18.Terluka diam-diam

60 14 4
                                    

Malam ini langit temaram. Tidak ada bintang dan bulan, yang ada hanya rintik hujan yang mulai turun membasahi bumi dan menyuguhkan bau tanah yang disirami air hujan.

Petrikor.

Yola tau istilah itu dari Jo beberapa minggu lalu saat mereka duduk bersama di sebuah kafe.

"Kita bermain dengan fikiran kita sendiri. Merangkai hal-hal semu yang kita tau kalau itu gak akan terjadi".

Tadinya Yola tidak tau apa makna dari kalimat Jo itu, tapi sekarang dia tau. Kehadiran Jo membuatnya percaya kalau berharap kepada sesuatu yang mustahil itu, sakit!

Yola merasakan sendiri bagaimana menegangkannya menjadi pengagum rahasia, bahagianya saat Jo tau kalau dirinya 'ada', dan sedihnya saat melihat Jo 'pergi'. Yola merasakan itu sendiri. Dia berbagi segala hal itu dengan diri dan hatinya sendiri.

Yola menarik nafasnya dalam-dalam. Menikmati saat bau petrikor itu menusuk penciumannya. Menikmati ketenangan yang di suguhkan hujan malam ini kepadanya. Dan memutar kembali memori saat dirinya pernah 'hidup' di mata Jo.

Kata orang, jadi pecinta diam-diam itu butuh nyali yang besar dan mental sekuat baja. Awalnya Yola tidak setuju. 'Apa susahnya mencintai seseorang diam-diam dan menjaga agar orang itu tidak tau?'. Tapi sekarang Yola paham, bukan itu poin pentingnya.

Mencintai diam-diam bukan tentang menyembunyikan diri dari orang yang dicintai. Tapi tentang bagaimana kita sanggup untuk tetap diam saat sesuatu yang menyakitkan itu memaksa kita untuk berteriak dan tentang bagaimana kita mampu untuk bahagia dan bersedih dengan diri kita sendiri. Karena jatuh cinta diam-diam membuat seseorang harus menikmati luka secara diam-diam pula.

Yola melangkahkan kakinya ke tempat tidur dan memeluk boneka baymax yang entah dari siapa itu.

tok tok tok

Ketukan pintu mengharuskan Yola melangkahkan lagi kakinya untuk membuka pintu itu.

"Sayang, makan yuk?" Yuli memegang kening Yola untuk memastikan apakah putrinya itu sakit atau tidak.

"Iya, bun." jawab Yola. Yola menutup pintu kamarnya dan berjalan bersisian bersama Yuli menuju meja makan.

Di ruang makan, Rahman sudah menunggu istri dan putrinya itu.
"Kata bunda kamu sakit?" Rahman menghampiri Yola dan memeluknya. Rahman bingung. Tadi pagi putrinya itu masih baik-baik saja saat diantar ke sekolah.

Yola menggeleng di dalam pelukan Rahman. "Yola cuma kecapean, pa." jawabnya. Rahman merenggangkan pelukannya dan menangkup wajah Yola dengan kedua tangannya.

"Tapi mata kamu bengkak." kata Rahman sambil menatap tepat di manik mata putrinya itu. Yola diam, karena memang dia tidak tau harus mengelak dengan cara apa. Rahman tau dirinya, ayahnya itu sangat tau bagaimana Yola saat sedih dan bahagia. Rahman tidak bisa dibohongi kalau menyangkut masalah Yola.

"Siapa dia sayang?" Rahman mengelus kepala Yola dengan tangan kanannya, sedangkan tangan kirinya masih menangkup wajah Yola.

"Siapa yang udah bikin putri semata wayang papa ini nangis?" tanya Rahman lagi. Kali ini Yola menyerah. Dia tidak bisa menyembunyikan kesedihannya dari Rahman. Dia memeluk ayahnya itu erat-erat, berbagi sedikit luka yang ternyata tidak bisa dinikmatinya diam-diam.

'Dia, pa. Dia orang yang papa bilang belum bisa jagain Yola. Dia orangnya!' batin Yola

❄❄❄

Pagi ini, Yola meyakinkan dirinya untuk datang ke sekolah walaupun sebenarnya dia masih ragu dan masih bingung kalau harus bertemu dengan Jo.

Yola melangkahkan kakinya memasuki gerbang sekolah. Langkahnya tampak lemas, beda dari biasanya. Yola terus melangkah menuju kelasnya.

"Heh!" Yola merasakan seseorang menepuk pundaknya dari belakang. Dia memutar tubuhnya 180° dan menghadap kepada orang itu.

Di hadapannya kini, nampak Fandi menunjukkan senyum bodohnya yang entah bagaimana membuat Yola ikut tersenyum.

"Lo curang!" kata Fandi sambil menoel-noel bahu Yola.

"Curang gimana?" tanya Yola.

Fandi masih menoel-noel bahu Yola, tapi saat ini sedikit lebih keras.
"Lo pulang gak ngajak-ngajak. Harusnya tuh ya, kalau lo sakit, lo ajak gue lah!" katanya.

Yola mengangkat sebelah alisnya dan senyum tipis terukir di wajahnya.
"Ngajak lo sakit, gitu?" tanya-nya.

Fandi menghentak-hentakkan kakinya dan mengerucutkan bibirnya. Hal itu membuat Yola tersenyum geli. Baru kali ini; baru kali ini Fandi membuatnya tersenyum.

"Oh iya..." Yola menatap Fandi dan menunggu kelanjutan kalimatnya. "Lo sakit apa?" lanjut Fandi.

Yola menggerakkan bola matanya ke kiri dan ke kanan sambil menyelipkan sebagian rambutnya ke belakang telinga.
"Gue... gapapa." katanya akhirnya.

Fandi berdecak sebal.
"Dasar cewek! Bilangnya gapapa tapi dalam hati nangis-nangis!" katanya. Mata Yola membola mendengar penuturan Fandi itu.
"Heh! Jangan sok tau, deh!" Yola memukul bahu Fandi pelan. Fandi tersenyum. Setidaknya, dia bisa melihat gadis dihadapannya ini kembali seperti semula.

❄❄❄

Suasana kelas pagi ini tampak ramai, dari situasi ini dapat dipastikan bahwa ada PR yang di berikan guru.

Yola dan Fandi terheran-heran melihat suasana kelas pagi ini. Sebenarnya yang heran hanya Yola, karena sedetik kemudian Fandi berteriak heboh.

"EH ANJIR BAGI JAWABAN BIOLOGI DONG! JE BAGI BIOLOGI JE!" teriaknya. Sementara Yola melangkah menuju bangkunya. Sivia nampak tergesa-gesa, ternyata sahabatnya itu juga belum mengerjakan PR keramat dari guru keramat itu.

"Yol, lo udah ngerjain biologi?" Sivia bertanya sambil menyalin tugas milik Jeje. Yola menggeleng. Hari ini, dia berniat bolos pelajaran biologi; seperti biasanya.

"EH PINJEM TIPE-X WOY!"
"EH PULPEN GUE MANA? SIAPA YANG NGAMBIL PULPEN GUE?"
"WOI EMBUL! SINIIN ITU BUKUNYA JEJE!"
"BOTAAAAK! LIAT NIH ULAH LO! BUKU GUE KECORET GINI!"

Teriakan-teriakan itu biasa terdengar di kelas Yola setiap ada tugas. Mungkin bukan hanya di kelas Yola, tapi di semua kelas anak SMA.

Yola meninggalkan kelas dan segala hiruk-pikuk di dalamnya. Seperti yang sudah direncanakan tadi, Yola akan membolos pelajaran biologi.

RepeatedlyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang