25. Deja vu

41 5 0
                                    

Yola berkeliling dan mengecek semua rak di perpustakaan untuk mencari catatan Bahasa Indonesia-nya. Yola mencari kesana kemari dan bertanya pada beberapa anak yang ada di perpustakaan, tapi tidak ada yang melihat catatan itu.

Yola menghampiri penjaga perpustakaan yang sedang sibuk dengan buku dan pena dihadapannya.
"Permisi pak," sapa Yola.

Pak Udin mengangkat kepalanya dan memperbaiki letak kacamatanya.
"Eh Yola? Ada apa?" tanya Pak Udin.

"Gini, pak. Tadi pagi 'kan saya ke perpustakaan, terus buku saya ketinggalan. Tadi setelah saya pergi, ada gak yang dateng kesini?" tanya Yola.

Pak Udin tampak mengingat-ingat.
"Ada sih," jawabnya sambil membuka kacamatanya. "Tadi pagi, Gaga dateng kesini sama Jo. Setelah kamu pergi itu," lanjutnya.

Yola tertegun. Gaga dan Jo? Apa mungkin salah satu dari mereka yang menemukan bukunya? Kalau memang iya, bagaimana caranya meminta buku itu? Jelas-jelas beberapa hari ini dirinya dan Jo sedang tidak baik.

Yola lantas tersenyum pada Pak Udin. "Makasih ya, pak." katanya. Pak Udin mengangguk.

Yola berjalan meninggalkan perpustakaan. Saat akan berbelok ke koridor, seseorang menabrak bahunya sampa dia terhuyung ke belakang.

"E-eh sorry. Gue gak sengaja," kata orang itu. Yola membisu. Dia kenal betul siapa pemilik suara itu.

Yola perlahan mengangkat kepalanya. Seketika itu juga matanya bertemu pandang dengan biji mata orang itu.

"Yola?" orang itu mengamati wajah Yola. Dia terkejut melihat Yola tepat di depannya. Yola juga tak kalah terkejutnya. Yola juga sangat gugup saat ini.

"Jo?" katanya pelan, hampir tak terdengar. Mereka saling tatap untuk beberapa saat. Menikmati suasana yang seakan memang dirancang khusus untuk mereka berdua. Yola tersenyum nanar, dia merasa terharu bisa berada di jarak sedekat ini dengan Jo; walaupun sebelumnya mereka pernah lebih dekat dari ini.

Yola mengalihkan pandangannya dan berniat pergi, tapi Jo menahan pergelangan tangannya.

Yola berbalik menatap Jo bingung. Jo yang menyadari kebingungan Yola pun segera melepaskan cekalannya di tangan Yola dan menggarut tengkuknya. Mengapa rasanya secanggung ini?

"Buku Bahasa Indonesia lo ada di gue," katanya to the point. Yola diam. Dia memandangi sepatunya sambil menggerak-gerakkan kakinya.

Jo mengambil buku itu dari saku celananya dan menyerahkannya pada Yola. Yola menatap Jo dan buku itu bergantian. Dia merasa deja vu. Sudah dua kali dia kehilangan buku Bahasa Indonesia di perpustakaan dan buku itu selalu ditemukan oleh Jo. Kebetulan yang menyenangkan.

Jo ikut diam melihat kebisuan Yola. Tangannya masih terulur memberikan buku itu. Melihat Yola yang belum juga menunjukkan reaksi apa-apa membuat Jo gemas.

Dia mendekatkan dirinya pada Yola dan mengambil tangan gadis itu, lalu meletakkan buku itu di telapak tangannya.

Yola langsung menarik tangannya dan menyimpannya di belakang pungung. Dia menyelipkan anak rambutnya ke belakang telinga dan tersenyum gugup.
"Makasih," ucapnya singkat dan segera berlalu dari hadapan Jo. Jo melihat kepergian Yola dengan senyuman tipis.

Tiba-tiba dari arah belakang, seseorang mencolek bahu Jo. Jo menengok ke belakang dan menemukan Tasya tersenyum lembut kepadanya.
"Hai..." sapa gadis itu riang. Sementara yang disapa hanya tersenyum tipis, bahkan tidak terlihat seperti sedang tersenyum.

"Kamu mau ke perpustakaan?" Tasya mengintip ke dalam perpustakaan. "Tumben!" lanjutnya. Jo masih diam dan menatap wajah Tasya dalam.

"Jo! Kamu kok ngeliatin aku gitu, sih?" tanya-nya malu-malu. Tangan Jo secara refleks mengarah ke kepala gadis itu dan mengacak-acak rambutnya gemas.

"Ih! Nyebelin banget sih! Berantakan tau!" keluh Tasya sambil menjauhkan tangan Jo dari kepalanya.

Jo tersenyum tipis, "Sini!" interupsinya. Tasya mendekat kepada Jo, "Jangan berantakin lagi tapi ya!" kata Tasya memperingati dan dibalas Jo dengan anggukan.

Tasya mendekatkan dirinya pada Jo. Jo langsung mengarahkan tangannya ke kepala Tasya dan merapikan rambut Tasya yang berantakan akibat ulahnya tadi.

Tasya tertegun melihat perlakuan Jo kepadanya. Diam-diam dia tersenyum melihat Jo. Lelaki itu, entah kenapa selalu berhasil membuatnya berdebar.

"Aku seneng kamu gak marah dan gak cuek lagi sama aku," katanya. Jo tersenyum tipis dan menangkup kedua pipi Tasya. "Lo terlalu indah dan gue akan menjadi orang yang teramat bodoh kalau nyia-nyiain lo," katanya.

Tasya tersenyun senang. Ingin rasanya memeluk Jo, tapi suasana di koridor tidak memungkinkannya melakukan itu. Saat Tasya setengah mati menahan dirinya, Jo malah memeluknya erat. Tasya terdiam, tubuhnya pun membeku seketika tapi tak ayal dia juga menikmati momen ini. Hatinya berdebar kencang bersama dengan kupu-kupu yang mencuat beterbangan dari dalam perutnya.

Disini, di koridor depan perpustakaan; dua orang sedang berpelukan bersama dengan rasa rindu yang menyeruak ke permukaan.

Rasa itu masih ada, rasa itu masih sama. Dan hari ini, rasa itu kembali hadir bersama dengan rindu yang mengalir.

Tasya dan Jo masih berpelukan erat. Mereka tidak sadar kalau di suatu tempat di koridor sekolah, seseorang sedang mengamati mereka. Dalam diam dia menikmati setiap rasa sakit yang hadir ketika melihat adegan yang terpampang jelas di matanya.

Yola menyeka air matanya yang menetes. 'Dulu, melihat lo adalah suatu kebahagiaan buat gue. Tapi sekarang, lo mengubah kebahagiaan itu menjadi linangan air mata' batinnya.

Seseorang menepuk pundak Yola dari belakang. "Yol!" panggilnya.
Yola menengok ke belakang sambil menghapus jejak air mata yang tersisa di pipinya.

"Eh, Fan?" katanya sambil berusaha tetap tersenyum. Fandi menengok ke belakang; kearah yang dilihat Yola tadi. Dia penasaran, apa kiranya yang mampu membuat gadis di depannya ini menangis. Tapi dia tidak menemukan apa-apa. Hanya beberapa siswa yang berlalu-lalang.

Fandi kembali menatap Yola. "Lo kenapa?" tanya-nya.

"Gue kenapa?" Yola balik tanya. Berusaha menutupi kesedihannya.

"Lo amnesia atau gimana, sih? Lo nangis! Kenapa lo nangis?"

"Gue gak nangis!"

"Lo. nangis." kata Fandi penuh penekanan sambil melipat tangan di depan dada.

Yola juga melakukan hal yang sama, dia menggelengkan kepalanya, "Nggak!" sanggahnya.

RepeatedlyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang