01 || Namanya Kalingga

214 22 16
                                    

"Aku jatuh cinta seakan akan kau menyulapku dengan tatapan matamu yang sangat mengintimidasiku," - Naaila

***

Ini hari pertamaku masuk kuliah setelah liburan panjang dan aku sudah dihadapkan dengan junior-junior yang sombong. Padahal baru menyandang sebagai junior saja sudah sok-sok begitu. Jangan lupakan, senior di tempat kuliahku tidak kalah bergayanya. Sedangkan aku?? Aku hanya mahasiswi pertengahan yang sedang memfokuskan diri dengan kuliahku yang sangat membosankan. Bukan kuliah namanya jika pelajarannya tidak membosankan, benar kan?

Perkenalkan namaku Naaila Meisha, gadis yang ingin mencicipi rasanya jatuh cinta dan ingin merasakan hidup seperti gadis gadis normal yang memiliki pacar atau setidaknya support system. Karena sepertinya bagiku memiliki dua sahabat, masih kurang. 

Aku berterima kasih pada otakku yang pintar sehingga aku bisa masuk ke dalam universitas ini dengan mudahnya. Enak?? Jelas saja, biaya ditanggung, tempat tinggal ditanggung, semuanya serba ditanggung. Tapi, aku harus menjaga nilaiku agar selalu stabil dan itu membuatku harus belajar ekstra tanpa kenal waktu.

"Ila, kamu yakin gak bakal ikut kita??" Maya menghancurkan lamunanku. Ia sahabatku sejak masa SMA, syukurnya kami masuk di jurusan dan universitas yang sama. 

Aku beruntung masih menjalin hubungan baik dengan Maya, mengingat hingga saat ini dia yang menjadi penyelamat jika aku ingin lompat dari gedung lantai delapan di kampusku. 

"La, kenapa ngelamun sih! Jadi mau ikut ngga??" kali ini Riana yang menegurku. Kami sama sama anak beasiswa tentu saja, beruntunglah Riana ini merupakan anak yang sangat mudah bergaul dengan siapapun. Jadi saat pertama kali bertemu, dia yang menyapaku lebih dulu. 

"Menurut kalian?? Ya ikut lah, tidak mungkin aku tidak ikut kalau kalian yang mengajakku," aku menjawab dengan senyuman manisku

Keduanya membalas senyumanku dengan senyuman yang lebih lebar lagi. Aku senang melihat mereka begitu antusias mengajakku jalan-jalan disaat aku sedang di puncak kebosananku.

Aku bangkit dari tempat dudukku dan langsung menggandeng tangan Maya dan Riana. Aku melihat mereka tersenyum dengan bahagianya. Ahh, terima kasih pada Tuhan telah memberikanku mereka.

"Menurut kalian, bagaimana jika aku punya pacar??" aku membuka suara saat kami mulai meninggalkan ruang kelas. 

Langkah kaki mereka serentak berhenti dan aku juga langsung menghentikan langkah kakiku.

"La serius??" tanya Maya.

"Iya, serius!" aku menjawab dengan penuh keyakinan.

"Walaupun aku diajak jadi selingkuhan, sepertinya aku dengan senang hati akan menerimanya," ujarku asal dan sontak membuat mereka berdua menutup mulut.

"Gila aja Naaila, ngapain coba jadi selingkuhan, mending cari pacar aja," Maya menyentil jidatku dan tentu saja itu sakit. 

"Habisnya, aku ingin sekali punya pacar. Lagipula, apa salahnya jadi orang ketiga?? Toh, selama tidak ketahuan, tidak masalah bukan??" Aku terkekeh kemudian melanjutkan jalanku. 

Riana kembali menggandeng tanganku, "sudah jelas jadi orang ketiga itu tidak enak, bayangkan saja kamu harus menjadi pilihan kedua terus. Memangnya kamu mau selalu jadi pilihan kedua??" 

"Kamu itu tidak boleh sembarangan berbicara, bagaimana jika Tuhan langsung mengabulkan keinginanmu??" Kali ini Maya menimpali, ia menyelaraskan langkah kakiku dan Riana. 

Mungkin ini gila, tapi aku memang ingin tahu rasanya menjadi orang ketiga. Apakah senyaman seperti yang ada di drama drama?? Lebih tepatnya, aku ingin mengetahui bagaimana perasaan orang ketiga. Saat itu aku berpikir bahwa menjadi orang ketiga tidak seburuk yang orang orang katakan. 

"Naai, awas!!" aku mendengar Maya berteriak dan...

Buk

Aku langsung memegang kepalaku yang sedikit nyeri karena menabrak sesuatu yang keras seperti dinding beton. Aku menoleh, ternyata itu adalah dada milik seseorang. Aku menatapnya dari ujung kaki sampai ujung kepala.

Aku tidak mengenalnya, tapi dia menatapku begitu dalam.  Aku membalas tatapannya dengan tatapan aneh, sedangkan dia malah memperhatikan wajahku dengan saksama. Ia benar benar melihat setiap inci dari wajahku.

"Halo tuan, apa anda tidak berniat meminta maaf?" Tanyaku, lebih tepatnya menyindir. 

Tatapan matanya masih tidak berubah, ia menatapku dengan sangat intens. Tiba-tiba aku khawatir, apa ada sesuatu di wajahku?? 

"Siapa namamu??" Aku mengernyit mendengar pertanyaannya. 

"Naaila, namaku Naaila," jawabku tanpa memalingkan tatapanku. 

"Namaku Kalingga Gentala," 

Aku menatap lelaki di hadapanku ini dengan tatapan aneh, lalu aku mengangguk pelan. Ya sudah, lagi pula aku tidak menanyakan namanya.

"Sejujurnya aku tidak perduli dengan namamu, lebih baik kamu minta maaf saja," ujarku dengan nada malas.

Maya yang mungkin ikut kesal langsung berbicara, "sudahlah, ayo pergi saja." Katanya.

Aku menuruti ucapan Maya dan langsung berpaling dari hadapannya, tapi dia malah menahan tanganku. Aku kembali menariknya dengan sedikit tenaga dan dia tidak melepaskannya. Sampai ke tiga kalinya dia masih memegang tanganku dengan erat, ah membuatku kesal saja.

"Bisa lepas tanganku tidak??" Pintaku tegas.

"Aku dengar tadi, kamu ingin tau rasanya menjadi orang ketiga," katanya tiba-tiba.

Aku mengernyit. "Lalu??"

Ia mendekatkan wajahnya padaku, kemudian berbisik kecil. "Kalau kau tidak keberatan, aku ingin mengajakmu sedikit bersenang-senang."

Setelah itu ia tersenyum. Senyumannya membuat aliran listrik mengalir di seluruh tubuhku.

Aku terdiam membeku. Tidak percaya apa yang baru saja kudengar, kenapa ucapanku mudah sekali menjadi kenyataan? Aku tahu tadi aku hanya berbicara asal, tapi jika sudah ada tawaran di depan mata seperti ini, apakah harus aku tolak?? 

Lagipula, tidak masalah menjadi orang ketiga selama tidak ketahuan kan?

Samar samar aku mendengar Maya dan Riana berbisik di telingaku berkata, "jangan, jangan mau La,"

Tapi entah kenapa, melihat wajahnya membuat aku tidak mendengarkan kata-kata sahabatku sendiri. Dia menatap mataku dengan tatapan yang cool, gayanya yang casual, wajahnya yang tampan, otot yang membuat bajunya terlihat sesak, dan rambutnya yang hitam legam membentuk jambul itu sangat menawan. Aku tidak tau lebih tepatnya apa yang aku pikirkan.

"Memang apa untungnya??" Aku melipat kedua tanganku di depan dada, kemudian mengangkat sedikit kepalaku.

"Banyak, aku punya banyak kelebihan yang bisa membuatmu jatuh cinta dengan mudahnya denganku," ia menjawab dengan percaya diri.

Sebenarnya, ia tidak bohong. Melihat bagaimana parasnya, memang tidak sulit untuk jatuh cinta padanya.

"Oke, deal. But we need to talk more about this." 

Setelah aku meluncurkan kalimat itu tanpa memikirkannya lebih panjang aku langsung tersentak merasakan ada benda hangat yang menempel di bibirku.

Omg! My first kiss!!

***

Aku tau apa yang kalian pikirkan, kebodohanku saat itu yang akan selalu aku sesali sampai detik ini.

And keep reading, please.

The Third WomanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang