Ia masih tertegun dengan ekspresi yang sama seperti beberapa menit lalu, terlukis dengan jelas diwajahnya apa yang sedang ia rasakan. Leyya menghirup nafas dengan dalam berulang kali, mirip seperti seseorang dengan iman yang kuat mengulang doa-doanya. Dan lagi ia menghela nafas panjang, kali ini ia berusaha mengalahkan rekornya beberapa saat lalu. Akhirnya ia memutuskan untuk duduk kembali dibangku taman ini, setelah sebelumnya ia terlonjak dengan penuh semangat keterkejutan – Banzai.
“Apakah kau sudah gila ron?” Leyya menanyakan pertanyaan yang tidak perlu kujawab, “Kau paham bahwa Ia dapat mendengarmu?”
Aku bahkan tidak lagi memperdulikan ucapannya semenjak ribuan detik yang lalu, atau semenjak ia tertegun dengan kebingungan yang kuanggap lucu menghinggapi mimiknya. Semua hal hanya berubah tidak penting saat ini! kata-kata, intonasi, dan suara-suara itu. Aku begitu terpikat dengan mata bulat yang sedang mendelik tajam kearahku, berusaha menyayat kesadaran yang sedang menggantung separuh pada batas logika kelakianku.
“Hei Ron, apakah sopan santunmu tertinggal di gerbang tadi?” Ia berkata sambil menggerakkan tubuhnya dengan canggung. Memang sedari tadi segalanya canggung, matanya berlarian menghindariku ‘kadang ia mengejar belahan langit dengan semburat jingganya- kadang ia menelisik ulat bulu didahan sana. Tapi tak pernah sekalipun pandangannya berusaha menemukanku.
“Maaf! Akan kuambil lagi ketika pulang nanti” Apakah ia akan bertambah gusar dengan leluconku barusan? Tak mengapa, ia tetap cantik saat gusar.
“Haha lucu Ron, sejak kapan kau pandai membadut seperti itu? Kau paham bahwa Astro memiliki selera yang aneh untuk berlelucon, kau paham kan?” Entah mengapa Leyya mengulang-ngulang kata –KAU-, apakah jarak kami masih dirasa kurang jauh? Inginkah ia menambah lagi dengan jarak 3 huruf tersebut. Namun tak mengapa, dan lagi pula tawa ini tak dapat kusembunyikan lagi ‘melihat tanggapannya yang geregetan hingga gigi-giginya yang berbaris putih menjadi tampak bagaikan potongan-potongan cahaya.
“Ia harus dihentikan Leyya, kamu dapat mencobanya. Kembalilah ke Bangli atau bersembunyi di kediamanku, tidak akan ada jeruji besi atau rantai mengalungi kakimu lagi.” Aku mulai membujuk –bukan- merayu – bukan –memohon – mungkin.
Leyya memiringkan mukanya seraya berbisik “Janji selalu terdengar indah, terutama jika itu terucap dari mulutmu Ron. Tapi seperti yang kau tahu, diluar sana akulah si gila! Tidak ada tempat senyaman ini bagiku, dengan Debran aku merasa normal.”
Mengapa ia harus menyebut nama itu disaat bersamaku, tidakkah ia paham bahwa hal itu menyakitkan. Apakah ia memang senang dan betah tinggal disini? Seolah ia memberi isyarat yang menandakan bahwa selain disini ia tidak mempunyai apa-apa dan tidak mempunyai siapa-siapa.
Setelah sepersekian detik, apa dan siapa berubah menjadi tak penting ‘kini mengapa adalah fokus utamaku. Hari ini mengapa ia terlihat cantik sekali, apakah ia berdandan? Akh tidak! Ia memang cantik pada dasarnya, membuatku agak malu karena muncul hanya dengan mengenakan celana jins belel dan kemeja biru dongker yang telah 3 tahun kumiliki ‘tapi kurasa itu lebih baik daripada mengenakan seragam dokterku.
“Pulanglah Ron, hari sudah gelap ‘malam akan tiba.” Perkataanya memutus lamunan yang sedang kurangkai ‘kali ini tak dapat kupahami air wajahnya. Tak ada tawa terselip maupun tatapan kesal, ia hanya terlihat begitu lelah.
“Pertimbangkanlah ucapanku hari ini,” Tanganku mengembang keatas tanpa dapat kucegah, memberikan sebuah sapuan lembut pada ujung keningnya. Dan kini tubuhku bergerak lagi –sendiri- tanpa perintah ‘tanpa aba-aba. Kini kurasakan aroma manis dari tubuhnya ‘begitu dekat, helaian rambutnya yang terjatuh pada wajahku membuat rongga dadaku menghangat. Kecupan singkat mendarat pada keningnya, kini aku tahu – memang benar betapa lembut kulitnya ‘bukan sekedar angan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Shards Of Glass
Misterio / SuspensoSemua luka ini tidak terlihat, ibuku pandai menutupinya! Dibalik gaun indah yang kukenakan, dibalik rambut kuncir dua yang ibu ikatkan, terdapat puluhan memar dan belasan sabetan yang ia torehkan. (pernahkah orang tua memikirkan, apa akibat perbuata...