adinda terlambat menuju sekolahnya. Sekarang sudah jam 06.40 dan ia memang hanya terlambat 10 menit. Di SMA Bhakti Nusa Mulya ada toleransi batas keterlambatan sampai 15 menit dan Adinda masih selamat untungnya.

Sambil berjalan menuju kelasnya, Adinda merapikan rok hitam hari Jumat dan rambutnya yang berantakan karena ia bahkan tidak sempat menyisir rambutnya, tapi seorang Adinda pun tetap saja cantik meskipun ia mengenakan pakaian compang-camping sekalipun.

Sesampainya di kelas, Pak Jamal, guru fisika sekaligus wali kelas 11 IPA 2, belum datang dan suasana kelas masih ribut. Wilen dan Rena sedang duduk di belakang bangku Adinda dan Wilen. Wilen dan Adinda memang duduk sebangku, sedangkan Rena duduk dengan Kirana—sang sekretaris kelas.

"Tumben lu telat, Din? Ada masalah di rumah?" tanya Wilen yang terlihat khawatir. Adinda memang jarang sekali terlambat dan ini memang baru kedua kalinya ia terlambat sepanjang ia duduk di bangku SMA.

"Nggak. Gue cuma kebablasan tidurnya, hehe," kekeh Adinda dan duduk di bangkunya.

"Lu begadang?" tanya Rena kali ini.

"Iya, ngerjain PR matematika wajib. Kalian udah ngerjain emangnya?" Adinda berbohong, tentu saja. Ia sudah menyelesaikan PR itu kemarin di gedung terbengkalai di belakang sekolah. Ia memang tidak menceritakan terlalu banyak hal pada Wilen dan Rena, tapi kedua sahabatnya itu tahu kalau bundanya Adinda sudah meninggal dan ayahnya yang jarang ada di rumah. Adinda hanya tidak menceritakan kalau ia merokok dan mengonsumsi obat tidur pada kedua sahabatnya.

"Makanya ini kita lagi nungguin lu, Din," sahut Rena cepat. "Giliran kedatangannya diharapkan, lu malah telat."

Adinda memasang wajah malas. "Ya mohon maap, nih."

Tidak hanya Wilen dan Rena, akhirnya seisi kelas jadi mengerubungi Adinda untuk bertanya atau menyontek PR yang padahal akan dikumpulkan di jam pelajaran kedua. Sebenarnya Adinda tidak keberatan jika ia ditanya-tanya tentang apa pun, tapi kalau yang bertanya sebanyak ini tentu membuat Adinda pusing.

Jam 7 tepat, Pak Jamal pun masuk kelas, tapi kali ini ada yang berbeda. Biasanya Pak Jamal mengabsen siswa-siswanya dan memulai pelajaran, tapi sekarang setelah Pak Jamal mengabsen, beliau memberitahu bahwa sekolah akan mengadakan acara ulang tahun sekolah yang ke 25 tahun.

"Jadi nanti akan ada berbagai macam lomba seperti olimpiade matematika dan geografi. Ada juga pertandingan catur, futsal, menggambar, bernyanyi, dan masih banyak lagi. Akan dibuka juga bazar-bazar jajanan selama 2 hari dan ini akan dibuat tingkat nasional yang bisa diikuti oleh siswa-siswi seluruh Indonesia," jelas Pak Jamal yang membuat seisi kelas jadi heboh.

"Sebagai penutup acara di hari kedua nanti, sekolah juga akan mengundang Evelyn Fajar sebagai bintang tamu," sambung Pak Jamal yang membuat seisi kelas semakin heboh.

Evelyn Fajar adalah penyanyi solo ternama berkat salah satu singlenya "Biarkan Aku Bersamamu" yang menjadi lagu galau wajib di Indonesia dan lagu ini menceritakan tentang cinta yang bertepuk sebelah tangan. Ia juga pernah membintangi film layar lebar yang berjudul "Cintaku Dilindas Gerobak Tukang Cilok". Film itulah yang membuat nama Evelyn Fajar semakin melejit.

"Beneran Evelyn Fajar, Pak?" tanya Rakha, salah satu teman sekelas Adinda sekaligus ketua kelas 11 IPA 2.

"Iya, benar. Jadi kalian diminta untuk berpartisipasi di acara ini, baik sebagai peserta lomba, panitia, atau pendukung."

Jawaban Pak Jamal membuat suasana kelas yang tadinya sangat heboh jadi semakin rusuh. Pak Jamal pun sampai harus meneriaki mereka agar diam.

"Tenang! Tenang semuanya!" marah Pak Jamal dan akhirnya suasana kelas pun kembali kondusif.

"Acara ini akan diadakan 2 minggu lagi, di hari Jumat dan Sabtu. Jadi yang ingin mendaftar sebagai peserta atau panitia bisa langsung menghubungi temannya yang merupakan anggota OSIS," lanjut Pak Jamal lagi. "Mari kita lanjutkan materi kemarin. Buka buku paket kalian halaman 65."

Sambil mendengarkan penjelasan Pak Jamal yang entah apa, yang pasti tentang Fisika, Adinda sudah sangat excited dengan acara sekolah kali ini. Acara sekolah memang selalu menyenangkan dan tentu ini akan menjadi salah satu kenangan yang indah untuk mereka.

Jam istirahat, kali ini Adinda, Wilen, dan Rena makan di kelas dengan bekal mereka masing-masing. Tidak jarang juga beberapa teman sekelas meminta sesuap atau dua suap bekal mereka.

"Weh, Ren, bagi dong." Kali ini Yogi, salah satu teman sekelas mereka yang meminta sesuap makanan Rena.

"Pake sendok lu sendiri," omel Rena dan Yogi pun pergi keluar kelas dan menghilang entah ke mana. Mungkin mencari sendok.

"Eh, Din, lu mau ikut lomba? Atau mau jadi tim hore aja?" tanya Wilen.

Adinda tampak berpikir. "Gue pengen sih jadi panitia, tapi panitia boleh ikut lomba nggak?"

"Ntar tanya Yogi aja, dia kan anggota OSIS. Nah, itu dia manusianya," tunjuk Rena pada Yogi yang sudah kembali ke kelas dengan sendok plastik.

"Niat amat dah lu mau minta sampe nyari sendok ke mana coba?" cibir Rena pada Yogi yang sedang menyendok sesuap nasi dan ayam goreng.

"Iih, jangan banyak-banyak," omel Rena karena satu suapan Yogi itu sama dengan hampir dua suapannya Rena.

"Eh, Yogi. Panitia ulang tahun sekolah boleh ikut lomba nggak?" tanya Adinda langsung.

Sambil mengunyah, Yogi menjawab, "boleh."

"Ya udah, Yog. Gue mau daftar," kata Adinda bersemangat.

"Lu mau jadi panitia ama ikut lomba?" tanya Yogi memastikan.

"I ... ya?"

"Ambis amat lu, Din," ucap Yogi masih sambil mengunyah. "Awas keteteran, lo."

"Lu meragukan Adinda, Yog?" sahut Rena tidak percaya. "Meskipun dia jiwa penundanya sejati, tapi nilai dia tetep lebih bagus dari lu."

"Buset, ngena banget, Ren," balas Yogi pura-pura tersinggung sambil tertawa. "Ya udah, nanti gue kirimin divisi-divisi sama syarat jadi kepanitiaan, lomba-lomba apa aja yang diadain, sama g-form pendaftarannya juga di grup kelas. Kalian semua harap standby di grup, eyak."

"Sip, Yog. Makasih," ucap Adinda.

"Bagi makanan lu dong, Din." Yogi langsung menyendok sesuap nasi dan nugget dari bekal Adinda.

"Yeeuuu, ya udah, cepet." Adinda membiarkan Yogi mengambil sedikit makanannya.

Adinda, Wilen, dan Rena melanjutkan obrolan mereka tentang acara ulang tahun sekolah meskipun Wilen belum tahu akan berpartisipasi sebagai apa dan Rena sepertinya hanya akan jadi tim hore dan pemburu makanan saja. Adinda? Kita tunggu saja, tapi sepertinya ia memang yakin untuk menjadi panitia dan peserta lomba sekaligus.

To be Continued~

Masih Seorang ManusiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang