20 || Paksaan

34 6 0
                                    

Aku dan Raja sedang terjebak di pikiran masing-masing, suasana menjadi runyam sejak kedatangan Kalingga yang sangat tiba-tiba. Aku bermain dengan makananku sejak tadi, sembari sesekali mencuri pandangan pada Raja yang fokus melahap makanannya.


Aku bingung setengah mati, haruskah aku membuka obrolan duluan? Atau ikut diam sampai dia yang membuka obrolan??

"Jangan dibuat mainan gitu makanannya Naaila, kamu kenapa??" Akhirnya ia membuka obrolan terlebih dahulu, mungkin sudah geram melihatku yang bermain dengan makananku.

Aku mengerucutkan bibirku, hanya membalasnya dengan gelengan kepala sampai kusadari jika barusan ia memulai obrolan di antara kita, hampir saja aku menyunggingkan sebuah senyuman.

Aku tidak bisa berhenti untuk tidak memikirkan ucapan Raja pada Kalingga beberapa saat lalu.  Di dalam sana hatiku sudah tidak karuan sejak saat itu, rasanya kacau, hatiku bergemuruh sangat kencang.

Melihat Raja membungkam mulut Kalingga dengan kata-katanya membuatku senang setengah mati. Mampus kamu. Itulah satu satunya hal yang aku pikirkan.

"Naaila, makan atau aku yang makan kamu."

Aku masih membalas dengan menggelengkan kepalaku, lalu sedetik kemudian aku membulatkan kedua mataku saat menyadari perkataan yang Raja lontarkan.

"Hah?? Gimana??" Tanyaku untuk memastikan perkataan Raja barusan.

"Makan nasinya sekarang atau aku yang makan kamu. Kurang jelas??" penekanan di setiap kata yang Raja ucapkan membuatku merinding. Aku buru-buru melahap nasiku, mungkin terdengar seperti candaan tapi aku takut jika ia akan memakanku sungguhan.

Setelah menghabiskan makananku aku bersandar di sofa, meregangkan tubuhku yang kekenyangan. Sesekali aku menepuk perutku yang seketika membesar. Raja yang awalnya duduk di bawah jadi ikut duduk di atas sofa, tepat di sebelahku.

Aku menyempatkan diri untuk menurunkan makanan yang baru saja masuk, sebelum pergi menghadapi dunia yang keras di luar sana.

Ia tersenyum sambil menatapku, bisa kulihat dari ekor mataku sejak tadi kepalanya menoleh ke arahku. Aku yang gemas jadi ikutan menatapnya, jadi kami sedang saling tatap-tatapan.

"Aku heran kenapa kamu bisa terjebak dengan laki-laki seperti dia," ujar Raja.

Aku hanya menggeleng, "akunya aja yang ngga tau diri, kok."

"Naaila, jauhi laki-laki itu mulai sekarang ya??"

Aku terdiam untuk sementara waktu, memikirkan kembali semuanya. Apa yang Kalingga lakukan padaku, walau sebelumnya ia menjadi peran utama laki-laki di hidupku tapi sekarang menjadi peran antagonis karena sikapnya yang brengsek.

Bukankah perasaanku sebelumnya hanya karena aku menginginkan seorang pacar dan Kalingga datang tepat waktu saat itu.

Hanya perasaan dimana aku membutuhkan sentuhan dan Kalingg datang setelahnya. Bukan karena aku benar-benar mencintainya dengan sepenuh hati, apa itu benar??

Aku menatap Raja dengan tatapan yang begitu dalam, dia itu datang di waktu yang sangat tepat. Disaat aku membutuhkan orang yang benar-benar mengakui diriku, menghargai diriku.

Aku melemparkan senyum padanya.

"Iya," jawabku singkat.

Raja mengernyitkan keningnya, "jawaban iya aja sampe mikir berjam-jam??" Lalu ia terkekeh.

"Masa sampe berjam-jam sih??" Tanyaku tidak percaya, sampai aku buru-buru melihat jam dinding. "Ih engga kok, gak nyampe lima menit juga." Aku kembali mempoutkan bibirku kesal.

"Becanda Naaila, lagian percayaan banget sih." Ia menyentuh kedua pipiku lalu memainkan tangannya disana, mungkim ia sedang membayangkan pipiku adalah jelly yang bisa ia mainkan sesuka hatinya.

"Emang aku sebego itu ya??" Tanyaku serius.

Raja terlihat sedang berpikir, "dilihat dari gimana hubunganmu dengan Kalingga sih, iya kamu sebego itu."

Aku menghela nafas, benar juga.

"Ah, aku sedih,"

***

Aku meregangkan seluruh tubuhku setelah usainya mata kuliah yang begitu menyeramkan bagiku. Seisi kelas sudah keluar sejak tadi dan hanya diriku yang masih setia duduk di dalam kelas sendirian.

Iya, karena memang malas saja mau keluar. Aku memilih untuk diam dulu disini dalam beberapa menit kedepan.

"Naaila." aku terkejut saat merasakan ada tangan yang tiba-tiba menyentuh pundakku.

"Eh! Astaga!"

Aku sontak menoleh ke belakang dan yang kutemukan adalah Kalingga. Aku memutar bola mataku dengan malas, laki-laki ini lagi. Mau apa sih??

"Naaila, tolong... jangan tinggalin aku ya??" Kali ini Kalingga mendekat padaku, benar-benar mendekat sampai aku dan dirinya tidak ada jarak yang tersisa.

"Kamu gila ya, kamu sendiri yang milih buat sama Remi. Dari awal juga hubungan kita udah salah Kalingga. Minggir ngga!?" Aku berteriak dengan sangat kencang sampai suaraku memenuhi seluruh ruangan yang begitu besar ini.

Aku berusaha mendorong dada Kalingga agar tidak semakin mendekat padaku, tapi ia malah menggapai pergelangan tanganku dan menggenggamnya dengan erat.

"Aku engga puas sama Remi saja, aku butuh kamu." Nada bicara Kalingga semakin terdengar sedih namun tetap saja ini pemaksaan.

"Aku janji bakal ngelakuin apa aja buat kamu, asal kamu tetap disini sama aku ya? Aku beneran ngga mau kehilangan kamu." Ia melanjutkan, ucapannya benar - benar membuatku muak.

"Kalau gitu cari orang lain aja sana," ketusku.

"Ngga bisa Naaila, aku udah nyaman sama kamu!" Ia berteriak, tangannya semakin erat menggenggam tanganku hingga aku meringis dengan kuat.

"Kalingga, sakit!" Aku masih berusaha menarik tanganku, lalu aku menghela nafas sebentar, "aku udah salah masuk ke dalam hubungan kalian, harusnya aku ngga pernah makin ngerusak hubungan kalian. Jadi, mending kamu urusin aja Remi!" Aku menarik paksa tanganku, tapi nihil. Tenaganya lebih kuat dari tenagaku.

"Siapa yang perduli tentang Remi?! Aku mau kamu Naaila, aku pacarin dia cuman buat uang aja. Dia orang kaya, dia bisa bantuin aku." Ucapan Kalingga membuatku membulatkan mata, bibirku menganga tidak percaya dengan niat busuknya ini.

Aku tidak pernah tahu di dalam sana, Kalingga memang seburuk itu. 

"Kamu bener - bener gila, aku nyesel pernah kenal kamu, Kalingga. Lepasin aku!" 

Aku berteriak lagi, kali ini dengan seluruh tenaga yang aku punya. Aku harap ada siapapun, entah siapapun masuk ke dalam ruangan ini dan menjauhkan si brengsek satu ini dariku.

Ia beralih memelukku, mendekap tubuhku hingga rasanya sesak, aku tidak bisa bernafas.

"Kalingga, tolong jangan maksa aku kayak gini!"

"Aku ngga bakal berhenti sampai kamu nerima aku lagi, Naaila." Ujarnya dengan nada yang sangat memaksa.

Bruakk!!

"HEH, BANGSAT!! NGAPAIN DEKET DEKET SAMA NAAILA!!"

"PLEASE, TOLONGIN AKUUUU!!" Teriakku sambil meringis kesakitan.

Untunglah dua manusia itu datang tepat waktu, sebenarnya sedikit terlambat. Tapi tidak apa, yang penting aku akan jauh - jauh dengan manusia brengsek yang masih saja mendekap tubuhku dan memegang tanganku dengan eratnya.


The Third WomanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang