[18]

754 73 13
                                    


Sekujur tubuhku masih merinding jika mengingat perkataan Gara ditelpon waktu itu. Ampun deh kalimat seperti itu udah kayak stalker banget gitu, lho. Paranoid ku juga semakin parah dikit-dikit kalau lagi di luar curigaan aja kalau ada yang ngikutin. Ya, kemungkinan aku diikutin Gara kan gede mengingat dia udah semacam terobsesi denganku. Udah dikatain sama Keila lebay berkali-kali tentang paranoid ku ini cuma aku nggak bisa menampik perasaan diikutin atau diawasin itu. Hidup aku rasanya terancam sejak bunga itu datang. Apalagi setiap aku mandangin bunga itu, ih amit-amit kalau sampe aku diapa-apain Gara. Anw, bunganya nggak aku buang kok, ngapain bunga bagus dibuang? Kan dia nggak salah juga, menurutku non sense aja kalau kita ngebuang benda mati yang sebenarnya nggak salah apa-apa gerak aja nggak. Yang salah itu kenangannya tugas kita sebagai makhluk yang bernapas belajar dong ngehandle itu.

Speaking of handle menghandle feeling, aku sepertinya harus lebih banyak bersabar karena sampai saat ini aku sama sekali belum mendapatkan kabar apapun dari Luffy. Aku berusaha menyibukkan diri dengan hal-hal yang sebenarnya nggak usah disibukin, pokoknya aku melakukan apapun untuk membuat aku sibuk dan lupa masalah Luffy ini. aku cuma berdoa supaya dia nggak kenapa-napa, sehat walafiat nggak kurang satu apapun. Membuat mindset Luffy kalau Luffy masih bernapas aja udah cukup bagi aku. Mungkin dia perlu waktu untuk mengsettle keadaan di sana. Apapun yang terjadi nanti aku dari sekarang sudah harus menyiapkan skenario terburuk dari hubungan ini. Kenapa? Karena aku merasa Luffy mencintai Vania ya meskipun sedikit (cinta terbesar Luffy harus tetap milikku) jadi sekali lagi dia butuh waktu untuk berpikir. Ah ah udah ah capek hati mikirin Luffy.

Drrtt.. drrtt..

Ibu calling...

Heh? Ibu?

"Assalamualaikum, Bu."

Tumben banget Ibu nelpon.

"Walaikumsalam. Ibu ganggu nggak, Ka?"

"Nggak kok, Bu. Kangen ya, Bu?"

"Iya nih kangen. Kamu bisa ketemu Ibu, Ka?"

"Kapan, Bu? Malka sekarang sih lagi free."

"Sekarang juga boleh. Kamu ke rumah aja, gimana?"

Dahiku makin berkerut, nggak biasanya Ibu ngajakin ketemu di rumahnya.

"Boleh, Bu. Malka siap-siap dulu, ya"

"Iya, yang cantik ya anak Ibu. Ayah kangen juga katanya."

"Hahaha, iya Bu tenang aja, Malka dandan yang cantik buat ketemu Ayah sama Ibu."

"Kamu naik taksi aja, Ka. Biar nanti kita makan di luar sekalian diantar pulang."

Makin aneh.

"Eh? Malka bawa kendaraan aja, Bu. Nanti malah ngerepotin Ayah lagi."

"Pesen dari Ayah, Ka. Katanya dia lagi ngidam nganterin anak gadis pulang. Daripada nganterin cewek antah berantah mending nganterin kamu hahaha."

Jelas sekali tawa Ibu terdengar canggung.

"Bu, sebenernya ada apa, sih? Ibu aneh banget."

"Hehehe, keliatan, ya? Ada yang mau Ayah dan Ibu omongin, Ka. Masalah kamu dan Luffy sebenernya."

Deg! Bener kan ada apa apanya.

"Malka siap-siap dulu ya, Bu."

"Hati-hati ya sayang. assalamualaikum."

"Waalaikumsalam, Bu."

Oh my, can I have a normal love life?

***

"Boleh ibu tahu kenapa kamu begitu yakin sama Luffy padahal dia sudah sangat brengsek memperlakukan kamu seperti ini?"

Aku sudah sampai ke rumah Luffy, suasananya masih sama sejak aku pertama kali datang ke sini. Hangat. Ibu dan Ayah langsung menyambutku, mempersilahkan aku duduk, menyediakan teh camomile hangat, dan tanpa basa basi Ibu langsung memberiku pertanyaan yang membuatku keringat dingin.

"Bu, Ibu yakin sama cintanya Ayah?"

Ibu terlihat mengerutkan dahi dan kemudian mengangguk.

"Begitu juga dengan cintanya Malka. Malka yakin Luffy nggak pernah bermaksud buat begini. Keadaan kami yang memaksa kami berpisah. Malka yakin Luffy mencintai Malka sebesar Malka mencintai dia bahkan mungkin lebih, Bu."

"Bahkan dengan Luffy yang membagi hatinya?"

Aku mengangguk, "Awalnya sih ragu, tapi kalau Malka inget gimana perjuangan Luffy buat Malka. Bahkan setelah kami pisah Luffy juga masih ada buat Malka. Dari situ Malka yakin sama dia, Bu."

"Dia pernah cerita tentang pacarnya yang sekarang?" Ibu masih melanjutkan pertanyaannya.

Aku menggeleng sebagai balasan pertanyaan Ibu. Karena memang kenyataannya Luffy tidak pernah membahas Vania denganku. Disinggung Vania aja dianya langsung mengalihkan pembicaraan.

"Bu, sebenernya yang sekarang Malka khawatirin kondisi Luffy nya. Udah makan apa belum. Tidur apa nggak. Malka takut dianya sakit atau apalah. Masalah gimana dia dan Vania udah nggak Malka pikirin. Karena itu udah konsekuensi dia."

"Luffy sama sekali belum ngehubungin kamu setelah kejadian kemarin?"

"Sama sekali nggak ada, Bu."

"Malka sebesar apapun perjuangan Luffy ke kamu, kamu nggak berhak diginiin," Ayah akhirnya buka suara.

"Ibu sebenernya nggak suka dengan sikap Luffy yang seperti ini," lanjut Ibu.

Aku menatap mereka berdua bergantian. Antara percaya sama nggak apa yang barusan mereka katakan.

"Malka juga salah, Bu, Yah. Karena ini keputusan kami bukan semata-mata keputusan Luffy."

"Nah itu dia yang bikin Ibu manggil kamu ke sini. Ibu nggak suka sama cara mencintai kalian ini. Hati kamu ini nggak berhak dibag-bagi, Ka,"

Mampus, mukanya Ibu udah mulai emosi.

"..."

"Hati kamu, cinta kamu, rasa sayang kamu nggak harus kamu bagi dengan perempuan lain. Kamu egois, Ka. Kalian Egois. Kalian nggak mungkin bahagia dengan jalan seperti ini. Mana ada kebahagiaan dateng kalau kalian ngejalaninnya dengan rasa bersalah," sambung Ayah.

"..."

"Kamu sadar kamu menyakiti hati perempuan lain? Kamu bayangin rasanya jadi pacar Luffy sekarang. Mana ada perempuan yang mau dibagi cintanya, Ka."

Dapat ku rasakan tangan Ibu menggenggam tanganku.

"..."

"Malka, Ibu sama Ayah sayang sekali sama kamu. Ibu udah nganggep kamu sebagai anak kandung Ibu sendiri. Meskipun nanti kamu nggak jadi mantu Ibu."

Gimana?

"Ayah udah sepakat sama Ibu kalau sebaiknya kamu dan Luffy menyudahi hubungan ini."

His PromiseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang