4. Keluar Dari Pulau

36 14 1
                                    

Hari-hari persiapan telah lewat. Malam ini, adalah malam pelepasan. Ethan mengernyit saat menyadari bahwa bagian dari rencana ini sedikit absurd. Pelepasan ? Seperti kelulusan murid saja. Tentunya, tak benar-benar ada pelepasan. Mereka akan tetap diawasi dan diberi laporan. Mencatat segala hal, mengintai, memburu, dan mengeksekusi para buronan. Hal ini membuat Ethan bertanya-tanya, eksekusi semacam apa yang dipelajari oleh para pria 18 tahun ke atas bersama Sir Rudolph Davies. Dan, bagaimana bisa anggota 'sirkus' ini membantai buronan selagi pertunjukkan berlangsung ? Apakah kami telah mendapatkan izin khusus ? Hadiah apa yang menanti kami ? Dan, oh, seberapa besar gaji kami ? Apakah akan berbeda-beda tiap individu ? Akankah ada Hierarki ? Atau ..

"Sudah selesai." Ujar Helena Wilkins.

Ethan mengerjapkan matanya berulang kali. Ia melamun di depan cermin, dan sekarang ia merinding saat tidak menyadari bahwa sedari tadi wajahnya didandani sedemikian rupa.

"Apa ini ?!" Tanya Ethan setengah memekik. "Cat putih ? Tepung terigu ? Zat kapur ?"

"Tidak." Tawa Helena Wilkins. "Itu dandanan yang disesuaikan dengan permintaan Tn. Alisdair."

"Tn. Alisdair meminta sesuatu semacam ini ?"

"Ya, dia ingin agar identitas kalian tidak terungkap." Tawa Helena sekali lagi. "Kau suka ?"

"Sejujurnya, tidak." Ethan mengernyit ke pantulannya. "Ini eksentrik. Gila."

"Mungkin kesan itulah yang hendak dihidupkannya."

"Tidak." Ethan menatap Helena Wilkins. "Bilang padanya, aku akan mengenakan topeng saja."

Lalu pergilah Ethan dari ruang rias tersebut, meninggalkan ruang yang berisi anggota sirkus lainnya untuk didandani. Sementara Helena Wilkins hanya menghela napas ke arah ibunya, Emma Wilkins, yang mengintip dari bilik sebelah.

"Usia yang sulit diatur bukan ?" Emma Wilkins tersenyum. "Aku menghadapi hal serupa saat mengasuhmu dulu."

"Yah, usiaku sekarang 24. Dan aku tidak menyangka hal semacam ini masih sering terjadi pada remaja."

"Sudahlah." Emma Wilkins pun mendekat. "Yang penting, pakaiannya cocok dengan Ilusionis muda seperti dia, kan ?"

"Ilusionis muda." Helena mengulang sambil tersenyum lembut ke arah sang ibu.

. . .

Aku tidak tahu pikiran konyol semacam apa yang selalu menggerogoti Juliet. Saat usiaku 7 dan usianya 14, ia merajuk saat tidak diijinkan untuk menonton parade malam di pusat kota karena harus membantu ibu menyiapkan jamuan makan malam persiapan ulang tahun almarhum kakek kami. Dan aku bertanya-tanya, separah itukah ? Kenapa kami jadi harus terlihat seperti badut ? Berkeliaran di malam hari dan berdandan layaknya burung hantu dan kelelawar ? Hanya demi mimpi tak terwujudnya, barangkali ?

Oh, aku lupa. Dulu dia bilang dia ingin bekerja di kepolisian. Lalu, apa artinya kostum badut pesta ini ?

Aku harus memakai kemeja abu-abu dan dilapisi jubah hitam panjang yang berbelah di ujungnya. Apakah ini tuksedo ? Tidak lucu ! Dan aku bertanya-tanya apakah dia akan membuatku berdiri di pintu loket sambil menggigit bunga mawar di mulutku demi sebuah tampilan Gentleman ? Sarung tangan putih menutupi seluruh tanganku, dan kuakui aku suka ini. Namun buntut pakaian ini membuatku terlihat seperti kelinci hitam berekor panjang. Albino. Aku harus memanipulasi kain ini saat Juliet tak ada di dekatku nanti.

Ponselku berdering.

"Dimana kau ?" Tanya Juliet di seberang sana mendesak.

GLASS MEMORYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang