King's Crown

133 19 8
                                    


Putar lagunya untuk pengalaman membaca yang lebih baik

———

Sang Raja punya segalanya.
Harta, kekuasaan, kehormatan, dan cinta.
Tapi, itu semua tidaklah cukup.

Seorang prajurit masuk ke aula istana. Pakaiannya lusuh dan tubuhnya tak terawat. Prajurit itu menundukkan kepalanya dalam dalam dihadapan Raja Faust yang dengan angkuhnya duduk di singgasana berlapis emas.

"Yang mulia, jenderal Aberlem ingin melapor"

"Biarkan dia masuk" balas Sang Raja.

Sang prajurit bangkit, lalu berlari membukakan pintu aula yang berat. Sang jenderal; Aberlem Skyzof, melangkah masuk. Ia membawa sebuah pedang hitam, yang sudah pasti bukan miliknya.

"Kami sudah menangkapnya, yang mulia" lapornya kemudian. "Kami sudah mengurungnya di penjara bawah tanah"

"Bagaimana dengan sisanya?"

"Kami sedang berusaha"

Aberlem merendahkan suaranya, takut kalau kalau sosok dihadapannya itu tersinggung.

"Jangan biarkan mereka hidup! Kalau
Brain tahu soal ini, leherku jadi taruhannya"
Raja Faust memegangi mahkotanya yang berkilau ditimpa cahaya lilin. Mahkota indah dari emas dan perak, berlian, dan tentu saja serpihan prisma.

"Maaf hamba lancang, yang mulia"

Aberlem menaikkan kepalanya; menatap wajah Sang Raja.

"Siapa Brain? Kenapa Yang Mulia-"

PRAKK!

"KALAU KAU BERANI MENYEBUT NAMANYA SEKALI LAGI.."

wajah Raja Faust merah padam. Ia melempar gelas kristalnya ke kepala Aberlem.

"JANGAN HERAN KALAU KELUARGAMU TIDAK ADA DIRUMAH KETIKA KAU PULANG!"

Aberlem terdiam ketika serpihan serpihan kaca jatuh perlahan bersama darah hangat dan kental yang mengaliri dahinya.

"Sekarang pergilah" Sang Raja menutup wajahnya dengan tangan kanannya.
"Sebelum aku membunuhmu saat ini juga"

Dengan cepat, Jenderal Aberlem memberi hormat, lalu berlari keluar demi nyawa dan keluarganya.

Raja Faust menenggak secawan arak cina, mengamati keseluruhan ruangan. Tirai merah bergaris garis seakan menutupi beberapa lukisan yang menempel di dinding berwarna putih gading. Karpet beludru nan lembut seakan menjadi pelengkap, sangat cocok dengan lantai marmer yang megah.

Tapi ini semua bukan milikku.

Raja Faust memutar kembali kenangan pahit itu di kepalanya.

Dahulu ia hanyalah pangeran bodoh dan terlupakan, yang dibuang oleh orang tuanya ketika mereka sedang berburu di hutan; saat ia masih berusia 13 tahun.

"Faustie, anakku" bisik sang ayah dengan lembut.
"Aku dan ibumu akan pergi lebih jauh ke dalam hutan. Jadilah anak baik dan tunggulah di sini, ya?"

Faust kecil mengangguk.

"Jaga dirimu, sayang" sang ibu, Ratu Clarion, mengecup dahi anak lelakinya itu.

Namun hingga bulan purnama tiba, merek tidak kembali.

Dan tidak akan pernah.

Raja Faust kembali meminum araknya, berharap itu akan melarutkan semua masalahnya.

Sang pangeran yang terbuang, kini hidup sendiri dan mengembara tanpa tujuan, seperti pengemis.
Terkadang ia berpikir; kenapa kedua orang tuanya tega membuang anaknya sendiri? Apa karena kakaknya, Arthur, lebih unggul dan pintar dari pada dirinya? Apakah dirinya hanya aib bagi kerajaan?

Sang Raja tersenyum meremehkan. Kerajaan orang tuanya hanyalah kerajaan kecil yang picik; bahkan seseorang tidak akan menemukannya di peta. Mungkin saja kerajaan itu sudah lenyap dimakan waktu.

Sang pangeran yang terbuang hidup dari mencuri makanan dari desa. Ketika malam tiba, ia tidur di dekat tempat pembakaran sampah; satu satunya tempat yang membuatnya merasa hangat.
Hingga suatu pagi, ia dibangunkan oleh seseorang dengan jubah putih bersih.

Dialah Ratu Prisma yang agung.

"Nak, apakah kau kelaparan?" Sang satu mengusap kepalanya.
Setelah itu, sang Ratu membawanya ke istana yang megah, memberinya makan, memberinya pakaian, layaknya pangeran sungguhan.

Raja Faust tertawa kecil. Ratu Prisma pasti begitu bodoh dan pikun, sampai lupa wajah anak yang ia tolong dahulu.

Meskipun ia senang tinggal bersama sang ratu, pangeran yang terbuang ingin hidup mandiri. Dengan berat hati, Ratu Prisma membiarkannya pergi; dengan memberinya perbekalan berupa makanan,uang dan pakaian yang cukup.

Ketika ia memulai perjalanannya, Sang pangeran bertemu seseorang berjubah Hitam. Orang itu tersenyum menampakkan gigi giginya yang putih bersih.

"Maukah kau membantuku?" Pintanya.

"Siapa kau?" Tanya pangeran.

"Kau tak perlu tahu" si jubah tersenyum lagi.
"panggil saja aku Brain"

Lamunan sang raja terhenti ketika cawan araknya jatuh dan hancur berkeping keping ketika menyentuh lantai.

Terima kasih, Brain. Kau telah mengubah diriku menjadi seorang monster.

Persis seperti yang aku inginkan.

Raja Faust menatap Aberlem.

"Kirimkan para prajurit untuk patroli di seluruh kerajaan! Cari mereka!"

ELECTUSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang