L E Y Y A
Kali ini lagi-lagi kuterawang cakrawala, mencari bianglala tersembunyi diangkasa. Aku selalu menanti pagi sempurna, hari sempurna, diri sempurna ‘agar lengkap imaji mereka atasku. Terserah walau itu pura-pura – telah lama mereka bilang aku Gila -. Biar...Biar saja, toh gila bukan sebuah dosa.
Hei siapakah yang memerintahkan kalimat untuk berhenti ketika ia bertemu titik? Mengapa begitu banyak terdapat kematian dan kehidupan dalam huruf ‘seperti konsonan dan vokal? Apakah semua ini sebuah pembatasan? Tepi? Margin? Lihat! Kali ini pikiranku terbang kemana-mana, mengikuti angin yang slalu brubah arah. Hingga akhirnya ia tertambat pada kisah cinta antara femina dan maskula. Bukan sekedar rasa tentu, bukan diatas kertas atau simbahan kata! Tapi cita didalamnya.
Lalu tiba pada masa intuisi femina memojokkan maskula, mendorong hingga kedinding. Maskula berayun kebelakang dan kedepan ‘hingga benturan punggung tak terelakkan, maskula memental kembali mengayun keras kedepan, menabrak femina mereka jatuh bersama – lalu itu salah siapa?
Ini seperti kisahku dan kamu, berjanji bertemu pada tepi dunia, namun Tuhan berkata bumi itu bulat. Lalu dimanakah tepinya? Apakah kita patut menyalahkan Tuhan? Atau janji yang kita buat. Satu hal yang pasti ‘Tuhan lebih menyayangi Adamnya, bulatnya dunia untuk mempertemukan Adam dan Hawa! SIAL... haruskah aku membenci Adam? Jangan, dia bapak moyang kita (Atau kera??).
Bulatnya bumi kita ‘pun lelucon. Karena kita berada pada lingkaran dari suatu lempengan memapat alam semesta yang berbentuk elips, menjadi objek dari entitas lain diluar sana? Akh ternyata benar kata mereka, AKU MEMANG GILA.
Dari langit kuberalih padanya, pada separuh wajah Debran ‘bagian yang tampak sempurna. Bukan bagian sana yang terbakar, mengerut dan berwarna merah. Kuperhatikan bagian tampan pada wajahnya, pada hidung tegak yang menurun. Pada tatapan lembut yang cenderung nakal, pada kurva senyum sempurna yang sayang ‘hanya separuh. Ia pasti tampan pada masanya, Sang Arjuna dikalangan para remaja wanita. Namun kini Debran berubah, ia berbeda – apakah karena cacat yang dideritanya- tapi apakah pantas dunia menghakimi ia?
“Kamu yang menumpahkan cerealku ya?” pertanyaan dari Debran yang mampu menyeretku kembali pada poros bumi, aku kembali berotasi.
“Maaf gak sengaja, ia menghalangi jalanku.” Tanganku membuat gerakan seperti palang yang terjatuh, berusaha membuat Debran paham ‘bahwa cereal itu memang menghalangi jalanku.
“Bagaimana mungkin? Cereal itu ada didalam mangkuk, dan mangkuknya ada diatas meja makan. Carilah alasan yang lebih cerdas Leyya! Dasar CEREAL KILLER,” Debran memberengut, ia masih saja memikirkan bagaimana mungkin sebuah mangkuk cereal menghalangi jalanku ‘wajahnya menunjukkan ia berkutat keras dengan pikirannya.
“Hahahaha... ini sungguh menggelikan,” ledakan tawa yang tak mampu kutahan, perut ini hampir serasa kram karena terus terbahak.
“Apa yang lucu?” Debran bertanya bingung, sambil menggaruk kepalanya yang sudah pasti tidak gatal – bahasa tubuh yang mengungkapkan tanda bingung, kebiasaan atau memang telah mewabah?
“CEREAL KILLER! Diluar sana mereka memanggilku SERIAL KILLER. You are awesome Debran, good sense of humor,” aku bersungguh-sungguh, anak ini lebih membenci seorang cereal killer daripada serial killer. “Hei Debran, kamu seperti Half face dalam film Batman.”
“Apakah karena wajah terbakar ini?” Debran menunjuk keseparuh wajahnya yang terbakar.
“Iya, keren bukan? Kamu Half Face dan aku Mister Pinguin.” Perpaduan yang aneh mungkin, tapi pinguin itu lucu.
“Aku menolak! Menjadi Batman mungkin berlebihan bagiku ‘aku memang tak punya tuxedo mahal, peralatan canggih atau mobil bat seperti Bruce Wayne. Tapi seandainya aku boleh memilih, aku memilih menjadi joker ‘sebuah peran yang akan kuperankan dengan sempurna.” Debran menepuk dadanya seolah bangga, mana ada seseorang yang bangga menjadi penjahat? Okay aku ralat, Debran bangga menjadi Joker – dan setahuku Joker itu penjahat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Shards Of Glass
Mystery / ThrillerSemua luka ini tidak terlihat, ibuku pandai menutupinya! Dibalik gaun indah yang kukenakan, dibalik rambut kuncir dua yang ibu ikatkan, terdapat puluhan memar dan belasan sabetan yang ia torehkan. (pernahkah orang tua memikirkan, apa akibat perbuata...