13. Monster Cokelat

1K 173 35
                                        

"Pokoknya jangan latihan dulu!"

"Gak bisa Liv... minggu depan udah turnamen. Jadi sekarang gue harus latihan."

Olivia menghela napas berat, sedikit kehilangan kesabaran karena sudah berusaha mencegah Daffa dari latihan basketnya. Daffa seharusnya cukup tahu diri dengan kondisi wajah yang hari ini masih terlihat pucat, tidak seperti biasanya.

Tidak kalah dengan Olivia, kini Daffa yang masih saja ngotot untuk latihan. Berusaha sebisa mungkin untuk meyakini Olivia kalau tidak ada hal yang perlu dicemaskan. Ia juga sudah cukup mampu untuk mengatasi kesehatannya sendiri.

"Gimana? Yang lain udah pada nunggu tuh!"

Cowok yang sudah mengenakan pakaian basket itu tiba-tiba saja datang menghampiri Daffa. Olivia memutar bola matanya, tidak peduli dengan kedatangan cowok itu sama sekali.

Sedangkan Daffa yang masih dilanda kebingungan antara latihan atau tidak membuat tangannya tak tahan untuk menggaruk tengkuk lehernya yang sebenarnya tidak gatal. Matanya melirik ke arah lapangan basket yang sudah ramai dengan para pemain.

Olivia yang menyadari kebingungan Daffa saat ini langsung berkata kepada cowok yang barusan menghampiri Daffa. "Daffa gak bisa latihan dulu. Dia masih sakit."

Arah mata Daffa kemudian berganti untuk menatap Olivia geram. Sedangkan Cowok yang sedari tadi menunggu jawaban dari Daffa langsung menatapnya, memastikan bahwa ucapan Olivia itu benar. Setelah dirasa wajah Daffa yang saat ini memang sedikit pucat, akhirnya cowok itu percaya dan mengangguk. "Oh, oke."

Olivia tersenyum penuh kemenangan. Ia sangat lega, akhirnya cowok itu pergi dari sini. Daffa yang masih berdiri dihadapan Olivia langsung protes dengan apa yang baru saja Olivia katakan.

"Gue udah sembuh. Kenapa lo malah bilang kalau gue masih sakit?" tanya Daffa.

"Belum sembuh total. Kalo lo tetep maksain buat latihan, Lo bisa sakit lagi." Jawab Olivia.

Daffa menarik napasnya, kini tangannya beralih untuk memegang kedua bahu gadis itu, meremasnya pelan, memberi sedikit penekanan agar gadis itu bisa mengerti. "Liv, kita udah berapa lama sahabatan sih? Lo kan tau Basket itu udah jadi hobby gue dari kecil. Setiap gue main basket, gue ngerasa beban yang selama ini ada di kehidupan gue hilang. Karena saat gue jatuhin bola basket ke permukaan bumi, gue selalu berharap setiap beban itu juga ikut jatuh dan hilang meskipun perlahan. "

Olivia terdiam, sedikit memberi kesempatan untuk Daffa berbicara lagi. Sebenarnya ia juga masih belum mengerti hubungannya antara beban dan basket yang baru saja Daffa katakan.

"Lo tau nyokap sama bokap gue sering banget ninggalin gue kan? Nah, lo juga harus tau kenapa gue gak pernah marah sama mereka. Bahkan gue gak pernah minta mereka untuk sadar kalau sebenarnya gue sangat butuh perhatian dari mereka." Ucap Daffa memberi jeda. "Lo tau alasannya kenapa?"

Olivia menggeleng.

Daffa menarik napas pelan. Dan berkata, "Karena akhirnya gue nemuin cara yang ampuh buat ngilangin rasa kesepian gue Liv. Selain lo yang jadi alasan pertama, basket juga bisa bikin rasa kesepian itu hilang."

Olivia terpaku saat itu juga. Matanya menatap kedua bola mata hitam pekat milik Daffa, menampilkan sekilas bayangan wajahnya disana.
Memberi sebuah ketenangan yang selalu menjadi alasan mengapa jantungnya berdetak lebih cepat.

Disisi lain Daffa malah tersenyum ketika Olivia menatapnya seserius itu. Membuat Daffa sendiri gemas dan langsung mengacak-acak rambut Olivia, "Udah ahh pokoknya lo gak usah khawatir! Gue itu cuma mau latihan basket, bukan mau tawuran."

Olivia kemudian merapikan rambutnya dengan jari-jarinya sambil mendengus kesal, "siapa juga yang khawatir sama lo?"

Daffa terkekeh, "Usaha lo yang ngelarang gue latihan udah cukup jelas nunjukin kalo lo khawatir sama gue. Iya kan?"

OLIVIANOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang