08 || Kedatangan Saudara

82 16 0
                                    

"Kamu itu persis angin, aku kira kamu hanya menghampiriku. Ternyata kamu juga menghampiri yang lain," - Naaila

***

Aku bangun karena merasakan sinar terik di pelupuk mataku. Aku melindungi mataku dari cahaya yang begitu menyengat menggunakan tanganku. Aku memegang kepalaku karena tiba-tiba pusing menjalar di kepalaku.

Aku memijit pangkal hidungku, ahh benar juga semalam aku tertidur di bawah.

Aku melirik jam di tangan kiriku dan untung saja ini masih jam tujuh. Aku masih punya waktu satu jam untuk bersiap. Baru saja aku hendak turun dari kasur empuk itu, ada seseorang masuk ke dalam kamar dan itu adalah Kalingga dengan nampan besar di tangannya.

"Aku punya makanan," dia datang dan langsung menaruh nampan itu di sampingku, wajahnya datar.

Aku menghela nafas kesal, ahh, wajah ini lagi.

"Kamu kesal??" tanyaku perlahan, aku tidak ingin menyulut amarahnya di pagi yang cerah seperti ini.

"Tidak," aku membenci dirinya yang selalu menyembunyikan perasaannya.

"Cerita saja, aku akan mendengarkan," aku beralih duduk di hadapannya, menggenggam tangannya, berusaha meyakinkan dirinya bahwa aku bisa dipercaya.

Ia menghela nafas kasar. "Baiklah, aku ingin menceritakan sesuatu," dia menunduk, tidak berani menatap mataku.

"Cerita tentang apa??"

"Tentang Remi," hatiku nyeri kembali saat Kalingga mengucapkan nama itu.

Berhentilah berdenyut hati, sialan, aku tidak membutuhkan rasa sakit itu sekarang.

"Ceritalah,"

"Aku sayang padanya, tapi, kurasa dia terlalu sibuk, dia bahkan menelfon diriku hanya sebatas menanyai kabar atau jika tidak dia hanya akan minta maaf padaku, aku merindukan saat-saat bersamanya, aku ingin jalan-jalan dengannya, aku ingin melakukan banyak hal dengannya. Tapi, dia tidak memperdulikanku, dia mencintaiku tapi dia lebih mementingkan kesibukannya," Kalingga bercerita dengan antusias, namun raut wajahnya terlihat sedih.

Ia terluka dengan perilaku Remi padanya.

Selama ia bercerita, aku menyadari satu hal. Aku mencintainya, aku rasa aku mencintai lelaki yang masih mencintai pasangannya. Maafkan aku dengan lancangnya memasuki kehidupan pasangan ini.

Kalingga, aku tidak tau lebih tepatnya tujuan kehadiranku di hubunganmu. Maafkan aku, tapi aku tidak ingin menghancurkan hubungan kalian. Jadi, aku akan membuatmu jatuh cinta padaku dan membiarkan dirimu sendiri yang menghancurkan hubungan kalian.

Aku menatapnya sendu, aku membenci mata sedihnya. "Kalingga, kumohon jangan bersedih, aku di sini, aku akan selalu ada di sampingmu Kalingga. Aku tidak akan meninggalkanku apapun itu yang terjadi," aku membelai pipinya dan menuntunnya menatap mataku.

Dia tersenyum lalu ia menangkup kedua pipiku. Ia menuntunku untuk berdiri, kemudian aku melingkarkan tanganku di lehernya.

Detik selanjutnya dia menciumku, mencium bibirku untuk yang kedua kalinya. Persetan dengan hubungan antara Kalingga dan Remi, aku mencintainya, aku membutuhkan sentuhan hangat Kalingga. Aku mungkin tidak memiliki hatimu, tapi aku memiliki fisikmu Kalingga, itu lebih dari cukup.

***

Jujur saja, kejadian tiga jam yang lalu di kamar Kalingga benar-benar membuatku gila. Aku semakin yakin kalau aku mencintainya, ahh! aku tidak perduli lagi tentang membuatnya menyesal, karena akulah yang menyesal telah meremehkan dirinya.

Wajah itu sungguh tidak bisa hilang dari bayanganku, tangannya yang indah, mungkinkah dia adalah ciptaan Tuhan yang paling sempurna??

Aku belum pernah melihat lelaki dengan wajah yang tampan dan manis sekaligus. Dia memiliki wajah itu, jika aku jadi Remi aku akan meninggalkam semua kesibukanku demi Kalingga.

Demi lelaki yang mencintaiku.

"Naaila!!"

"Iya ada apa??" aku tersentak saat dosen memanggil dengan nada yang sangat tinggi. Ah dasar Bu Hasa, dia selalu seperti itu, memanggil orang dengan seenaknya dan lagi dia menghancurkan lamunan indahku.

"Aku mendapat izin dari keluargamu untuk membiarkanmu pulang sekarang, jadi silahkan pulang,"

Aku mengernyit bingung, untuk apa keluargaku meminta izin. Lagi pula mereka tidak bilang apa-apa padaku.

Aku menatap Bu Hasa sebelum menjawab, "baik bu,"

Aku tersenyum penuh kemenangan pada Maya dan Riana yang sedang merengut karena bosan di dalam kelas.

Aku membungkuk pada Bu Hasa sebelum berjalan keluar kelas. Aku mendorong pintu kelas dan betapa terkejutnya aku mendapatkan Kalingga sedang berdiri di sana.

"Ah, kamu ngapain di situ??" tanyaku sambil menunjuk lantai yang dipijaknya.

"Aku bosan di kelas jadi aku memutuskan untuk pergi ke kelasmu." Aku berkacak pinggang mendengar jawabannya.

"Terus, kamu mau apa di sini??"

"Menjemputmu," aku tersenyum mendengar satu kata yang bisa membuat hatiku damai.

"Emang kamu tau, aku mau pergi kemana??" aku bertanya sambil menaik turunkan alisku.

Baru saja ia mau membuka suara, ponselku lebih duluan berdering sehingga aku menutup mulutnya menggunakan jari telunjukku.

"Iya halo kak,"

'Dek buruan jemput kakak,'

"Hah, jemput dimana??" aku menggaruk jidatku merasa bingung dengan apa yang dibicarakan kak Abila.

'Kakak sudah ada di bandara, buruan dek kasian Ayya sama Jihan nih,'

"Kakak jadi kesini?? Kok gak bilang dulu sih sama aku??" aku menghentakan kakiku saat tau kalau kak Abila dan kedua adikku sudah ada di sini tanpa bilang bilang padaku.

'Ini kan udah bilang, yaudah buruan kakak tunggu,'

"Ah, baiklah,"

Bip...

Setelah mematikan dan memasukkan ponselku ke dalam saku, aku langsung menatap Kalingga. "Kal, anterin aku yuk,"

"Kemana??"

"Ke bandara,"

"Ngapain??"

"Jemput kakak sama adek aku," ujarku tersenyum. Kalingga hanya membalas dengan anggukan lalu menggandeng tanganku dan kami berjalan ke arah parkiran.

Nanti, aku akan memperkenalkanmu Kalingga, di depan adek dan kakakku sebagai orang yang aku cintai.

***

Ngga tau diri ya, maaf.

The Third WomanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang