26. Sebagai Teman

16 3 0
                                    

Terlambat mungkin merupakan hal yang biasa bagi murid SMA, tapi tidak dengan Yola! Selama 2 tahun mengenyam pendidikan di sekolah ini, belum pernah sekali pun dia terlambat. Yola mungkin bukan siswa teladan yang selalu mendapat peringkat kelas; seperti yang kita ketahui bersama, Yola termasuk orang yang cuek dengan sekolahnya.

Yola juga bukan siswa yang selalu dibangga-banggakan oleh semua guru, atau siswa yang kerap dipanggil untuk mengikuti olimpiade mata pelajaran. Yola hanya siswa biasa. Guru yang mengingat namanya pun cuma satu, yaitu Pak Udin; penjaga perpustakaan. Itu pun karena Yola sering berkunjung ke perpustakaan.

Yola juga bukan murid yang terkenal di kalangan siswa. Hanya segelintir orang yang mengenalnya. Yola tidak se-spesial dan semenarik itu. Mungkin itu jugalah alasannya Yola memilih untuk menjadi seorang pengagum rahasia.

Yola sadar dia tidak cantik, tidak pintar, tidak kaya dan tidak ada apa-apanya dibanding perempuan lain di sekolah ini. Karena itu, Yola membiarkan dirinya tetap seperti ini.

Yola menatap takut dari luar gerbang sekolah. Bel sudah berbunyi 10 menit yang lalu dan Yola adalah satu-satunya orang yang terlambat hari ini.

Dia tidak tau kenapa hari ini anak-anak sekolahnya jadi rajin. Tapi, apapun itu, Yola takut; dia gugup teramat sangat.

Sebagai murid yang baru pertama kali terlambat, Yola bingung harus berbuat apa.

Dia berjalan mendekati satpam sekolah. "Bisa bukain pintunya gak, pak?" tanya-nya dengan tampang yang dibuat se-memelas mungkin.

Satpam itu berjalan kearah gerbang. Awalnya Yola tersenyum senang, mengira bahwa pak satpam akan membukakan gerbang. Tapi perkiraannya salah! Pak satpam malah menunjukkan smirk-nya sambil berkata, "Dasar anak muda! Pasti telat karena dandan! Padahal ga nambah cantik juga."

Yola terkejut dan matanya berkedip-kedip bodoh. Sesaat kemudian dia tersadar dan langsung membalas ucapan pak satpam. "Jangan sok tau deh, pak! Nyebelin banget sih! Kalau gak mau bukain ya udah, jangan ngehina gitu!" cerocosnya panjang lebar.

Dia meredakan emosinya dengan cara menarik nafas dan menghembuskannya; begitu berkali-kali. Untuk menghindari adanya penghinaan yang lebih lanjut dari pak satpam, Yola memutar badannya; bermaksud untuk pergi saja.

Tapi Yola dibuat terkejut melihat Jo yang kini berada tepat di depannya menggunakan jaket jeans dengan rambut yang sedikit berantakan dan kedua tangan dimasukkan ke dalam saku celana.

Jo menatap Yola lekat-lekat, "Yol?" katanya sambil merapikan rambutnya. "Lo... telat?" tanya-nya dan dijawab Yola dengan anggukan singkat.

"Lo juga?" tanya Yola pelan; seperti bertanya pada dirinya sendiri. Tapi Jo masih bisa mendengarnya, walaupun samar-samar.

"Iya. Gue juga," jawabnya. Mereka diam beberapa saat. Yola menggoyang-goyangkan kakinya untuk menghilangkan kegugupan, sedangkan Jo menggarut-garut tengkuknya. Suasananya sangat canggung.

"Mau pergi gak?" tanya Jo akhirnya.

Yola sontak mengangkat kepalanya; kelewat excited. Hatinya bersorak senang seakan mendorong untuk cepat-cepat menjawab 'iya!'. Tapi logikanya berkata lain. 'Inget! Dia bukan punya lo dan gak tercipta untuk lo! Jangan menimbun harapan lagi karna itu menyakitkan.' Begitu kata logikanya.

Yola diam karena bingung harus menjawab apa. Entah kenapa, hati selalu berlawanan dengan logika.

Jo masih menunggu jawaban Yola. Dia memperhatikan Yola yang tampak berpikir keras, padahal apa susahnya sekedar menjawab 'iya' atau 'tidak'?
"Yol?" panggilnya menyentakkan Yola dari lamunannya.

"E-eh iya?" jawab Yola.

"Mau pergi gak?"

Yola diam sejenak. "Bo-boleh," jawabnya akhirnya. Sesekali, mengkuti kata hati tidak ada salahnya kan?

❄❄❄

Yola dan Jo berjalan ke salah satu warung bakso di dekat sekolah. Mereka duduk di bangku yang masih kosong. Suasananya masih sama; canggung. Selama di perjalanan tadi, mereka berdua hanya diam. Berjalan di dalam keheningan bersama dengan pemikiran-pemikiran yang kerap bermunculan.

"Lo mau pesen apa?" tanya Jo.

"Emang ada apa selain bakso?"

"Ya... gak ada sih," jawab Jo. Jo pun memanggil penjual bakso dan memesan. Setelah itu suasana kembali canggung.

Yola melirik Jo diam-diam sambil menyelipkan beberapa anak rambutnya ke belakang telinga.

"Hai," sapa Jo tiba-tiba.

Yola bingung, kenapa Jo tiba-tiba menyapanya seperti itu?
"H-hai," jawab Yola canggung. Kini mereka seperti dua orang yang tidak saling mengenal, walaupun mungkin kenyataannya memang begitu.

"Lo... apa kabar?" tanya Jo.

"Baik. Lo?"

"Baik."

Hening. Yola dan Jo sama-sama diam. Masing-masing dari mereka mencoba mencari pokok bahasan yang sekiranya menarik untuk di bicarakan.

"Udah lama kita gak ngobrol, yah?" tanya Jo. Matanya menerawang mencoba mengingat saat pertama mereka berbincang ringan.

Yola menelan ludahnya gugup.
"Lo... apa kabar?" tanya Jo, lagi.

"Lo udah tanya itu tadi!" jawab Yola. Jo terkekeh geli. Rasa gugup ternyata mampu membuatnya terlihat sebodoh ini.

"Gimana lo sama Fandi?" tanya Jo tiba-tiba.

"HAH?" ucap Yola spontan. Tapi se-segera mungkin dia menetralkan mimik wajahnya. "Masih temenan," jawabnya.

Jo mengangguk paham. Dia kembali gugup. Bahkan sekedar untuk berbasa-basi pun dia tidak mampu.

"Lo... gimana sama Tasya?" tanya Yola berusaha se-santai mungkin.

"Masih temenan."

"Temenan kok pelukan di koridor?" ucapnya. Beberapa detik kemudian dia terkejut dan menutup mulutnya.

'Bego! Malah keceplosan lagi lo!' batinnya.

Jo juga tak kalah terkejutnya. "L-lo liat?" tanya-nya gugup tapi Yola hanya diam.

Jo menghela napas melihat kebisuan Yola. "Gue temenan sama dia," kata Jo berusaha membuat Yola melihat kearahnya. "Layaknya gue yang nganggap lo temen, gue juga nganggap dia temen," lanjutnya.

Yola masih diam tapi kali ini dia mengangkat kepalanya dan menatap Jo. "Kita... temenan?" tanya-nya. Jo mengangguk. "Gue kira kita gak sedeket itu untuk dianggap temen," lanjut Yola.

Matanya sudah mulai berkaca-kaca dan Jo melihat itu. Dalam hati dia menyesal. Sudah dua perempuan yang dibuatnya menangis beberapa hari ini dan itu bukanlah pencapaian yang harus dibanggakan.
"Lo temen gue, terlepas dari lo yang menganggap itu ga pantes," kata Jo. Dia menatap Yola lamat, tangannya terkepal sampai biku-biku jarinya memutih. "Lo temen gue, Yol!" tegas Jo lagi.

Yola diam. Hatinya bergejolak memendam rentetan kalimat yang rasanya meminta untuk dikeluarkan.
"Dari sudut pandang mana lo ngeliat gue sebagai temen?" tanya-nya.

"Lo temen gue. Hal itu gak butuh penjelasan, cukup percaya aja kalau lo berarti buat gue..." jawabnya, "Sebagai temen," lanjutnya.

Yola tersenyum miris. Berarti sebagai teman? Nyaman sebagai teman? Yola sudah cukup bahagia dengan kata 'berarti' dan 'nyaman' itu, tapi kenapa harus selalu disertai dengan embel-embel 'sebagai teman'?.

RepeatedlyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang