"Yuk, berantem, yuk. Aku tidak suka kerukunan," sindir Adinda untuk menghentikan adu mulut adik-kakak itu. Arin hanya tercengir malu dan Farhan yang memang jarang peduli pada apa pun.
"Sekarang kan masih jam 2, nih. Nanti jam 4 pengumuman pemenang semua lomba. Nanti kumpul di lapangan, ya?" ajak Adinda bersemangat.
"Oh iyaa, Kak Dinda!" panggil Arin. "Tadi Kak Dinda nyanyi bagus bangeet! Aku sampe nangis beneran."
"Eh, sampe nangis beneran? Makasih banyak, Arin," balas Adinda senang, "Syukurlah kalau perasaan kakak bisa sampe di kamu."
"Kakak belajar piano sejak kapan? Aku juga pengen banget bisa main, tapi katanya kalau mau main alat musik harus dari kecil, ya, Kak?"
"Ih, siapa bilang?" tukas Adinda tidak suka. "Tadi yang kakak mainin bukan piano, tapi keyboard, tapi kakak emang belajar piano dari umur 5 tahun dan yang namanya belajar itu bisa kapan aja. Dari lahir sampai mati, kita itu belajar. Makna belajar itu lebih luas dari hanya sekedar mengingat dan memahami seberapa banyak hal, tapi belajar itu membuat adanya perubahan pada diri kita dan kita sebagai manusia yang terpelajar inginnya berubah jadi lebih baik, 'kan? Jadi nggak ada yang salah kalau kamu mau belajar piano dari sekarang selama itu baik buat kamu."
Farhan terdiam mendengar ucapan Adinda yang mirip dengan mamanya bahwa belajar dan memahami suatu hal yang sebenarnya itu bukan karena ingin dipuji, takut dihukum, takut dimarahi, atau mendapat nilai bagus. Belajar lebih dari itu.
Farhan menatap Adinda yang sedang mengobrol dengan adiknya. Wajar saja mereka cocok, mereka sama-sama suka sekali bicara. Mungkin jika Farhan harus menunggu mereka selesai bicara, bisa-bisa Farhan akan menunggu sampai besok.
Setelah berbicara dengan Farhan dan Arin, Adinda harus pamit karena ia harus melanjutkan tugasnya sebagai panitia. Akhirnya Adinda pun menghilang.
"Kak Dinda cantik banget, ih. Baik, ramah pula," puji Arin. Farhan hanya diam saja, antara dia setuju atau tidak mendengarnya.
"Kakak nggak mau sama Kak Dinda?"
Farhan langsung menoleh pada Arin karena pertanyaan yang menurutnya aneh itu. "Kenapa kakak harus sama dia?"
"Karena Kak Dinda cantik banget, baik pula."
"Dia mirip Arin." terang Farhan langsung. "Kakak ngelihat Adinda itu kayak Arin, kakak cuma nganggep dia sebagai Arin."
Arin menatap kakaknya tidak percaya. Bisa-bisanya ia disamakan dengan Adinda? Menurutnya, bagus sekali jika ia memang mirip Adinda yang cantik dan baik, tapi ... kakaknya hanya menganggap Adinda sebagai seorang adik?
"Ih, Kak, nggak gitu konsepnya!" balas Arin sebal. "Semoga banget Kak Dinda nggak naksir sama kakak! Kasihan banget cuma dianggep adek doang."
Farhan tidak membalas. Ada beberapa pikiran yang mulai berkecamuk di dalam kepalanya. Sebenarnya pertanyaan adiknya barusan seperti sebuah batu sandungan untuk Farhan. Farhan memang menganggap Adinda seperti Arin yang selalu terlihat ceria dan cerewet, meskipun ia sudah melihat sisi Adinda yang lain. Membuat Farhan ingin melindunginya sama seperti ia pada Arin, tapi ... apakah akan selalu seperti itu? Atau ... semuanya telah berbeda jauh dari Farhan kira selama ini?
***
Jam telah menunjukkan pukul 4 sore. Saatnya para juara-juara dari berbagai macam lomba diumumkan. Adinda bersama Wilen dan Rena berdiri pinggir lapangan karena tidak mau berdesak-desakan dengan orang-orang yang excited karena kedatangan Evelyn Fajar yang sebentar lagi.
"Kembali lagi bersama saya! Apa semuanya udah siap buat pengumuman pemenang dari lomba-lomba bergengsi tingkat nasional yang diadakan SMA Bhakti Nusa Mulya kali ini?!" tanya sang pembawa acara yang masih bersemangat. Seluruh penonton pun bersorak-sorai tidak sabar yang kebanyakan menanti kedatangan Evelyn Fajar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Masih Seorang Manusia
Teen FictionFarhan Achazia Lazuardi, 17 tahun, yang sempurna. Tampan, pintar, bergelimang harta. Seakan tanpa cela. Dalam diamnya, ia menyimpan seribu kebencian. Adinda Elvarette Nevosa, 17 tahun, yang segalanya. Cantik, cerdas, bermilyaran materinya. Seakan ta...