Chapter 1 : A promise

201 13 5
                                    


[A story about the past]

Aku ragu tentang ide ayah pindah ke Geiranger, itu artinya aku akan mememui sekolah baru, tetangga baru dan teman baru. Kau tahu, tak semudah itu aku bisa berinteraksi dengan orang asing. Aku agak sedikit introvert dan lebih suka menyendiri, membaca buku atau sekedar berjalan melihat burung-burung di taman sendirian sudah membuatku bahagia.

Ya, aku layak mendapatkan nol besar dalam pelajaran "berteman" karena sifatku ini. Hal terburuk dari pengalaman sosialku adalah ketika aku membutuhkan waktu satu bulan hanya untuk menyapa Amber, teman sebangkuku.

Namun, setelah peristiwa besar itu (read: menyapanya), kami jadi sangat akrab sekali. Kami melakukan banyak hal-hal menyenangkan bersama bahkan aku mengajaknya ke rumahku yang tidak sembarang orang pernah berkunjung ke sini. Amber yang pertama.

Dan karena suatu hal yang memaksaku untuk pindah rumah, kini jarak memisahkan kami. Namun, kami sepakat untuk selalu mengirim E-mail seminggu sekali agar chemistry kami tidak lenyap.

Begitulah.

jika mereka mengenalku lebih dekat, kurasa aku teman yang hangat.

Kutukan "pantang menyapa saat pertama kali bertemu" milikku sepertinya akan terhenti saat ini juga, saat aku melihat seorang anak laki-laki yang tiba-tiba muncul dari balik semak elder di sebuah halaman yang jaraknya 10 meter dari rumah baruku. Wajahnya memerah dipenuhi keringat, dan sekumpulan jamur yang Ia tadahi di tangannya membuatku tak ragu untuk lanjut bertanya.

"Jamur eincorn?"

"Ya, tumbuh di akar semak elder. Rasanya sedikit pahit namun tidak beracun," jawabnya dengan bersemangat.

"Kau pernah memakannya?" Tanyaku lagi antusias. Dimana lagi aku bisa bertemu dengan seorang geeks jamur?!

"Baru saja, setelah beberapa bulan memastikan bahwa jenis ini tidak beracun. Cukup sulit membedakannya dari Cocois cocca mematikan kalau saja aku tidak jeli melihat garis putih di bawah cap-nya," tangan kirinya mengacungkan sebuah jamur berwarna cokelat, sedangkan jari tangan lainnya menunjukkan garis putih pulas yang hampir tidak terlihat kalau saja tidak diteliti secara jeli.

Yang benar saja, memanfaatkan pengetahuan etnobiologi memang bagus, tapi mengambil resiko sebesar itu? Butuh nyali yang sangat besar.
Meski begitu, aku malah mendekat ke arah jamurnya karena percaya tidak beracun. Keraguanku hilang karena melihatnya masih baik-baik saja walau sudah memakannya. Lagi pula apabila beracun Dia pasti sudah terkapar pada hirupan pertama saat spora jamurnya terbang.

"Benar, garisnya hampir tidak kelihatan kalau saja kau tidak memberitahuku sebelumnya."

Ia mengangguk.

"Apa hampir di setiap sudut tempat ini dipenuhi jamur? Saat di Oslo, halaman rumahku hanya ditumbuhi rumput," tanyaku lagi.

"Sebenarnya hanya di beberapa tempat, kebetulan ada semak elder di sini. Tapi jika kau ingin lihat jamur yang lebih banyak, kita bisa pergi ke hutan."

Dia mengajakku? Sejujurnya akhir-akhir ini aku sedang tertarik dengan jamur, bahkan sebelum pindah aku sempat menandatangani formulir keanggotaan ekspedisi jamur Oslo yang berisi banyak ekspert yang umurnya tidak lagi muda. Kurasa ini waktu yang tepat untuk membangkitkan kembali rasa ingin tahuku.

Ayah sedang sibuk dengan perabotan dan pembersihan rumah. Jika aku pergi barang sebentar saja ayah pasti tak akan masalah, "Ayo, aku ingin segera mengeksplorasi tempat ini."

Di perjalanan, aku bertanya-tanya, selama ini alih-alih melabeli diriku sendiri sebagai pribadi anti-sosial, bukannya lebih tepat jika dibilang aku hanya tidak bisa menemukan teman yang sefrekuensi saja. Hanya karena Dia menyukai jamur, tanpa ragu aku setuju saja dengan ajakannya, meski aku tidak tahu nama dan dari mana Ia berasal.

Dandelion's promiseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang