12 || Kembalilah padanya

71 15 4
                                    

"Kau tidak mengerti dari awal, yang kau tau hanya aku mencintaimu. Tanpa perduli beberapa perasaan yang mulai menutup rasa cintaku," - Naaila

***

"Kakak habis dari mana sih?!?!" Ayya langsung meneriaki diriku setelah aku menutup pintu apartemenku.

"Dari cafe, emang kenapa??" tanyaku sinis.

"Kak Naaila, ini tuh hari libur, harusnya kakak kumpul di sini sama keluarga, eh ini malah keluyuran sama yang lain, keluyuran sama siapa sih?? Betah banget lama-lama, sama Kalingga itu ya??"

Ocehan Ayya membuatku melempar bantal sofa ke arah wajahnya. Bawel sekali, pikirku.

"Kak Abila kemana??" tanyaku tanpa mempedulikan ocehan Ayya tadi.

"Keluar," jawabnya singkat.

Aku mengerutkan kening sebelum membalas, "itu kak Abila keluar gak diomelin, kok kak Naaila diomelin sih?? Ayya mah gak adil,"

"Kak Abila tuh lagi ada urusan sama temannya, jadi aku ngertiin. Lah, kak Naaila kan keluyuran gak jelas," katanya lalu meminum air dingin yang baru saja ia ambil dari kulkas.

"Kak Naaila sama Ayya bisa diem gak sih?!?! Jihan itu mau tidur," aku dan Ayya langsung terdiam mendengar Jihan berteriak.

"Bodo amat ya, hak Ayya lah mau bicara apa, kalau mau tenang sana tidur di kuburan," Ayya juga membalas dengan teriakan.

Aku melepas tawa mendengar perkataan Ayya.

"Dasar adek durhaka ya kamu!!"Jihan terlihat emosi, ia memasang wajah sangarnya. Walaupun sama sekali tidak terlihat sangar di mata kami.

"Kenapa?? Aku mau dikutuk jadi batu?? Atau kodok??" Ayya berucap seakan menantang Jihan, melihat mereka seperti ini membuatku terhibur.

"Mau kak Jihan kutuk jadi semut, biar sekali injak langsung mati, hahahahah," 

"Ih, ngga asik deh!" Ayya cemberut, kesal dengan ucapan Jihan.

"Tuh, kak Naaila yang ngga asik," aku mendelik mendengar Jihan menyebut namaku padahal aku dari tadi hanya tertawa.

"Kok jadi bawa kakak??" Ujarku sembari menunjuk diriku sendiri.

"Habisnya kakak ngakak mulu, awas keselek kecoak, ih! Jijik tau kak," ujar Jihan sambil berjalan ke arahku, ia berpindah duduk di sebelahku.

"Apartemen kakak tuh bersih, anti kecoak," jelasku sambil mengibaskan rambut.

"Lebay deh kakak," ujar Ayya lalu berjalan ke sofa di depanku.

"By the way aku mau tanya," sambung Ayya.

Aku mengerutkan keningku. "Tanya apa sih??"

"Tadi kakak kemana aja?? Lama banget tau gak," tanyanya sambil mencumuti popcorn di pelukannya.

"Ketemu Remi," jawabku datar.

"Remi?? Kayak pernah dengar deh," sambung Jihan.

Aku mendengar Ayya mendengus sebelum berkata, "Remi itu pacarnya Kalingga," aku mengacungkan jempol pada Ayya.

"HAH!?! KOK BISA!!?" aku menutup telinga saat mendengar Jihan berteriak.

"Gak usah teriak-teriak kali dek," ucapku kemudian memukul pelan kepala Jihan.

"Yah habisnya kakak gila, ngapain ketemu sama Remi?? Kalau ketahuan gimana??" Jihan bertanya sambil menggebrak meja dan itu sangat memperlihatkan kalau dia khawatir atau marah.

"Gak lah, kakak kan pinter nyembunyiin sesuatu," jawabku sambil mengedikkan bahu.

"Kakak suka jadi peran jahat ya??" aku menendang Jihan sedetik setelah dia bertanya seperti itu. Enak aja dia bilang aku jahat.

"Enggak lah, awalnya kakak diundang sama Kalingga dan lagi awalnya kakak gak kenal sama Remi makanya kakak mau-mau aja, andaikan nih..." aku membenarkan posisi dudukku, lalu melanjutkan.

"Andaikan Remi teman kakak atau sahabat kakak, ya jelas kakak gak mau lah. Tapi ya setelah ketemu Remi, tau gak apa yang kakak pikirin??"

Ayya dan Jihan yang sedari tadi mendengarkan hanya menggeleng. Aku menghela nafas pelan lalu berkata, "kakak pengen buat mereka baikan lagi,"

"HAH?!! kakak tuh gila apa gimana sih?? Ada gitu ya orang ke tiga mau merbaiki hubungan orang?? Biasanya kakak tuh berharap kalau mereka putus. Ayya, ini kak Naaila waras gak sih??" aku mendengus saat mendengat Jihan mengomel kesal padaku.

"Kak, kakak tuh bukan orang jahat kalau kayak gini," perkataan Ayya berhasil membuat aku dan Jihan kebingungan.

"Kok bisa??" tanyaku dan Jihan bersamaan.

"Gini ya, emang sih kakak jahat, kakak sekarang posisinya jadi selingkuhannya Kalingga. Yah, tapi biasanya kalau selingkuhan normal itu maunya mereka putus, bukan malah mau memperbaiki.

Berarti kakak tuh gak egois, kakak gak mentingin perasaan kakak, kakak sadar diri kalau kakak cuman orang ke tiga yang harusnya gak pantas ada di hubungan itu," aku tertegun mendengar semua kalimat yang Ayya lepaskan.

Aku memikirkan kembali kata perkata yang Ayya ucapkan. Aku merasakan ada tangan yang merangkulku, dan itu adalah tangan Jihan.

"Apapun keputusan kakak, kita bakal selalu dukung kakak, ya kan kak Ji??" tangan kiri Ayya menggenggam tanganku disusul dengan tangan Jihan.

"Tapi menurut aku sih, kakak harus tetep lepas dari Kalingga. Soalnya aku ngga mau kakak ada di posisi kaya gini. Takutnya, nanti kalaupun kalian beneran pacaran, kakak malah diselingkuhin juga sama Kalingga." Jihan berucap panjang dengan wajahnya yang terlihat khawatir.

Benar juga, tidak kecil kemungkinan, Kalingga akan melakukan hal yang sama bila seperti ini.

"Yaaa walaupun aku kesel ya sama Kalingga, yaudah gak pa-pa, terserah kakak aja, tapi kalau kakak sakit hati jangan lupa bilang ke kita, oke??" Jihan melanjutkan, aku tidak tahan untuk memeluk mereka berdua.

Astaga aku berterima kasih pada Tuhan sudah memberikanku kedua adik yang benar benar selalu ada di sisiku.

***

Malam ini aku memutuskan untuk bicara pada Kalingga. Tapi setelah Kalingga menyelesaikan tugasnya. Yap, aku sedang di kamar Kalingga untuk yang kesekian kalinya. Duduk di tepi kasur sambil menatap sinar bulan yang di halangi badan Kalingga.

Ahhh itu membuat tubuhnya bersinar.

Kalingga dengan tugas - tugasnya membuatnya terlihat semakin tampan, kacamata yang ia gunakan, wajahnya yang terlihat sangat fokus. Sayang sekali lelaki di hadapanku ini harus menjadi salah satu lelaki brengsek yang pernah aku temui.

"Kalingga, aku mau bicara," kataku akhirnya.

"Bicara saja," ia membalas dengan wajah datar, seperti biasa.

"Hadap sini dong," aku berujar.

"Masih belum selesai ini sayang,"

Awalnya aku berpikir mungkin ia akan berkata 'maaf kukira kau Remi,' tapi ternyata tidak. Aku merasakan pipiku memanas karena panggilan sayang darinya. Tapi, itu tidak membuatku berubah pikiran.

Aku merebahkan tubuhku, kemudian menghela nafas kasar. Mungkin ia mendengar dengan jelas helaan nafasku, ia langsung beralih, berpindah ke hadapanku. Ia menarik kedua tanganku untuk kembali duduk dan menghadap dirinya.

"Kamu mau ngomong apa, sayang?" Ia mendekat, tangannya bermain dengan rambutku kemudian menghirup aroma rambutku.

Aku tertegun dengan jarak yang sangat tipis ini, aku meraih pipinya dengan kedua tanganku. Kemudian mengusap pipinya dengan lembut.

"Aku mau bantuin kamu baikan sama Remi,"

"Hah, kamu gila ya??"

The Third WomanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang