Tasya berjalan memasuki pagar rumah yang dulu sering di kunjunginya. Sambil membawa beberapa makanan, dia melangkahkan kakinya sampai di depan pintu utama rumah itu.
Tasya menekan bel beberapa kali sampai seseorang membuka pintu itu. Dari dalam rumah, muncullah Jo dengan celana jeans selutut dan kaus oblong berwarna putih.
Tasya tersenyum sumringah melihat kemunculan Jo.
"Lo ngapain?" tanya Jo datar."Aku pengen bertamu aja, gak boleh?" Tasya balik tanya. Jo diam sejenak. Sesaat kemudian, dia bergeser sedikit dan memberi ruang untuk Tasya berjalan. Tasya berjalan dengan langkah riang. Akhirnya, dia bisa kembali bertamu ke rumah ini.
"Duduk sini. Gue ngambil minum dulu," kata Jo dan pergi ke dapur untuk mengambil minuman. Tasya mengangguk. Dia meneliti seluruh sudut rumah. Masih sama seperti terakhir kali dia berkunjung, 5 bulan yang lalu.
Jo datang membawa dua gelas minuman di tangannya dan duduk di sofa yang ada di hadapan Tasya.
"Thanks," kata Tasya. Jo mengangguk.Hening menyelimuti mereka berdua. Tidak ada diantara mereka yang berniat membuka percakapan, sampai Tasya berdeham kaku.
"Jo," panggilnya. Jo berdeham sambil menatap Tasya.Tasya menghembuskan nafasnya kasar. Gugup; itu lah yang dirasakannya kini.
"Aku bawa novel," Dia berusaha membuat nada bicaranya se-rileks mungkin dan pindah ke sofa tepat di samping Jo. "Aku bacain, yah?" lanjutnya. Jo diam; dia menggeser duduknya menjauhi Tasya. Tasya yang melihat itu hanya bisa tersenyum getir.Tasya membuka novel yang ada di tangannya dan menyandarkan punggungnya ke sofa.
"Aku bacain semuanya atau intinya aja?" tanya-nya dan kembali menatap Jo yang saat ini menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan. Dia menghela nafas kasar saat tidak juga ada respon yang di dapatkannya dari Jo.
"Intinya aja deh, ya? Dulu 'kan kamu sukanya kalau dibacain intinya aja," lanjutnya."Kamu ngapain sih?" Jo menghampiri Tasya yang sibuk membaca di salah satu rak buku yang ada di toko buku itu.
Tasya tersenyum lembut. "Aku baca sinopsis novel," jawabnya. Jo manggut-manggut. Dia mengarahkan kepalanya ke novel yang di pegang Tasya. "Apa sih enaknya baca fiksi gitu?" tanya-nya.
Tasya mengalihkan pandangannya dari novel dan menatap Jo seksama. "Karna cuma dari novel aku bisa percaya kalau sesuatu pasti bakal berakhir indah," jawabnya. "Yaudah, yuk. Beli ini aja." dia berjalan mendahului Jo menuju ke kasir.
Setelah selesai membeli novel, mereka pergi ke salah satu kafe. Jo duduk berdampingan dengan Tasya.
"Bacain novelnya buat aku," kata Jo. Tasya menatapnya bingung karena tidak mengerti maksud ucapan Jo.
"Kamu mau gak bacain novelnya buat aku?" Jo memperjelas ucapannya."Kenapa kamu gak baca sendiri?" tanya Tasya. Jo merapatkan tubuhnya semakin dekat dengan Tasya. "Aku gak suka lihat huruf banyak-banyak gitu," jawabnya. Tasya mengangguk dan mulai membacakan novel yang tadi mereka beli.
Saat sedang membaca, Jo menghentikan Tasya. Tasya menatap Jo seakan bertanya "kenapa?" Jo menarik kepala Tasya dan menyandarkannya di dadanya. Tasya tersenyum, hatinya bersorak senang mendapat perlakuan Jo.
"Jelasin intinya aja. Aku gak ngerti dari tadi kamu ngomong apa," katanya sambil mengelus-elus kepala Tasya. Tasya terkekeh geli. Akhirnya dia pun membaca novel itu dalam hati, lalu menceritakan intinya pada Jo. Jo mengangguk setiap Tasya bercerita.
"Oh... Jadi ceritanya si Gery sama Jessica itu deket gitu ya?" tanya-nya setelah Tasya selesai bercerita.
"Mereka saling suka tapi ga ada hubungan. Semacam friendzone gitu?" tanya-nya lagi. Tasya mengangguk.
"Terus akhirnya si Jessica ninggalin Gery karena di gantungin terus, gitu?" tanya-nya lagi. Tasya mengangguk, lagi.
Jo menerawang sejenak sedangkan Tasya menikmati ekspresi wajah Jo saat sedang berpikir seperti itu.
"Tapi 'kan Jessica tau kalau Gery suka sama dia. Jadi, kenapa dia malah pergi?" tanya-nya lagi."Semua cewek butuh kepastian, Jo." jawab Tasya.
"Emangnya status se-penting itu ya buat cewek? Cinta bukan tentang status tapi tentang hati. Dan bukti dari cinta bukan tentang berkomitmen dengan pasangan, tapi berkomitmen dengan diri sendiri kalau dia akan tetap menjaga perasaannya untuk orang yang di cintainya." Jo mengeluarkan pendapatnya. Prinsip sebagian besar cowok biasanya begitu.
"Bukan tentang status sih. Tapi..."
"Ungkapan?" Jo memotong ucapan Tasya. Tasya membenarkan ucapan Jo. Tidak semua perempuan membutuhkan status, tapi setidaknya ungkapan cinta itu perlu; sekedar untuk meyakinkan.
"Emangnya ga cukup dari tindakan?" tanya Jo.
"Idk, but kepastian itu penting buat semua cewek," jawab Tasya.
"Jo?" Tasya melambai-lambaikan tangannya di depan wajah Jo. Jo tersentak dari lamunannya dan menatap Tasya.
"Kamu kenapa?" tanya Tasya. "Kamu sakit?" tanya-nya lagi dan meletakkan punggung tangannya di kening Jo.
"Gak. Gue gapapa," Jo menjauhkan tangan Tasya dari keningnya. Tasya menatap Jo sendu. Perubahan yang sangat signifikan dalam waktu 5 bulan. Tasya menyesal, bahkan sangat menyesal pernah menyia-nyiakan lelaki di hadapannya ini.
"Aku kangen kamu," lirihnya. Alis mata Jo terangkat sebelah mendengar ucapan Tasya itu.
"Kita ketemu setiap hari," jawab Jo.
Tasya menatap Jo lagi. Matanya sudah mulai berkaca-kaca. Dia tidak sanggup lagi menghadapi sikap Jo yang sangat cuek belakangan ini. Dia... rindu. Rindu mereka yang dulu.
"Sometimes, you just miss the moment not the person." Satu tetes air mata terjatuh di pipi Tasya. Jo melihatnya dan dia merasa bersalah telah membuat gadis di hadapannya ini menangis.
"Seseorang yang telah pergi, walaupun kembali, dia gak akan pernah sama lagi," kata Jo. Air mata Tasya semakin mengalir deras mendengar penuturan Jo.
Tasya menyeka air matanya, dia menatap Jo tajam; terlihat jelas kepedihan disana. "Aku tetap sama. Kamu yang beda!" tegas Tasya. Nada bicaranya pun sudah meninggi. Tapi itu tidak membuat Jo bergeming, dia hanya menatap gadis di depannya itu dalam-dalam.
"Aku masih Tasya yang dulu. Kamu yang berubah! Kamu!" kini air mata Tasya sudah tidak dapat dibendung lagi. Tasya menangis dalam diam. Dia menunduk dalam, menikmati rasa sakit akibat kebodohannya dulu.
Jo mendekati Tasya. Dia sebisa mungkin menahan diri agar tidak merengkuh gadis itu ke dalam pelukannya.
"Jangan nangis," hanya itu yang bisa dikatakannya.Tasya masih menangis, bahkan kini isakannya semakin terdengar jelas. Hati Jo perih mendengar isakan yang terdengar dari bibir Tasya, tapi dia bisa apa? Dia pernah berkomitmen pada dirinya sendiri kalau dia akan selalu mencintai gadis ini. Tapi itu dulu! Sekarang dia telah berkomitmen untuk melepaskan Tasya; sesulit apa pun itu.
"Aku masih sayang sama kamu, Jo." lirih Tasya dengan air mata yang berlinang di pipinya. Jo diam menatap air mata gadis itu. Tasya mendekat kepada Jo dan memeluknya erat. Jo diam, tidak membalas pelukan Tasya. Jo menghela nafasnya pelan. Ini sulit. Tasya terlalu banyak mengambil tempat di hatinya. Kalau ingin melepaskan Tasya, berarti dia harus melepaskan hampir seluruh hatinya.
Terasa sulit bukan karena masih tersimpan rasa, tapi kenangan yang kita ciptakan begitu sempurna.
KAMU SEDANG MEMBACA
Repeatedly
Teen FictionAKAN DIREVISI SETELAH CERITA SELESAI. Yola Safira. Siswi kelas 2 SMA. Putri semata wayang dari pasangan Rahman dan Yuli. Memiliki teman bernama Sivia Andriana. Dia terjerat di lingkaran pertemanan dua orang lelaki; Jovian Andreas dan Fandi Aldian. B...