#10: Ungkapan Hati

42 1 0
                                    


Diversion

10. Ungkapan Hati

[•••]

Alvan menatap Alyssa yang sedang sibuk membersihkan rumput-rumput di atas sebuah makam. Perempuan itu bahkan dengan senang hati membeli air dan bunga terlebih dahulu sebelum datang ke sini. Seolah-olah, ia ingin merawat makam ini. Seolah-olah, orang yang tubuhnya terbaring di dalam makam ini adalah salah satu orang berharga baginya.

"Namanya Reza," ucap Alyssa tiba-tiba seraya menuangkan air di atas makam tersebut. "Dia salah satu temen baik gue."

Temen baik, huh?

"Reza Samantha," Alvan mengucapkan nama yang tertulis di batu nisan makam itu.

"Namanya bagus, 'kan?" tanya Alyssa, yang kini mulai menaburkan bunga. "Kalau dia masih hidup sekarang, lo pasti bakalan suka sama dia."

Kalau dia masih hidup, lo nggak akan ketemu sama gue.

"Hai, Re. Apa kabar? Maaf aku udah jarang dateng ke sini," Alyssa mulai berujar, mau tidak mau membuat Alvan mendengarkan ucapannya. "Re, aku sekarang udah kelas 3 SMA. Nggak penting banget, ya? Tapi aku mau kamu tau. Dan seperti prediksi kamu, aku akhirnya milih untuk ikut ekskul modern dance di SMA. Sayang banget kamu nggak bisa ngeliat aku bertanding lagi. Rasanya beda semenjak kamu pergi. Nggak ada yang nyemangatin aku saat aku lagi menari di pertandingan."

Alvan bisa melihat butiran-butiran bening yang mulai muncul di sudut mata Alyssa. Tetapi perempuan itu dengan cepat menghapusnya.

"Aku nggak boleh nangis 'kan, Re?" ujar Alyssa, berusaha tersenyum. "Kamu pernah bilang kalo kamu nggak suka ditangisin sama siapapun. Jadi, aku nggak boleh nangis. Apalagi di depan kamu."

Damn you, Alyssa.

"Aku minta maaf. Dan aku nggak akan pernah capek untuk ngomong ini sama kamu."

Gue nggak akan tertipu sama air mata palsu.

"Maaf, ya, Al. Lo jadi cuma ngeliatin cewek cengeng ini nangis," kata Alyssa sambil terus menyeka air matanya yang sudah mulai berjatuhan.

"Jangan minta maaf terus. Gue aja bosen ngedengernya," balas Alvan seraya tertawa kecil. "Lagipula, gue nggak keberatan nemenin lo nangis."

Entah kenapa, Alyssa merasa jantungnya berdebar lebih cepat saat Alvan mengatakan kalimat itu. Ia bisa merasakan pipinya mulai memanas, sehingga ia dengan cepat memalingkan wajahnya. Alyssa tidak ingin Alvan melihat pipinya yang memerah!

Alvan tersenyum tipis ketika melihat Alyssa berusaha untuk menutupi pipinya. "Udah selesai belum? Soalnya udah sore, nih."

"Eh? I-iya, gue udah selesai," jawab Alyssa dengan agak gagap.

"Bagus, jadi kemungkinan kita bisa sampai di rumah lo sebelum maghrib."

Mereka berdua akhirnya berjalan perlahan menuju mobil Alvan. Pemakaman umum itu terlihat sepi, sesepi langit biru yang berada di atasnya. Mereka hanya ditemani oleh hembusan angin yang semakin kencang karena hari sudah semakin sore ketika mereka meninggalkan pemakaman tersebut. Semua yang terasa dalam diri Alyssa saat ini hanyalah ... kesepian.

"Masuk, Lyss," tukas Alvan, menyadarkan Alyssa dari lamunannya.

"Iya."

Ketika mobil Alvan mulai berjalan meninggalkan pemakaman, Alyssa menoleh ke arah makam Reza. Dan sekilas, ia seperti bisa melihat bayangan Reza yang tersenyum dengan tulus, sama seperti saat mereka menghabiskan waktu bersama-sama. Lelaki itu selalu memberinya senyuman yang tulus, bahkan ketika Alyssa sedang marah atau menghindarinya.

Diversion (ON HOLD)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang