"Din, gue ijin jalan sama Nathan, ya?"
Adinda hanya bisa tersenyum.
"Dih, ngapain pake ijin dia segala?" sahut Nathan menyebalkan.
"Nggak boleh gitu, Nathan. Kan Dinda yang udah nemenin aku ke sini. Emangnya kamu yang nemuin aku di sekolah aja nggak mau," cibir Wilen.
"Gitu ya sekarang udah bisa ngebales aku?" Nathan mencubit pipi Wilen dengan gelak tawanya, membuat Adinda memasang pose pura-pura muntah. Matanya sekarang sudah tidak suci lagi dengan melihat adegan bucin barusan.
"Udah sana kalian pergi daripada gue muntah beneran," usir Adinda dengan gestur tangan mengusir mereka, "tapi, awas ya, Nathan, kalau sampe Wilen kenapa-napa!"
"Iye, Nyonya. Anda udah ngancem saya kedua kalinya," balas Nathan sebal.
"Lu nggak pulang, Din?" tanya Wilen kali ini.
"Masih mau ngobrol sama Bi Inem bentar lagi." Adinda menoleh ke Bi Inem. "Saya masih ganggu bibi bentar, nggak apa-apa, 'kan?"
"Nggak apa-apa atuh, Neng," jawab Bi Inem ramah. "Sampai tengah malem warung bibi buka kok."
"Mantap, Bi." Adinda kembali menoleh ke Wilen dan Nathan. "Ya udah, sana pergi."
"Idih, galak amat. Cepet tua, awas," ejek Nathan yang dibalas dengan pelototan oleh Adinda.
"Ya udah, gue duluan ya, Din. Jangan kelamaan ganggu Bi Inem, lho," pamit Wilen dan akhirnya Wilen dan Nathan pun pergi setelah tos dengan Adinda sebagai salam perpisahan. Adinda pun lanjut mengobrol dengan Bi Inem dan sesekali juga mencomot beberapa jajanan.
Adinda suka tempat ini meskipun memang dipenuhi laki-laki yang masih saja ada beberapa dari mereka yang menggoda atau mengajak Adinda bergabung, tapi Adinda mengabaikan atau menolak, tentu saja.
Sudah 1 jam ia mengobrol dengan Bi Inem. Ia harus kembali melanjutkan perjalanannya yang pasti tidak pulang ke rumah. Ia juga tidak ingin Bi Inem nanti lama-lama malah terganggu dengannya.
Setelah membayar semua jajanannya, ia pun kembali ke sekolah untuk mengambil motornya, tapi langkahnya terhenti di pinggir jalan depan warung karena seorang laki-laki yang tidak asing bagi Adinda menahannya.
"Ngapain ke sini, Din?" tanyanya.
Adinda berusaha mengingat-ngingat siapa orang ini. Ia yakin laki-laki ini satu sekolah dengannya dan mungkin seangkatan juga. Siapa?
"Deren?"
"Ternyata kamu lupa namaku rupanya." Laki-laki itu tertawa. "Nggak apa-apa. Kenalin, namaku Deren kalau-kalau kamu masih lupa."
Ah, benar. Dia Deren Almalio, salah satu siswa di kelas 11 IPS 1. Adinda tidak terlalu mengenalnya, tapi Deren sendiri cukup dikenal di sekolah karena kenakalannya.
"Oh, hai?" Adinda bingung harus bagaimana. "Sendirian aja?"
Deren tersenyum kecil. "Kenapa? Takut kalau aku bawa cewek?"
Rasanya Adinda ingin pergi dari sini sekarang juga, tapi bagaimana caranya kabur tanpa Deren tahu jika ia tidak nyaman sebenarnya? Lagipula ia tidak tahu apa tujuan Deren mencegah langkahnya seperti ini.
"Nggak, nggak apa-apa," balas Adinda. "Maaf, gue harus pul ..."
"Sebentar, Din," sela Deren yang tahu Adinda ingin kabur. "Lo nggak mau gabung sama temen-temen gue di dalem?"
Adinda menggeleng. "Nggak, makasih. Gue harus pul ..."
"Kalau hari Minggu, lu mau ke mana?"
Rasa-rasanya Adinda ingin menyumpal mulut itu. Kenapa Deren gigih sekali mengganggunya sih? Adinda berusaha menarik napas panjang.

KAMU SEDANG MEMBACA
Masih Seorang Manusia
Teen FictionFarhan Achazia Lazuardi, 17 tahun, yang sempurna. Tampan, pintar, bergelimang harta. Seakan tanpa cela. Dalam diamnya, ia menyimpan seribu kebencian. Adinda Elvarette Nevosa, 17 tahun, yang segalanya. Cantik, cerdas, bermilyaran materinya. Seakan ta...