#17: Bahagia, Bencana, atau Keduanya?

36 3 2
                                    

Diversion

17. Bahagia, Bencana, atau Keduanya?

[•••]

Seraya meredakan detak jantungnya yang berdetak dengan liar karena menaiki wahana yang memacu adrenalinnya, Sarah mencari tempat duduk yang terdekat. Ia bahkan belum menaiki tiga wahana permainan dan sudah merasa lelah. Apalagi, sekarang sudah mendekati jam 12 siang. Pergi ke taman permainan pada hari libur memang bukan ide yang terlalu bagus.

Sarah menarik napas lega ketika melihat sosok Bryan yang berjalan ke arahnya sambil membawa sebotol air mineral. Ketika Bryan sudah mendekat, ia mengernyitkan dahinya, tanda bahwa ia tidak suka dengan apa yang dibawa Bryan.

"Kenapa nggak beli yang dingin? Tadi 'kan, gue nitip yang dingin," protes Sarah, namun tetap mengambil botol air mineral tersebut dari tangan Bryan.

Bryan duduk di samping Sarah. "Kalau lo lagi capek atau deg-degan, jangan minum air dingin. Nanti organ-organ tubuh lo jadi kaget."

"Apa buktinya? Gue selama ini sering minum air dingin kalau lagi capek, tapi gue baik-baik aja, tuh," sanggah Sarah.

"Ya, lebih baik mencegah daripada mengobati, Sar," balas Bryan, kembali meminum air mineralnya.

"Ngomong-ngomong," Sarah menatap Bryan. "Gue belum sepenuhnya maafin lo, ya. Gue mau datang ke sini karena Alyssa datang. Mana ada sih, orang yang bener-bener bisa memaafkan orang yang udah nyakitin sahabatnya sendiri? Gue juga sebenernya masih kesel sama Alvan karena dia ngedeketin Alyssa hanya karena permainan yang kalian buat itu, tapi karena Alyssa nampak bahagia gue mengizinkan dia untuk ngedeketin Alyssa hari ini. Tapi tetep aja, gue mau lo ngomong sama Alvan untuk coba deketin Alyssa tanpa alasan permainan. Gue udah muak."

Bryan masih menatap Sarah meskipun perempuan itu sudah kembali sibuk meminum air mineralnya. Lelaki itu rasanya ingin sekali menutup mulut Sarah agar tidak mengoceh panjang lebar seperti tadi. Tanpa Sarah jelaskan juga, ia sudah mengerti. Akhirnya, ia hanya tersenyum tipis dan menatap lurus ke depan.

"Kenapa lo harus baik banget sih, jadi orang?" tanya Bryan. "Alyssa segitu berartinya ya, buat lo?"

Sarah menyunggingkan sebuah senyuman kecil di ujung bibirnya. Kini, giliran perempuan itu yang menatap Bryan.

"Sebenernya, kalau hubungan lo dan keempat temen-temen lo itu emang sedeket itu, lo pasti ngerti betapa pentingnya Alyssa buat gue," ucap Sarah, sukses menohok Bryan.

Bryan terdiam, merenungkan ucapan Sarah. Memang, dirinya dan keempat temannya sudah berteman dekat sejak mereka masih duduk di bangku sekolah menengah pertama meskipun intensitas pertemuan mereka baru meningkat setahun yang lalu, ketika Alvan sudah pindah sekolah ke Indonesia. Tetapi, ia harus mengakui bahwa mereka berlima memang belum terbuka sepenuhnya kepada satu sama lain. Misalnya saja, rahasia bahwa ia dan Alyssa pernah berpacaran saat mereka kelas 10 yang baru bisa ia bongkar—itupun karena ia sudah tertangkap basah—beberapa minggu yang lalu. Membuat ia kembali berpikir: apakah pertemanan mereka memang sudah sedekat itu?

Sejujurnya, tujuan awal Bryan membuat permainan yang ia rancang agar terkesan hanya sekedar main-main saja itu adalah untuk membuat mereka berlima bisa melampaui dinding yang tanpa sadar sudah mereka buat selama ini. Bryan sadar, jika mereka tidak segera keluar dari batasan-batasan buatan mereka sendiri, mereka tidak akan pernah bisa keluar dari lingkaran mereka sekarang. Dan Bryan tentu saja tidak menginginkan hal tersebut.

"Yan," Sarah memanggil Bryan, sukses membuat lelaki itu kembali pada kesadarannya.

"Apa? Lo masih mau ngoceh kayak tadi?"

Diversion (ON HOLD)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang