[l i m a b e l a s]

121 10 2
                                    

"Jadi, apa saya boleh membawa Anindira?" suaranya seperti seorang bapak-bapak. Tapi bukan seperti suara orang-yang-katanya-ayah-ku. Lantas, suara siapa ini? Dan kenapa namaku di bawa-bawa?

🎶

Karena penasaran, aku memdekat ke arah ruang tamu yang merupakan sumber suara ini berasal. Aku bersembunyi di balik dinding agar tidak ketahuan.

"Hem ... Boleh saja." Kali ini baru seperti suara orang-yang-katanya-ayah-ku.

"Tapi Yah..." Tunggu. Ini seperti suara Bunda.

"Sudahlah ... Dia hanya menyusahkan keluarga ini. Tidak ada gunanya dia tetap di keluarga Ferdinand. Lebih baik dia diadopsi oleh keluarga Adhyasta." Kali ini terdengar persis suara abangku. Benar 'kan, aku memang sudah tidak di butuhkan di sini.

"Tapi Bang. Gimana pun juga dia adik kamu..." Suara Bunda mulai terdengar sedih.

"Aku gak punya adik! Dia itu anak haram!" Ini suara abang

Sudah kuduga. Yang bisa aku lakukan sekarang hanyalah tersenyum kecut dan kembali ke kamar sambil menangis tanpa diketahui siapapun.

Saat di kamar, aku langsung membereskan barang-barang pribadiku seperti buku, HP, charger, earphones, dan lain-lain. Untung hampir semua barang-barangku sudah di pindahkan ke Apartment.

Jadi sekarang aku hanya membutuhkan ransel untuk membawa beberapa barang pribadi. Aku akan membiarkan beberapa barang di sini untuk sementara. Saat aku sudah memastikan mereka sudah tidak di rumah aku baru akan mengambil nya.

Setelah memastikan semua sudah masuk, aku bergegas mandi dan berganti baju. Hanya menggunakan celana jeans, sweater dan converse hitam. Tak lupa, aku menguncir rambut layaknya ekor kuda. Terakhir, aku membereskan kasur dan menaruh guling serta bantal ke dalam selimut agar terlihat seperti aku yang sedang tidur.

Saat aku membuka jendela untuk kabur, aku baru ingat bahwa kamarku berada di lantai dua. Tunggu, seingatku, aku menaruh tangga di dekat jendela yang satu lagi sebelum ke Bandung. Itu aku gunakan untuk membersihkan jendela dari luar.

Dan saat aku memeriksannya, tangga itu masih di sana. Untung saja.

Aku bergegas turun dan memanjat pagar belakang lalu berlari ke arah gang yang menuju jalan raya. Di dekat sini ada lapangan yang jarang di pakai. Aku menumpang memarkirkan Mobil di sana.

Mobil itu baru aku beli begitu pindah ke Jakarta. Aku bergegas naik dan melajukan mobilku ke Apartment.

🎶

Begitu aku sampai di apartment aku langsung berlari menuju lift masih sambil menangis. Aku tak menyangka aku sehina itu. Aku kira aku hanyalah anak pungut. Atau yatim piatu mungkin. Tapi ternyata?

Tak ku sangka mereka menyembunyikan ini selama 15 tahun. Kenapa mereka tidak bilang saja dari awal? Jika tahu begini, lebih baik aku kabur dari dulu. Lagi pula, siapa bapak-bapak tadi? Apakah aku akan dijual seperti di berita-berita?

"Loh? Anin?" Suara ini...

"Kamu kenapa?" Dia Alvaro. Dia menarikku keluar dari lift. Padahal ia baru saja mau masuk. Aku memang merepotkan ya.

Alvaro menyadari bahwa aku tidak baik-baik saja, jadi dia mengajakku ke kamar apartment nya. Sekarang aku sama sekali tidak menyesal telah bertunangan dengan seorang Alvaro.

"Tarik napas, lepas. Tarik napas, lepas," perintah Alvaro. Aku menurutinya.

Saat air mataku berhenti mengalir dan napasku mulai kembali stabil, Alvaro pergi ke dapur untuk membuatkan teh hangat.

AnindiraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang