[A Story about the past]
"Profesor, aku sudah memasukkan semua perlengkapanmu. Ini Dia." Terlihat seorang wanita memberikan koper-untuk ukuran perjalanan selama sebulan, itu terlalu kecil sebenarnya- kepada sang profesor.
"Terima kasih Rosy. Kau dan Neil, jaga laboratorium selagi aku pergi dengan Ricci. Setelah ini, kita pasti akan mendapatkan apa yang pantas kita dapatkan. Baiklah, aku harus pergi sekarang karena sebentar lagi kapal gloria akan berlayar." Mr. Anderson mendorong kopernya ke luar. Di halaman rumahnya sudah terparkir kereta kuda yang akan membawanya bersama Ricci-juniornya-ke pelabuhan. Mereka berdua akan bertandang ke hutan di Amerika.
"Profesor kuharap kau akan mendapatkan Anggrek yang sangat besar." Teriak Neil di ambang pintu saat sang profesor sudah menaiki kereta kudanya dan bersiap melaju. Mr. Anderson melongokkan kepalanya keluar jendela dan tersenyum seraya berkata, "tentu Neil, aku akan membawa yang sebesar rumah."
Sampai beberapa detik, ekor kereta tak lagi terlihat dari tempat mereka berdiri. Jalanan batu itu sepi kembali, hanya ada daun maple yang beterbangan tertiup angin. Kesepian yang menyayat.
"Rosy, apa kita harus membersihkan debu di laboratorium? Kupikir terakhir kita membersihkannya tiga bulan yang lalu, debunya pasti sudah menggulung lagi di langit-langit."
"Rosy?" Neil melihat rekan kerjanya sedang menatap kosong ke jalanan yang dilewati kereta kuda yang ditumpangi Mr. Anderson tadi. Rosy bahkan tidak mendengarkan ucapannya.
"Aku tahu ini berat, tapi ... Rosy?"
"Ah, Neil." Rosy mengerjapkan matanya dan menatap Neil. Ia mencoba bersikap normal namun tetap saja terlihat canggung.
"Sudahlah, Profesor dan Ricci hanya pergi ke Amerika, bukan ke Asia. Jadi jangan khawatir, mereka pasti akan kembali secepatnya dan dengan selamat tentu." Neil menenangkan Rosy yang nampak khawatir dengan kepergian rekan-rekannya itu.
Rosy membenarkan ucapan Neil yang begitu mahirnya membaca pikiran orang lain. Dia khawatir pada rekan kerjanya, tentu saja, Dia menyayangi mereka karena pernah bersama-sama berjuang, tapi Rosy seperti memiliki kekhawatiran yang berbeda pada si Profesor yang dianggap sudah memiliki hubungan batin dengannya, bukan sekedar rekan kerja menurutnya. Entah kekhawatiran seperti apa, tapi cukup membuat hatinya ketakutan.
"Neil, ayo kita pergi ke laboratorium. Kita bersihkan debu-debu itu!" Rosy memilih untuk mengalihkan pikirannya pada hal lain. Dia meyakinkan hatinya bahwa semuanya akan baik-baik saja. Kekhawatiran yang tidak beralasan akan membuat hari-harinya untuk menunggu mereka pulang akan terasa semakin berat. Seharusnya Ia lebih rasional, pastilah menurut siapapun anggrek lebih penting dari hal lain yang tidak berguna, entah menurut Profesor, Neil, ataupun Ricci.
Neil dan Rosy pun bergegas pergi ke laboratorium untuk membersihkan debu-debu disana.
[A story about the future]
Setelah berpamitan pada Amber, Mr. Lund dan Mrs. Lund-kedua orang tua Amber-aku segera pergi ke stasiun kereta api Norks sendirian.
Awalnya Amber ingin sekali mengantarku kembali pulang ke rumah dengan mobilnya, tapi Mrs. Lund tak mengizinkan karena khawatir cuacanya akan berubah buruk di Geiranger, disana cuaca memang sulit di prediksi.
Aku tidak keberatan dengan itu, ya, selain memang karena cuacanya bisa sangat membahayakan, juga karena Amber dan keluarganya sudah menyambutku dengan baik, tak usahlah aku lebih merepotkannya lagi.
Lalu Amber menawarkanku untuk mengantar ke stasiun saja kalau begitu. Tapi aku menolaknya karena jarak dari rumah Amber ke stasiun tidaklah terlalu jauh, aku bisa naik kereta kuda dari sini. Aku juga beralasan ingin melihat-lihat pemandangan Oslo dan menghirup udara segarnya sekali lagi selama perjalanan ke stasiun, karena jika menggunakan mobil aku tidak bisa berhadapan langsung dengan udara bersalju di jalanan nantinya.
Jadi Amber menyetujuinya meski raut wajahnya sedikit kecewa.
Dan kini, akhirnya aku mendapatkan tiket keberangkatan kedua pada pukul sepuluh siang. Kereta akan sampai di Geiranger pada pukul lima sore nanti. Aku duduk menghadap ke belakang dekat jendela, tak ada kegiatan yang lebih menarik selain memandangi hamparan gulungan-gulungan putih yang menyerupai rumah-rumah iglo. Tapi itu padahal hanya sebuah batu-batu besar yang terselimuti salju.
Beberapa menit sekali suara cerobong kereta berbunyi bergantian dengan gerakan tanganku menghapus embun-embun di kaca yang mulai menutupi pandangan. Disamping dan di depanku terduduk dua orang wanita tua, yang satu bertongkat dan satunya lagi memiliki telapak tangan yang sepertinya keras karena terlalu sering mengangkat sesuatu. Sesekali mereka melihat ke luar jendela, lalu menggerak-gerakan kakinya, dan lalu memakan roti gandum yang mereka bawa. Beberapa menit sekali juga, petugas kereta terlihat berjalan-jalan di gerbong untuk mengawasi para penumpangnya.
Pemandangan-pemandangan itulah yang menemaniku selama tujuh jam di dalam kereta, sampai langit sudah mulai menunjukkan warna jingganya. Sebentar lagi kereta akan tiba di stasiun Geiranger.
Setibanya di stasiun, aku berusaha mengambil koper beratku dari bagasi. Orang-orang yang berdesakan keluar sangat mempersulitku. Apalagi kebanyakan pria tua yang bertubuh besar sesekali bahunya menyenggol tubuhku, membuatku harus berpegangan ke kursi.
Tapi tiba-tiba seorang lelaki membantuku mengeluarkan kopernya, "terima kasih."
Dia mengangguk dan tersenyum,"mau ku bawakan keluar?"
"Jika tak keberatan," jawabku. Tak ada salahnya menerima bantuan dari orang lain bukan? Aku pun keluar menghampirinya yang sudah berada di peron.
"Sekali lagi terima kasih telah membantuku." Ucapku sambil mengambil koperku dari sisinya. Saat aku hendak berbalik untuk pergi, Dia berkata padaku, "Kau yakin tak perlu bantuanku lagi?"
"Aku yakin bisa membawanya sendiri, kukira jalanannya datar. Kalau begitu aku pergi dulu." Niatan baiknya aku tolak, lagipula tidak akan terlalu sulit kali ini. Aku juga tidak nyaman berbicara berlama-lama dengan orang asing.
Sekitar setengah jam, kereta kuda yang membawaku dari stasiun Geiranger tiba di halaman rumahku. Sang kusir membantuku untuk menurunkan koper lalu pergi setelah kuberi beberapa uang kertas.
Aku sangat merindukan ayah. Ayah pasti segera ingin tahu tentang kisah-kisahku disana bersama Amber ketika melihat wajahku ceria, jadi aku harus menyunggingkan bibir ke atas dan memberi sedikit binaran di mataku. Aku tidak boleh terlihat sama seperti kemarin.
Langsung kuketuk pintu, "Ayah, aku pulang."
Knock
Knock
KnockCklek
Pintunya tidak terkunci, mungkinkah ayah sedang berada di laboratoriumnya?
Aku menyimpan koper ke kamarku lalu mencari ayah ke dapur, kemudian ke halaman belakang sebelum mencarinya ke labolatorium. Tapi ayah tidak ada disana.
Baiklah, ayah pasti ada disana.
Aku membuka sebuah pintu kayu di lantai kamarnya, dan benar saja.
Ayah menyadari kedatanganku, sepertinya tadi ayah sedang membaca sebuah surat. Tapi ia segera menyembunyikan surat tersebut ke dalam sakunya saat aku berusaha menuruni tangga ke bawah. Mungkin itu surat dari penggemar karya-karyanya, kupikir.
"Ayah!" Kupeluk ayah dengan erat.
"Aku melihat aurora yang sangat indah di Oslo."
"Benarkah?"
"Tapi lebih indah di Geiranger kurasa."
"Ayah tidak salah memilih tempat tinggal tentunya. Oh Lion, tapi cepatlah bersihkan tubuhmu. Kau bau asap kereta." Ayah melepaskan pelukanku sambil mencapit hidungku.
"Oh benarkah, baiklah aku akan ke atas untuk membersihkannya. Tunggu disana Ayah, aku belum selesai."
To be continued ...
.
.
.
.
.
Hallo readers 🖐🖐Sudah lama kah aku tidak kembali?? Hehe maafkan aku ya.
Tapi readers, makasih yg udh ngikutin cerita DP sampai sini, komeng nya dong ttg cerita ini gimana pleaseeeeee. Krisar gitu deh biar gua tau kekurangan cerita ini apa.
Ok ok??
Komeng ya...
Bye 🖐
See u in next chap 😄