Aware

2.9K 230 32
                                    

Ronald

Thorazine (chlorpomazine) dan Haldol, Risperdal (risperidone), Prolixin, Lithium, Olanzapine. Ini adalah serangkaian obat yang seharusnya ia konsumsi, namun dari hasil tes darah yang diterima olehku kemarin, sepertinya sudah lama ia menghentikan pemakaian serangkaian obat tersebut. Maka tidak heran ia selalu merasa cemas berlebihan, delusinya semakin kerap kambuh dan emosi yang meledak-ledak. Bahkan saat ini ia melihat dokter atau konselor sebagai musuhnya, bukan penyakitnya itu sendiri. Maka aku akan berusaha menjadi kawan dan membuatnya senyaman mungkin.

Leyya. Saat ini ia sedang bermain disekitar kolam air mancur, tepat didepan ruanganku. Kami membatalkan sesi hari ini, dan memberikan kesempatan baginya untuk berlibur. Mengenal lingkungan baru dan berusaha membuat Leyya beradaptasi sangat penting dalam perkembangan kesehatannya.

“Bagaimana Leyya apakah kau senang?” aku berteriak dari ruanganku, jarak kami sekitar 15 meter jauhnya.

“LU-MA-YAN.” ia berteriak dan menirukan mimik ikan Koi dalam kolam. Tingkahnya memaksaku untuk tersenyum, dan aku tidak keberatan untuk dipaksa.

"Sebentar lagi makan siang, apakah kau ingin makan bersamaku?" ku lambaikan kotak bekal makan siang hari ini, berharap dapat mengalihkan perhatiannya dari kolam ikan itu.

"Apakah ibumu menyisipkan puding coklat lagi?" Ia berlari menuju ruanganku, hidungnya membuat gerakan mengendus-endus diudara. 

"yep, semua ada didalam sini! Puding coklat extra fla," sebenarnya kemampuan leyya melahap puding, mengesankanku. Bagaimana mungkin tidak, ia pernah melahap seloyang puding buatan ibuku. Dan itu sesuatu sangat sesuatu.

"mhuenak bhanget.. mahu nhambah lhuaghii dhong!" leyya makan sambil bicara. Ia melahap puding tersebut dengan potongan besar dan kecepatan extra.  So Amazing! "Masih ada gak ron?"  Leyya menggoyang dan membolak-balik tempat bekalku, seolah sedang menunjukkan bahwa Pudingnya sudah habis.

"Maaf hanya itu Leyya," Suaraku terdengar begitu menyesal.

"HAH cuma segini?" Mulutnya mangap lebar, sambil memegang pipi dramatis.

"Besok akan kubawakan lagi," aku tersenyum.

"Hua... Ron tampan banget si, cool banget si, cucok banget si," Leyya menirukan gaya Groupies yang sedang histeris. Tak dapat kupercaya sebesar ini pengaruh seloyang puding bagi wanita?

Kenyataannya dimataku Leyya terlihat seperti penyu hijau. Memiliki cangkang yang kokoh namun lembut didalam. Anggun bergerak berirama didalam laut lepas, namun rapuh ketika berada dipesisir pantai. Seperti penyu yang setia kembali ke pantai yang sama pada tiap musimnya, ia setia melindungi sesuatu yang aku cari selama ini, sesuatu yang ada padanya. Mata penyu yang indah dan mengguratkan luka seolah ingin berkata, samudra itu telah kuarungi! Dengan segala duka dan keindahannya, Kini aku ingin kembali kepantai itu lagi.

Mungkin dimatanya, ialah si Beruang coklat. Ketika bahaya datang ia akan berdiri dan membuat tubuhnya nampak lebih besar dan menakutkan. Seperti caranya berlindung dibalik sikap kasar dan kata-kata sarkasnya. Namun bagiku kamu si penyu hijau di samuderaku, anggun dan rapuh dibalik tempurungmu.

Butuh minggu setelah minggu, dan setelah minggu yang lalu-lalu. Leyya mulai menerima kehadiranku, bahkan ia mulai menikmati perbincangan kami. Terkadang ia bertanya, apakah esok aku akan datang lagi? Ia senang bicara, dan terus bicara. Namun bukan tentang kejadian itu, kejadian yang membawanya kesini. Ia akan berpura-pura lelah atau merasa sakit bila aku mulai bertanya tentang hal itu. Semua tampak buntu! Hingga akhirnya aku menemukannya, ia yang lembut, ia yang rapuh, ia yang kutunggu, ia si isi tempurung, ia yang bukan Leyya.

Scared Flora

Namaku Flora Speicher, yang berarti bunga kenangan. Mungkin nama itu yang menjadi obat pilu dari rindu bagi  ayah kepada ibu. Atau cemoohan atas kehadiranku, mengutukku selama hidup dan tetap ada hingga ajalku yang tertulis pada nisan dalam kuburku. Ayah  berkata aku mengingatkannya pada ibu, rambut ikal mayang dengan mata sayu dan senyum sendu, selalu terlihat cantik dalam gaun birunya. Namun itu bukanlah pujian bagiku, ayah seperti menggambarkan luka dunia dalam satu tubuh. Dari namaku semua orang  tahu aku  keturunan jerman, darah  itu kudapatkan dari ibu. Ayah merasa sangat beruntung  ketika mendapatkan ibu, ia merasa pribumi yang menikahi seorang priyayi, cantik nan baik hati. Titik sampai disitu, karena bila tanda baca koma yang kugunakan akan ada serangkaian perselingkuhan yang tak teruarai atau hutang atas judi yang tak dibahas, gambaran ibuku cukup sampai titik saja!

Dia ayah pemilik separuh wajah, rahang tegas dan dahi penuh. Mewarnai hampir seluruh hidupku, yang mengajariku tentang rindu. Ialah pria yang sepanjang malam ditiap harinya pada tahun-tahun yang terlewati selalu menatap puluhan gambar tanpa gerak dan suara, tak terbingkai oleh kata namun sarat akan makna. Gambar ayah dan ibu tanpa aku, berdua berjalan ditepian pantai, berpeluk dipuncak gunung, tersenyum memandang senja. Semua tanpa aku!

Pagi ini, ayah berdiri di ambang pintu. Menatap dan lalu berjalan dengan separuh  ragu menghampiriku. Ayah menyapu keningku dengan tangan hangat bergaris tegas. Yang dengannya menyuapiku belasan tahun lalu, menggantikan tugas ibu. Tatapannya dalam, menyiratkan jalan panjang yang terlalui dan ribuan luka yang telah kuberi. Pupil yang mengabu, nampak jelas ia merabun! Pagi ini ayah berulang kali menghela nafas dan menelan ludah, menahan air mata yang hendak tumpah. Dengan berkaca-kaca ia bicara “Dengan kasih kurestui jalanmu nak”.

“Ayah” dengan sedikit tertahan  kata itu tertumpah, suaraku serak dan terdengar parau, tidak seperti aku pada masa kecilku, berteriak riang dan tersenyum manja berharap ayah memberi gula-gula. Kata itu begitu hambar tak berasa, tak bahagia. Bukan bentuk sapa, bukan pula tanya. Aku ragu bicara, hatiku penuh  luka dan rana, sungguh tak ingin ku tinggalkan ia.

“Selamat pagi Leyya.”

Suara itu menyadarkan ku dari sepotong kenangan lama, namun siapa itu Leyya? siapa pria ini? ia nampak seperti dokter?

“Kenapa Leyya? Nampaknya kamu sedikit bingung? Apa sarapan pagi ini kurang nikmat?”

Mengapa pria ini terus menerus memanggilku Leyya?


“Leyya, apa kamu ingin membatalkan sesi kita hari ini? Kamu terlihat pucat?”

“Maaf, mengapa anda terus menerus memanggilku Leyya? Dan apakah aku mengenalmu?”

“Bukankah, itu namamu? Leyya. Dan aku Ronald, doktermu. Ingat?”

“Aku bukan Leyya, namaku Flora! mengapa kamu dan mereka selalu memanggilku Leyya?” dokterku? Apakah aku sakit? Aku dimana? Mengapa aku disini? Mengapa terlalu banyak pertanyaan namun begitu sedikt jawaban yang ada?

Leyya? Ronald? Apakah dia salah mengenali seseorang, mengapa ia yakin bahwa akulah Leyya? Lagi pula aku dimana? Ayah aku dimana? Aku kalut, aku takut, bagai kabut menyelimut kenapa banyak kenangan ini hilang terenggut?

Bisakah aku terbangun esok hari dengan kenangan yang lengkap dan sempurna, dimana semua potongannya tersusun rapi, dimana tidak ada sakit lagi dikepala ini, dihati ini, disemua hal yang kusentuh dan kucintai.

Ijinkan aku tidur untuk sementara ini.

Shards Of GlassTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang