Chapter 17. Pengakuan

20 2 0
                                    

Khusus hari ini, sekolah tidak ditutup jam 5 karena acara ulang tahun sekolah kali ini baru selesai di jam 5. Adinda baru selesai membereskan acara serta evaluasi di jam 6 malam di sekolah. Seperti yang ia takutkan, sekolah sudah remang-remang oleh lampu putih ditambah cerita Farhan tentang perempuan tidak berkepala dan anaknya di ruang OSIS membuat langkah Adinda semakin cepat menuju tempat parkir sepeda motornya.

Ketika baru keluar dari gerbang, Adinda melihat ada seseorang di dekat sepeda motonya dan membelakanginya. Laki-laki, mengenakan kaos, celana training, dan sepatu kets. Melihat celana training-nya, Adinda sangat tahu siapa orang yang ada di sepeda motornya sekarang.

"Farhan? Ngapain lu di motor gue?" tanya Adinda langsung. "Lu nggak mau ngambil motor gue, 'kan?"

Farhan yang masih membelakangi Adinda pun menoleh ke belakang dan melihat Adinda yang memasang tampang curiga padanya. Farhan mengangkat sebelah alisnya.

"Gue juga punya. Ngapain mau ngambil motor lu."

"Terus ngapain lu di sini?"

Farhan tampak ragu sebentar, membuat Adinda semakin bingung. Sebenarnya Adinda memang ingin bertemu Farhan untuk memberi selamat, tapi ia harus membereskan acara dan evaluasi lebih dulu sampai semalam ini. Makanya ia pikir Farhan pasti sudah pulang dan ia bisa mengucapkannya hari Senin saja, tapi sekarang Farhan ada di depannya yang entah ada urusan apa.

"Ke gedung belakang sebentar bisa? Ada yang pengen gue omongin."

Adinda mengerjap-ngerjapkan matanya tidak percaya. "Eh? Ada apa emang?"

Belum selesai keterkejutan Adinda, Farhan memberikan sebungkus plastik dari toko kue favorit Adinda dan meninggalkan Adinda begitu saja.

"Eh, ini apaan, woi?!" teriak Adinda sambil menyusul Farhan dan mengintip isi plastik yang diberikan Farhan yang ternyata sekotak kue dan susu rasa pisang—makanan dan minuman favorit Adinda.

"Eh, dalem rangka apaan lu ngasih ginian? Langsung merinding dong gue," canda Adinda yang sekarang sedang kesusahan menyamakan langkah Farhan yang cepat dan terlalu lebar untuk Adinda yang tidak terlalu tinggi.

"Ntar aja gue ngomongnya."

Adinda kembali mengerjap-ngerjapkan matanya tidak percaya dan sekarang entah kenapa jantungnya berdetak semakin cepat karena ia mulai memikirkan 'kenapa Farhan memberikan ini padanya?' dan 'apa yang Farhan ingin bicarakan?". Ini pasti bukan sesuatu yang bisa Adinda tebak dengan mudah, 'kan?

Sesampainya di belakang gedung terbengkalai belakang sekolah, Farhan berhenti melangkah dan melihat Adinda yang terengah karena berusaha menyamakan langkah Farhan yang cepat meskipun Adinda sudah menyuruhnya untuk pelan-pelan.

"Buset dah, lu jalan kayak lagi dikejer-kejer. Santai aja dong, gue pulang jam 11 malem juga nggak apa-apa," sungut Adinda.

"Ya lu mah nggak apa-apa. Gue jam 7 udah harus pulang soalnya," balas Farhan, membuat Adinda terdiam. Ia lupa kalau Farhan masih punya keluarga yang menunggu kepulangannya. Hanya ia yang tidak dinanti keberadaannya sepertinya.

"Lu mau ngomong apaan?" sosor Adinda yang sebenarnya tidak sabar ingin mendengar apa yang ingin Farhan bicarakan.

Farhan sekarang tampak berpikir, kelihatan sekali jika ia sedang memikirkan kata-kata yang cocok untuk dikatakannya. "Pertama, gue mau ngasih selamat atas kemenangan lu. Maaf nggak bisa langsung ngucapin soalnya gue harus langsung nganterin adek gue pulang dulu."

Adinda menatap mata Farhan, masih menunggu apa yang Farhan katakan selanjutnya. "Makasih, Han, hehe. Ada lagi?"

"Dan terakhir, gue ngasih kue sama susu itu sebagai hadiah buat kemenangan lu dan permintaan maaf gue karena tadi gue nyusahin lu."

Masih Seorang ManusiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang