17 || Kecewa

39 6 0
                                    

Aku melihat jam berulang kali, melihat kearah timur dan barat. Menunggu laki-laki yang baru saja menyandang sebagai "kekasihku" itu. Aku berusaha menahan kesal, sudah satu jam lamanya Kalingga tidak muncul dengan mobilnya.

Chat dariku juga tidak dibalas, cuaca sekarang sedang tidak mendung alias panas sekali. Bahkan cuaca sangat tidak bersahabat denganku hari ini. Kalingga juga masih membuatku menunggu di atas terik matahari yang mungkin akan membuatku gosong sebentar lagi.

Aku menelfonnya, berulang kali. Tapi tidak ada jawaban, nomernya aktif tapi dia tidak menjawab. Salah kah kalau aku kesal saat ini? Aku ingin mengumpat padanya.

Ddrrrttt
Ddrrtttt

Aku melihat ponselku yang bergetar, berharap kalau itu pesan dari Kalingga. Perasaanku bertambah kesal, karena itu bukan dia. Itu dari Maya, aku mengangkatnya, dengan emosi yang menggebu-gebu.

"Apa sih?!" Teriakku.

'Wowww sabar dong sabar,'

"Astaga, iya kenapa? Tolong beritahu aku kabar baik," aku memijit pangkal hidungku.

'Bisa kau datang ke cafe honey, sekarang!'

Aku melihat ponselku heran dan menaruhnya lagi di samping kupingku, "kenapa? Aku mau naik apa kesana?"

'Kamu harus liat ini, naik taksi nanti aku yang akan bayar, cepat!!'

Tut tuttt

Aku mengkerutkan keningku aneh, tapi biarlah. Aku memberhentikan taksi, lalu menuju cafe yang Maya katakan. Diperjalanan aku masih setia menghubungi Kalingga, tapi tidak ada balasan.

Oke, aku sangat kesal.

Tidak biasanya dia tidak bisa dihubungi seperti ini. Maksudnya, aku itu pacarnya kenapa dia tidak mau mengangkat telfonku?? Aku ingin berteriak frustasi.

Akhirnya taksi itu berhenti di depan Cafe Honey, aku membayar sesuai argo yang ditentukan. Aku keluar dengan terburu-buru, aku melihat ke sekeliling, Maya melambaikan tangannya padaku.

Aku sedikit heran, kenapa ia duduk di luar biasanya dia paling suka duduk di dalam. Hm, entahlah.

"Ada apa?" tanyaku sambil duduk di depannya.

Ia mendekat, menarik nafas perlahan dan menghembuskannya. Aku yang melihatnya otomatis mengikutinya, "apaan sih!" tegurku.

"Jangan kaget, jangan emosi, liat kedalam arah jam sebelas," katanya pelan.

Aku mengerutkan keningku, segera aku mengalihkan pandanganku ke arah jam sebelas, disana aku melihat satu pasangan, laki-lakinya membelakangi kami dan wanitanya??

Bisa kulihat jelas kalau itu Remi, mereka duduk dengan tangan yang bertautan. Aku semakin heran dan melihat ke arah Maya lagi, "emang kenapa?"

"Itu Kalingga, masa kamu ngga sadar sih? Itu Kalingga, dari model rambutnya, bahunya, bajunya dan lihat mobilnya," ia menunjuk ke arah mobil Kalingga yang terparkir tepat di depan cafe, aku sontak kembali melihat ke arah pasangan itu, mendalami kembali punggung lelaki itu.

Aku baru sadar kalau itu benar-benar Kalingga.

Jantungku mulai berdebar kencang, melihat mereka. Remi dan Kalingga, bergandengan tangan, di cafe, berdua, bukannya mereka sudah putus?? Jadi alasan dia tidak menjemputku, karena dia sedang bersama Remi??

Dia tidak mengangkat telfonku dan tidak membalas pesanku karena sedang bersama Remi?? Boleh kah aku menghampiri mereka, menampar Kalingga di depan sana.

Tanganku mengepal, aku geram. Hatiku benar-benar patah sekarang, mataku memanas, air mata mulai menumpuk di mataku. Satu kedipan lagi ini akan jatuh dan benar saja air mata itu jatuh, melewati pipiku.

Aku tidak lagi bisa menahan emosiku, aku segera melangkahkan kakiku dengan sangat pelan ke arah meja yang ditempati Kalingga.

Sampai tepat di belakang mereka aku menyeka air mataku, tersenyum dan menyapa mereka. "Hai Kalingga, hai Remi! Aku dari tadi nungguin kamu di depan kampus loh," kataku sambil memegang pundak Kalingga.

Kalingga yang melihatku langsung melepaskan gentgaman tangannya pada Remi, sedangkan Remu menatap Kalingga dengan tatapan bingung.

"Eh, Naaila, kamu kesini sama siapa??" Kalingga berdiri dengan wajah yang sedikit ketakutan. Remi melihat diriku dengan pandangan yang tidak mengenakkan.

"Aku sendiri kesini, aku nungguin kamu, mmm kamu sendiri ngapain disini??" Tanyaku, berupaya menyembunyikan kekesalanku dibalik senyuman manisku.

"Gak ngapa-ngapain kok, cuman kebetulan ketemu aja," jawabnya kikuk, ah, he is a bad liar.

"Kebetulan ketemu??" Tanya Remi bingung.

"Oke, pulang yuk, Remi kita pulang dulu ya soalnya ada tugas banyak banget nih." Kemudian aku langsung menarik tangan Kalingga, meninggalkan Remi yang kebingungan disana. Aku ingin segera mengamuk padanya.

***

"APA MAKSUDMU HAH?!" suaraku menggema di ruangan ini. "Aku menunggumu Kalingga Gentala, tapi kau malah berduaan dengan Remi! Kau bilang kau sudah mengakhiri semuanya. Kenapa kau harus seperti ini disaat kita baru pacaran?!" aku meluapkan semuanya, di hadapannya.

"Aku minta maaf, aku benar-benar lupa kalau harus menjemputmu tadi,"

"Bohong! Itu karena hanya Remi yang ada di kepalamu," aku mengambil tasku, hendak keluar dari rumah ini.

"Naaila, aku mohon jangan seperti ini," ujarnya sambil menahan tanganku. Dengan cepat aku menepisnya.

"Aku kecewa Kalingga, kenapa kau harus berbohong padaku?? Kenapa kau tidak menjelaskannya padaku??" Tanyaku sambil terisak.

Kalingga terdiam lalu menghela nafas kesal, "itu karena kamu ingin menyatukan kami! Aku tidak ingin kehilangan kalian berdua. Tidak bisakah kau paham?!" Aku benar-benar terkejut mendengarnya berteriak.

"Naaila, aku mencintai kalian berdua. Aku tidak bisa memilih diantara kalian berdua, tolong pahami itu." Lanjutnya.

"Baru satu hari Kalingga! Baru sehari kita berpacaran kenapa kau membuatnya kacau!?" Aku bertanya dengan emosi yang meledak-ledak.

Ia kembali meraih tanganku, kemudian menggenggamnya dengan erat. "Kita sudah saling memiliki sejak awal," jawabnya santai. "Kau saja yang tidak pernah puas dengan perhatianku."

"Wah, aku tidak tau kamu sebrengsek ini Kalingga."

Ia berjalan mendekatiku, lalu menyejajarkan wajahnya dengan wajahku. "Aku memang seperti ini sejak awal Naai, kamu saja yang bodoh," kemudian ia tersenyum dengan lugunya.

Mendengar itu membuat hatiku sakit setengah mati, dan pada akhirnya aku memutuskan untuk pergi sore itu. Meninggalkan dirinya, dan ternyata dia juga tidak mengejarku. Baguslah jadi aku bisa pergi dengan tenang.

Mungkin jika hanya bersapa ria tak apa, tapi pegangan tangan? Makan berdua? Dan aku dilupakan? Itu sakit sekaligus mengecewakan.

***

Si pemeran utama lupa, kalau sejak awal dia cuman pemeran pendukung di ceritanya.

The Third WomanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang