Acara ini seperti layak nya acara keluarga biasa. Kami duduk di ruang keluarga rumah ini dengan para orang tua yang entah memperbincangkan hal apa.
Tiba tiba, orang-yang-katanya-ayah-ku berkata, "Kami sudah sepakat untuk menjodohkan kalian berdua. Tidak ada bantahan."
Oh my God...
Aku sempat melihat perubahan di wajah Varo. Namun, ia langsung menetralkannya.
"Oh ... Oke," jawab Al.
Aku rasa telingaku mulai tidak berfungsi dengan baik. Aku pasti salah dengar. Sepertinya seorang Alvaro Rafandra Prajasa tidak mungkin mengatakan hal itu.
Ada apa dengan dunia? Kenapa dunia begitu menginginkanku untuk menderita. Sudah cukup dengan masalah 'keluarga maksiat'ku ini. Sudah cukup dengan masalah Expo. Dan sekarang, ini?
Oh God ... I'm too tired 'cause all this problems that almost never done.
🎶
Tak lama setelah orang-yang-katanya-ayah-ku mengatakan hal yang sungguh tidak terduga tersebut, Varo meminta izin untuk mengajakku ke taman komplek dekat rumahnya. Aku tahu pasti ada yang ingin ia bicarakan.
Here we are...
Kami sampai di taman yang cukup indah. Banyak anak-anak yang bermain di sekitar sini. Juga ada beberapa remaja yang kuduga sedang berjalan-jalan ringan. Oh, bahkan ada yang selesai berolahraga.
Mengingat tujuan awal Varo mengajakku kesini karena sepertinya ingin membicarakan soal perkara 'perjodohan' akupun bertanya, "So ... What are we doing here?"
"Soal perjodohan tadi, kamu tidak benar-benar ingin melaksanakan itu 'kan?" tanyaku lagi.
"Of course not," jawabnya dengan nada yang sedikit mengejek. Dan setelah itu dia tampak sedang berpikir.
"Hm ... I've got an idea," serunya. Sedangkan aku mengangkat alis sebagai jawaban. Seperti biasa.
"Gimana kalo, kita bikin sebuah perjanjian yang sama-sama menguntungkan kita?" Tawaran yang Varo berikan kali ini cukup menarik.
"Apa saja isi perjanjiannya?" tanyaku.
"First, kalo di sekolah kita harus keliatan kaya strangers," jawab nya.
"Second, do not tell this to anyone," lanjutku.
"Permintaan di tolak," respon nya sambil menggelengkan kepala.
"Tell me your reason," kataku sembari menyilangkan tangan di depan dada dengan senyum angkuh.
"Temen kita harus tau tentang ini. Siapa tau mereka bisa ngasih kita ide." Setelah dia mengatakan itu, dia duduk di salah satu ayunan di dekat situ. Sedangkan aku mengikutinya dan duduk di ayunan yang berada tepat di sebelahnya.
"Fine, reason accepted," sahutku.
"Then, apa lagi?" lanjutku.
"Punya line kan?" tanya nya tiba-tiba. Aku memberikan anggukan sebagai jawaban.
"Mana HP lo," minta nya sambil mengadahkan tangan nya. Dengan bodoh nya, aku memberikan HPku kepadanya. Aku melihat dia mengetikkan sesuatu di sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Anindira
Teen FictionPerpisahan dapat mengajarkan kita banyak hal *** Pada awalnya aku hanyalah anak SMA yang baru saja pindah ke Jakarta dikarenakan pekerjaan orang tua dengan harapan berjumpa kembali dengan seorang sahabat lama yang merupakan salah satu murid di sekol...