27 : Diabaikan

310 63 6
                                    

Helena baru saja bangun dari tidur lelapnya sekitar lima menit lalu. Bangun, dia duduk di tepi ranjang Dika dan menatap sekeliling. Jika dibandingkan dengan kamar kakaknya alias Indra, kamar Dika bisa dibilang sedikit lebih rapih. Helena bahkan gak yakin jika Dika menghabiskan banyak waktu di kamar karena menurut penglihatannya, cowok yang selalu ada di kamar pasti bakal ngeberantakin kamarnya. Jadi, sepertinya Dika memang gak begitu sering ada di kamar.

Gak seperti biasa, Helena bisa tertidur pulas di kamar Dika. Padahal, biasanya Helena butuh waktu lebih untuk menyesuaikan diri dengan kamar orang lain tempatnya menginap. Tapi dini hari tadi setelah pesta selesai, nyatanya Helena bisa langsung tertidur pulas di ranjang yang biasa menjadi tempat Dika beristirahat.

Tidur di kamar Dika itu...nyaman. Wangi tubuh maskulin Dika seperti melekat di seprai, bantal dan gulingnya. Tidur di kamar Dika itu kayak tidur benar-benar di samping cowok itu dan bahkan Helena merasa sangat aman tidur di ranjangnya Dika.

Setelah mengumpulkan nyawa selama beberapa menit, cewek itu baru bisa bangkit berdiri sambil bercermin mengikat rambut panjangnya ke belakang sebelum melangkah ke luar dari kamar. Helena baru membuka pintu kamar dan matanya sudah menangkap punggung Dika yang melangkah menuju depan rumah.

Helena ke luar dari kamar dan berniat untuk menyusul Dika, tapi rasa haus yang saat ini dirasakannya lebih besar. Helena memutar tubuh dan melangkah menuju dapur untuk meraih minuman sebelum menyusul Dika, tapi baru sampai di pintu dapur, dia sudah mendapati pemandangan yang langsung membuatnya menghentikan langkah kaki dan membeku.

Tania menangis, menempelkan dahinya di ujung meja. Helena merasa iba, sungguh. Jika saja mereka berteman, mungkin Helena akan menghampiri Tania dan memeluk cewek itu. Tapi mengingat seberapa bencinya Tania kepada Helena, Helena mengurungkan diri untuk melakukan hal itu.

Helena melangkah memasuki dapur dengan perlahan, berharap Tania gak mendengar langkah kakinya, tapi nyatanya Tania dengar dan langsung angkat wajah, menghapus cepat air mata di pipinya. Helena menghentikan langkahnya, seperti orang yang baru saja kepergok melakukan sesuatu yang terlarang.

"Gak usah liatin gue." Tania berujar sinis, sambil terus mencoba menghapus bekas air mata di pipinya.

Helena menghela napas dan mengangguk. "Aku mau ambil minum doang, kok. Abis itu aku pergi dan kamu bisa lanjut nangis." Helena melangkah menuju lemari es dan baru membuka pintunya ketika pertanyaan Tania membuatnya kembali diam.

"Seneng, kan, lo liat gue nangis?"

Helena meraih botol minuman dan beralih menatap Tania yang duduk memunggunginya. "Kenapa harus seneng? Kamu mau nangis, mau ketawa, gak ada urusannya sama sekali sama aku, kan?"

Tania menoleh dan matanya menatap Helena tajam. Sepertinya cewek itu mau bicara sesuatu, tapi dia nahan dan langsung bangkit berdiri. Memutuskan untuk melangkah menjauhi dapur, meninggalkan Helena yang gak paham akan apa yang terjadi pada cewek itu.

Helena berusaha buat mengabaikan Tania dan meraih botol minum, menutup lemari es sebelum melangkah menyusul Dika.

Cewek berambut panjang itu menahan napas ketika mendapati cowok yang sudah berstatus sebagai pacarnya itu sejak hampir satu bulan belakangan tengah di anak tangga kecil yang menghubungkan halaman dan teras, dengan puntung rokok yang terselip di sela-sela jari telunjuk dan jari tengah tangan kanannya.

Helena memejamkan mata dan masih bertahan di tempatnya. Dika yang duduk memunggunginya sepertinya belum menyadari keberadaan Helena, sejak dia masih terlihat asyik menyelipkan puntung rokoknya di sela-sela bibir, menghirup rokok itu dan mengeluarkan asap dari mulut dan juga hidungnya.

Masih teringat jelas di benak Helena, saat mendapati cowok itu merokok untuk pertama kalinya di ruangan kelasnya sendiri saat yang lain sudah pulang ke rumah masing-masing. Mungkin sudah hampir dua bulan lalu.

RebutTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang