#21: Bimbang

28 1 0
                                    

Diversion

21. Bimbang

[•••]

Entah sudah berapa lama Alyssa mengaduk cokelat panas yang telah dibuatkan secara cuma-cuma oleh kakaknya ini. Matanya menatap televisi yang sedang menyala di hadapannya dengan pandangan kosong. Pikirannya masih terpaku pada kejadian sore tadi di mobil Alvan, saat lelaki itu dengan lugas menanyakan pertanyaan paling tidak masuk akal yang bisa Alyssa prediksi akan keluar dari mulut Alvan.

Menerima Alvan menjadi pacarnya? Hah, yang benar saja. Mereka bahkan masih sering menjelekkan satu sama lain dan berdebat mengenai hal yang sebenarnya tidak perlu diperdebatkan. Alyssa tidak habis pikir kenapa Alvan bisa-bisanya mengeluarkan kalimat tersebut dengan sangat kasual.

Tapi, jujur saja—ada satu bagian dalam diri Alyssa yang merasa bahagia dnegan pernyataan lelaki itu. Lagipula, ini memang tujuan awalnya mendekati Alvan, 'kan? Menemukan seseorang yang bisa membuatnya melupakan Bryan, dan ia pikir; Alvan sedikit banyak berhasil melakukan itu.

Astaga, gue mikir apaan, sih! bantah batin Alyssa, membuat tangan kanannya kontan mengaduk cokelat panasnya dengan lebih cepat.

"Kalo lo nggak mau minum, mending buat gue aja sini," tukas Ray seraya mengulurkan tangannya untuk mengambil cokelat panas adiknya itu, yang tentu saja dengan segera ditepis oleh Alyssa.

"Ih, nggak punya harga diri banget, sih!" balas Alyssa dengan ketus.

Ray menaikkan satu alisnya mendengar jawaban ketus adiknya. "Galak banget, sih, Lyss. Lagi PMS, ya?"

Alyssa mendelikkan matanya. "Nggak usah sok tau, deh. Lain kali, kalo lo nggak niat bikinin cokelat panas buat gue, mending nggak usah bikin sekalian!"

Ray mengerutkan dahinya ketika lagi-lagi mendengar Alyssa yang membalas perkataannya dengan garang. Lelaki itu kemudian bangkit dari sofa yang mereka berdua duduki dan menghampiri Devi yang sedang memasak makan malam untuk mereka di dapur.

"Ma," bisik Ray seraya menyentuh bahu ibunya itu. "Lyss lagi dapet, ya?"

Devi mengangguk dengan kalem. "Makanya kamu jangan ajak ribut dia terus. Bisa-bisa badan kamu habis dicakar sama dia."

Ray akhirnya mengangguk pelan sebelum meneguk ludahnya dengan susah payah. Astaga, saat Alyssa menjambak rambutnya hanya karena sepotong kue saja ia menangis nyaris setengah hari—membuat satu rumah ingin mencukur habis rambutya saja agar tidak ada kejadian seperti itu lagi. Bagaimana keadaannya kalau sekarang Alyssa mencakar habis tubuhnya?

Membuang seluruh prediksi buruknya, Ray memberanikan diri untuk kembali menggabungkan dirinya bersama Alyssa di ruang keluarga. Ia pikir Alyssa pasti akan memandanginya dengan tatapan sinis, tetapi yang terjadi justru sebaliknya. Adiknya itu sedang menatap layar televisi di hadapannya dengan berkaca-kaca sembari meminum cokelat panas buatannya.

"Lyss? You okay?" tanya Ray khawatir. Segarang apa pun Alyssa, ia tetap menjadi perempuan terpenting kedua bagi Ray. Jadi, melihat perempuan itu ingin menangis sambil melihat layar televisi sudah tentu bukan merupakan pertanda bagus.

Alyssa mengangguk. "Makasih buat cokelat panasnya. Maaf tadi gue udah marahin lo."

Mendengar perkataan Alyssa, Ray akhirnya berani untuk duduk di sampingnya. "Lo lagi nonton apa, sih? Sampai mau nangis gitu."

"Gue lagi nonton (500) Days of Summer," ujar Alyssa dengan suara bergetar. "Tapi film itu ternyata punya sad ending! Cowoknya ditinggal nikah sama ceweknya, padahal dia udah ngasih segalanya ke cewek itu. Astaga, rasanya gue mau maki-maki cewek itu di depan mukanya!"

Diversion (ON HOLD)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang