Part 4: Negotiation

1.1K 22 4
                                    

Semenjak pembicaraan dengan kedua orangtuanya, Aiden belum bisa menemukan gadis mana yang harus diajak untuk menemui kedua orangtuanya. Awalnya dia sudah memutuskan untuk bicara pada Jase tapi sudah dua hari Jase tidak pernah muncul. Dari informasi yang didengarnya Jase sedang sibuk mengurusi skripsinya sehingga dia lebih sering pergi ke kampus dan mengerjakan pekerjaannya di rumah. Alhasil sekarang disinilah Aiden. Sengaja menunggu Jase di depan kampusnya.

Aiden bersandar di pintu mobil ferarri putihnya. Hari ini dia sengaja memakai pakaian lebih casual, dengan celana jeans biru tua, kaos warna putih dipadukan dengan kemeja denim warna biru muda yang sengaja tidak dikancingkan dan kaca mata hitam yang bertengger dihidungnya. Dan tentu saja bukan Aiden namanya kalau tidak selalu menjadi pusat perhatian dimanapun dia berada. Semua wanita yang ada disana tak perlu berpikir dua kali untuk melirik atau bahkan secara terang-terangan memandangnya dengan air liur yang siap menetes. Tapi Aiden tak mempedulikan itu, matanya tetap fokus mencari sosok Jase.

Jase baru saja keluar dari lobi kampusnya saat dia mendengar semua mahasiswi tengah berbisik-bisik membicarakan sesuatu dan Jase yakin itu tak jauh-jauh dari makhluk yang bernama pria tampan. "Pria macam apa lagi yang menggemparkan kampus disiang bolong seperti ini?" Kata Jase cuek sambil terus meneruskan langkahnya. Saat baru saja keluar dari pintu lobi matanya menangkap sosok pria yang sangat dikenalnya. Jase sudah ingin menghindar sebelum pria itu melihatnya tapi sayangnya sepasang mata yang sejak tadi dihindari berhasil menangkap sosoknya dari kejauhan.

"Jase. Jase!” Teriak Aiden. “Jase kau mau berhenti atau aku akan membuatmu berhenti dengan caraku sendiri !" Teriak Aiden lagi tanpa mempedulikan tatapan tajam dari orang-orang disekitarnya. Jase berhenti mematung ditempatnya. Dia benar-benar sudah gila! Umpat Jase dalam hati. "Pilihan yang tepat sayang." Aiden menyeringai senang begitu sampai di depan Jase sambil mengacak rambut Jase gemas.

Jase melotot kearah Aiden. "Kau gila Aiden. Kau mempermalukanku!" Kata Jase sambil diam-diam melirik keadaan sekitarnya. "Mau apa kau kemari dan berteriak-teriak seperti orang gila?" Ralat, dia memang sudah gila. Tambah Jase dalam hati.

"Seharusnya kau senang dihampiri pria tampan sepertiku Jase." Jase memutar bola matanya mendengar perkataan Aiden. "Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan denganmu."

"Aku tidak ingin membicarakan masalah apapun selain masalah bisnis."

"Ini bisa juga disebut bisnis Jase. Bisnis yang menguntungkan." Jase memincingkan matanya curiga. "Tak usah banyak berpikir, sekarang ayo ikut aku."Aiden menarik tangan Jase untuk memasuki mobilnya.

"Hey, aku membawa mobil sendiri Aiden. Lepaskan aku!" Jase berusaha memberontak tapi Aiden tetap bergeming sampai Jase terpaksa naik di mobil Aiden.

"Aku akan menyuruh orang untuk mengantarkan mobilmu ke villa, jadi kau tenang saja." Aiden mulai melajukan mobilnya. Jase membuang muka dan lebih memilih menatap keluar jendela. Selama perjalanan hanya dihiasi dengan keheningan, tidak ada yang mencoba untuk memulai pembicaraan.

Kurang dari satu jam mereka telah sampai ketempat tujuan. Ternyata Aiden membawa Jase ke pantai dekat resort yang sedang mereka kerjakan. Jase merasa lebih rileks saat angin sejuk pantai membelai wajahnya. Tanpa sadar Aiden tersenyum melihat wajah damai Jase dari samping.

"Apa yang ingin kau bicarakan?" Jase mulai memecah keheningan diantara mereka.

"Sebenarnya ... Aku ingin meminta bantuanmu." Jase dengan cepat melihat Aiden yang sedang menatap lurus kearah laut dengan kening berkerut.

"Bantuan? Jadi kau menyeretku kesini karena membutuhkan bantuan? Sungguh manner yang bagus."

"Baiklah aku minta maaf karena memaksamu kemari, tapi aku benar-benar membutuhkan bantuanmu."

Fate And Wishes In AutumnTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang