Sinar matahari menyilaukan mataku. Sudah pukul empat pagi. Aku harus bangun dan bersiap-siap pergi ke sekolah.
Sudah sekitar setahun lebih semenjak perpindahan Varo ke London. Dan sekarang, aku sudah kelas dua belas. Hari ini adalah hari pertama masuk sekolah kembali setelah libur panjang.
Hubungan kami sedikit merenggang belakangan ini. Varo dan aku sama-sama makin disibukkan oleh tugas. Juga, perbedaan waktu antara London dengan Indonesia. Jadi terkadang, salah satu di antara kami harus ada yang mengorbankan waktu tidur malamnya. Dan orang yang paling sering melakukan itu adalah aku.
Karena, biasanya malam adalah waktu bagi Varo mengerjakan tugas. Jadi tentu saja dia tidak akan bisa menghubungi aku pada saat itu.
Dan itu adalah salah satu penyebab mata pandaku. Tentu saja, si kembar,--Alex dan Axel--sudah berkali-kali menasehatiku karena tidur terlalu larut. Tapi semua perkataan mereka tentang tidur larut selalu kuabaikan.
Jika aku tidak tidur larut, aku tidak akan bisa berhubungan dengan Varo lagi. Aku tidak akan mau melakukan itu. Tidak akan.
Yang menyebalkan adalah, belakangan ini, saat aku menelfon Varo melewati Skype dia seringkali tidak menjawab. Tapi sepertinya dia memang sedang sangat sibuk. Terkadang dia juga langsung me-reject panggilan Skypeku.
Sedikit menyedihkan memang. Tapi mau bagaimana lagi?
"Dek! Sarapan dulu!" teriak Axel.
Semenjak ada Mama di sini, Alex dan Axel memanggilku dengan embel-embel adek. Sedangkan aku wajib memanggil mereka dengan embel-embel abang—aku tidak begitu suka memanggil mereka dengan embel-embel kakak—juga. Keharusan dari Mama. Untuk sopan santun katanya.
"Sebentar, Kak!" teriakku balik.
Semenjak aku pindah ke keluarga ini, aku tidak sedingin dan sediam dulu. Aku menjadi lebih terbuka sekarang. Karena akhirnya aku bisa merasa diterima. Mungkin.
Setelah berteriak balik tadi, aku mengambil tas ranselku lalu bergegas menuju ke ruang makan. Si kembar, Mama dan Papa sudah siap di sana. Ya, meskipun Mama masih mondar-mandir menyiapkan makanan.
Awalnya, saat pertama kali bertemu Mama aku kira dia tidak akan menerimaku. Tapi ternyata aku salah. Mama malah yang paling sering mengurusiku. Membantuku melakukan ini itu. Akhirnya aku dapat merasakan kasih sayang orang tua.
"Dek, jangan melamun terus," kata Mama.
"Iya Ma," jawabku.
"Dek, mau abang anter gak?" tanya Axel. Aku benar-benar tidak suka memanggil Axel dengan embel-embel abang. Terkadang kelakuan nya kekanak-kanakan. Tapi dia yang paling bisa menjadikan moodboster disaat Varo tidak menjawab panggilan Skypeku.
Masih lebih baik Alex terkadang. Tapi tetap saja. Mereka mirip. Terkadang kekanak-kanakan. Karena itulah mereka kembar.
"Lah? Kan yang nganterin Dira hari ini gue. Iya gak Dir?" potong Alex. Sama sepertiku. Dia tak sedingin dulu. Ini berkat Kak Ana, pacarnya. Dia hebat karena berhasil meluluhkan hati Alex yang dingin.
"Abang, bahasanya." Tuhkan, jadi kena tegur Mama.
"Oia." Dia malah cengengesan. Dan satu lagi. Terima kasih kepada Axel, bahasaku tidak sekaku dulu. Aku juga mendapat beberapa teman baru. Tentu saja Tata masih menjadi yang terbaik.
"Dira berangkat bareng gue," sahut Alex. Lagi.
"Sama gue," ujar Axel.
"Gue."
"Gue."
"Gue."
Dan perselisihan pun terus berlanjut. Papa dan Mama hanya bisa geleng-geleng kepala melihat kelakuan mereka berdua.
KAMU SEDANG MEMBACA
Anindira
Fiksi RemajaPerpisahan dapat mengajarkan kita banyak hal *** Pada awalnya aku hanyalah anak SMA yang baru saja pindah ke Jakarta dikarenakan pekerjaan orang tua dengan harapan berjumpa kembali dengan seorang sahabat lama yang merupakan salah satu murid di sekol...