Chapter 11 : Oslo is all we start

27 2 0
                                    

[A story about the past]

Seorang wanita berjas putih sedang memesan dua cangkir espresso di sebuah kedai kopi langganan dekat tempatnya bekerja. Malam hari adalah waktu yang tepat untuk meminum segelas kopi.

Pesanannya sudah jadi, ia mengeluarkan beberapa uang kertas dari saku bajunya dan memberikannya kepada pemilik kedai tersebut.

"Kau terlihat lebih perhatian padanya daripada anggota yang lain," ucap pemilik kedai itu sambil tersenyum.

"Semua anggota sama-sama sedang sibuk, tugasku sudah hampir selesai. Jadi aku yang bertanggung jawab melayani kepala lab," jawabnya jujur.

Pemilik kedai itu tersenyum menggoda ke arahnya, "semoga kepala lab-mu segera menyadarinya."

Perkataan pemilik kedai itu membuat pipinya bersemu merah. Ia berpikir bagaimana bisa pemilik kedai itu mengetahui isi pikirannya, apa dia juga merangkap pekerjaan sebagai peramal.

Entahlah, yang pasti wanita itu ingin segera menemui seseorang di laboratorium. Ia pun berbalik untuk kembali ke sana.

Ia menyusuri trotoar sambil memeluk kopi yang baru saja ia beli. Senyumnya semakin mengembang ketika membayangkan bagaimana ia akan memberikan kopinya pada lelaki itu.

"Hi Rose! seperti biasa ya. Aku juga sepertinya ingin dibelikan kopi olehmu setiap hari," goda lelaki yang berpapasan dengannya di lantai satu.

"Maaf tapi uangku habis untukmu, hahaha." Ia tertawa mendengar guyonan Bjork, nama lelaki itu.

Ia pun berlalu ke arah lift dan memencet tombol tiga untuk menuju laboratorium. Hatinya berdegup kencang saat pintu lab-nya sudah mulai terlihat. Ia sangat bersyukur kepada tuhan karena telah mengabulkan permintaannya untuk bekerja disini setelah melewati proses yang sangat panjang dan berkesan.

Ia menarik napas dalam, menetralkan detak jantungnya. Lalu, ia pun perlahan membuka pintu dan matanya mencari keberadaan lelaki itu diantara rekan kerjanya yang lain.

Ternyata lelaki berkacamata itu disana. Di pojok ruangan, dan seperti biasa jiwa raganya seakan tak memperdulikan apapun di sekitarnya. Bahkan jika granat dilemparkan ke arahnya pun ia pasti tak akan berlari menghindar.

Tapi satu hal yang disadari wanita itu, wajah fokus lelaki itu selalu menjadi hal menyenangkan baginya.

Ia mengontrol wajahnya agar terlihat biasa saja, ia pun mendekati lelaki itu dan "hmm."

Lelaki itu belum menyadari keberadaannya. Memang ia patut diberi penghargaan atas kelebihannya itu.

"Hmm," wanita itu berdeham sekali lagi.

Akhirnya, fokus lelaki itu terpecah belah. Ia menengok ke arah wanita itu dengan mata yang lelah, tak nampak ia akan memarahinya. Sebaliknya, ia malah tersenyum ramah.

"Profesor, aku membelikanmu ini." Wanita itu mengangkat kopinya.

"Ayo," ujar lelaki itu.

Mereka berdua berjalan menuju lift, lelaki itu memencet tombol 10. Wanita itu tak hentinya tersenyum sambil memandangi wajah lelaki tersebut. Tapi nampaknya si lelaki tak menyadarinya.

Sampailah mereka di atap gedung. Mereka duduk di kursi panjang yang disediakan. Setiap malam, beberapa pegawai sering berkunjung kesini hanya untuk minum dan menyejukan pikiran mereka. Begitupun dengan mereka berdua saat ini.

"Ahhh aku lupa bahwa Oslo begitu indah di malam hari," ujar lelaki itu sambil membuka gelas kopinya.

"Kau seperti sudah seratus tahun tak pernah kesini haha," jawab wanita itu. Ia juga membuka dan menyesap kopi panasnya perlahan.

Dandelion's promiseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang