Sudah satu jam yang lalu aku masih setia merebahkan diri di atas kasurku, berbagi kasur dengan kedua adikku membuatku tidak bisa tidur padahal keduanya telah terlelap begitu saja.
Mungkinkah karena aku terbiasa tidur sendirian?? Aku sudah menendang keduanya sejak tadi, tapi mereka tidak bekutik sedikitpun. Sampai akhirnya, aku menyerah!
Aku memutuskan untuk bangkit dari kasurku dan mengambil beberapa bantal lalu berjalan menuju ruang tamu. Yang kutemukan disana adalah kak Abila yang fokus berkutik dengan laptopnya, ia mencepol rambutnya dengan kacamata yang menghiasi wajahnya.
Aku mendekat ke arah kak Abila tanpa membuat suara sedikitpun, tapi sepertinya pendengaran kak Abila ebih tajam dari yang kukira.
"Kenapa?? Engga bisa tidur lagi??" Tanyanya tanpa mengalihkan pandangannya dari benda elektronik itu.
"Hmmm, pengen tidur." Ujarku manja sambil memeluk pinggang kak Abola.
"Naai,"
"Hm??"
"Kamu pacaran sama Raja??"
Aku sontak membetulkan posisi dudukku, lalu menatap kak Abila.
"Kakak tau dari mana??" Tanyaku intens.
"Orangnya yang kasi tau," kak Abila masih tidak menatapku, ia menjawab dengan santai seakan itu adalah berita yang sudah lama ia ketahui.
Aku menarik nafas pelan lalu membiarkan udara itu keluar melewati rongga mulutku. "Kayaknya iya deh," jawabku tidak yakin.
"Kok kayaknya, kamu sendiri gak yakin??" Kak Abila menatapku dengan wajah bingungnya, akhirnya ia memalingkan wajahnya dari laptopnya.
"Yah, tadi abisnya Raja ngga nembak aku." Ucapku, sembari mengerucutkan bibirku.
"Tapi, dia ngungkapin perasaannya kan??"
"Iya... eh bentar-bentar! Ternyata kita pacaran, tapi cuman seminggu." Kataku meralat ucapanku. Aku baru mengingat kesepakatan yang kami buat.
Kali ini kak Abila menatapku dengan wajahnya yang seakan memprotes, "tuh kan gak waras."
"Ih iya, soalnya kata Raja kalau dalam waktu seminggu dia gak bisa bikin aku sayang ya udah aku berhak mutusin dia." Jelasku sambil melipat kedua tanganku di depan dada.
Kak Abila memicingkan matanya, menatapku dengan tatapan yang amat dalam. Membuatku bergidik ngeri sendiri.
"Apaan sih kak." Keluhku sambil memukul lengan kak Abila, aku terkekeh saat kak Abila meringis kesakitan.
"Naaila Naaila, kamu kapan sih bisa yakin sama pilihan kamu, hati kamu itu terlalu labil tau gak?? Terlalu gampang kejerat sama orang-orang yang mulutnya manis doang." Mendengar itu membuatku merapatkan bibirku. Aku mengakui itu dan aku sendiri tidak tau bagaimana cara mengubahnya.
"Berarti aku juga gak boleh percaya sama Raja??" Kesimpulan yang sampai di otakku sepertinya berbeda dengan kesimpulan yang dimaksud oleh kak Abila. Ia mendengus.
"Liat gimana dia memperlakukan kamu Ra, bandingin sama gimana Kalingga memperlakukan kamu. Dari situ kamu bisa bedain mana yang bener-bener sayang sama kamu," kak Abila menarik nafasnya, lalu menyambung ucapannya.
"Naai, jangan mau sama laki-laki yang enggak pernah menghargai perasaan kamu yah. Kamu itu berhak diperjuangin dan ngga berhak disakitin."
Kak Abila menggenggam tanganku dengan erat, perkataannya begitu tulus. Jarang sekali aku merasakan perkataan kak Abila yang setulus ini. Mungkin karena aku selama ini jauh dengan kak Abila, jadi aku jarang mendengar kata-kata kak Abila yang sangat aku rindukan.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Third Woman
ChickLitKehidupan seorang Naaila yang berubah setelah kehadiran lelaki berparas tampan di hadapannya, mengajaknya menjadi orang ketiga dalam hubungannya. Bodohnya, Naaila menerima ajakannya. Ia ingin tahu bagaimana rasanya menjadi orang ketiga dan bodohnya...