18 : Tepar

356 68 20
                                    

Motor yang dikendarai Dika baru terparkir mulus di garasi kediaman Om Aryo jam delapan malam lewat dikit. Baru markir motor, lepas helm dan mau melangkah menuju kamar buat ngelepas penat dan istirahat—karena jujur, kepala Dika tiba-tiba berat dan ngerasa mau pecah. Bahkan di perjalanan dari rumah Tania tadi, Dika hampir aja nabrak pembatas jalan sama kesenggol angkot yang dia coba buat selip. Dika juga gak ngendarain motor kesayangannya dengan kecepatan biasa. Dika sedikit memperlambat laju motornya.

Wajah gak ngenakin Ichbal adalah yang harus Dika hadapi tepat setelah Dika buka pintu rumah Om Arya yang kebetulan kunci serepnya dia pegang. Dika mengernyitkan dahi saat Ichbal dorong pelan bahunya supaya Dika mundur dan kembali ke teras. Ichbal sendiri juga melangkah maju sebelum menutup pintu rumah di belakangnya.

"Lo kelewatan, Dik."

Dika diam dan berusaha membaca raut wajah Ichbal yang gak kayak biasanya. Gak susah buat baca raut wajah itu, kok dan Dika udah tau ke mana perkataan Ichbal mengarah.

"Kenapa? Takut gue ngerebut cewek lo?"

Jika gak inget kalo Dika adalah saudara sepupu yang cukup dekat dengannya bahkan sejak mereka baru berusia bulanan, Ichbal pasti udah nonjok muka datar tanpa ekspresinya Dika. Saking gregetnya.

Ichbal setengah mati nahan amarahnya. "Gue liat lo. Berduaan sama Tania di depan tempat lesnya. Padahal, gue udah pinjem mobil bokap yang baru aja balik buat jemput pacar gue di tempat lesnya." Mata tajam Ichbal gak sedetikpun beralih dari Dika. Seperti kucing yang baru dikasih unjuk ikan.

"Gue gak bego-bego amat, Dik. Gue bisa bedain, mana cowok yang anggap cewek temen dan mana cowok yang punya perasaan lebih sama cewek. Gerak-gerik lo ke Imel, udah jelas di mata gue. Lo suka sama cewek gue?" Ichbal memicing.

Dika tersenyum tipis. "Pernyataan dan pertanyaan gue waktu itu masih belom jelas, ya? Perlu gue ulangin lagi?"

"Maksud lo apaan?" Ichbal bertanya, setengah membentak.

Seringai muncul di bibir Dika yang tampak sedikit memucat menahan hawa dingin. "Gue suka cewek lo, Bro. Gak papa, kan, gue rebut dia dari lo?" Dika menahan napas sejenak dan melanjutkan, "Bukannya lo sendiri yang bilang kalo Melodi gak mungkin suka sama gue? Bukannya lo sendiri yang ngasih izin gue buat nikung lo? Sekarang, lo mau ambil kata-kata lo lagi?"

Gigi-gigi Ichbal gemertak. Tangannya mengepal kuat dan apa yang baru aja Dika omongin ke dia bener-bener bikin Ichbal naik pitam. Tapi sebisa mungkin Ichbal nahan diri.

"Lo sodara sepupu gue. Lo sahabat gue. Lo tau baik dan buruknya gue. Sekarang, lo mau ngehancurin semuanya dengan cara ngerebut cewek yang bener-bener gue sayang dan gue perjuangin setengah mati?" Rahang Ichbal mengeras, sungguh. Dia masih gak habis pikir dengan apa yang ada di pikiran Dika.

Dika memejamkan mata sekilas dan meletakkan satu tangannya di bahu Ichbal. "Lo tau sendiri perasaan gak bisa dipaksain dan gue udah jujur ke lo sejak awal kalo gue suka sama Melodi. Lo dan rasa percaya diri berlebihan lo itu harus sedikit ngebungkukin badan dan buat liat segala jenis kemungkinan yang pasti bikin lo nyesel."

Ichbal gak berkutik sama sekali. Badannya udah bergetar menahan amarah. Dika tersenyum lagi sambil lanjut berkata, "Gue gak bisa kontrol perasaan Melodi buat gak suka sama gue. Kalopun bukan sekarang, gak menutup kemungkinan buat besok, lusa atau kapanpun itu. Semua masih tentang waktu, Bal."

Cukup. Ichbal berbalik dan hendak melayangkan kepalan tangan yang ditahannya sejak tadi ke wajah sepupunya itu, tapi dia tetap kalah cepat dengan tangan Dika yang memang punya refleks bagus. Bukan cuma tangan. Dika emang punya refleks bagus.

RebutTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang