Axelandra - 1

3.4K 180 36
                                    

“Ayah?” panggilku dari balik pintu kaca halaman belakang.

Ayahku tetap fokus pada koran yang ada di tangannya. Tanganku yang sedang menggenggam gagang pintu kaca itu semakin gemetar mengingat perempuan jahat bernama Jeanny membuang Giya ke tumpukan sampah dedaunan yang biasanya akan di buang oleh Hessy —kepala pembantu di rumahku — pada pukul 5 sore.

Sekali lagi aku melirik jam dinding yang terpampang di dinding rumahku yang berwarna abu – abu ini. Abu – abu... seperti nasibku?   Ah... kata – kata itu terlalu berat untuk seorang anak kecil sepertiku. Jam telah menunjukkan pukul lima kurang lima belas menit.

Yang jelas, aku harus mengambil Giya sebelum Giya di buang. Masalahnya, sedari tadi aku tidak menemukan Hessy di sudut manapun di rumahku.

“Ayah?” panggilku lagi.

Kali ini Ayah menoleh, “Rara?”

Aku berjalan perlahan mendekati Ayah yang sudah menutup koran yang tadi ia baca.

“Rara... Rara... Rara mau... mau me—mengambil... Giya.” kataku ragu.

Ayah menaikkan sebelah alisnya, “Giya?”

“Iya, Ayah. Boneka beruang pemberian Ibuku.” jawabku sambil mengangguk – ngangguk.

“Kan, sudah rusak.” kata Ayah sambil mengangkat cangkirnya yang berisi teh hangat lalu meniupnya.

“Tapi Ayah...”

“Kita beli saja yang baru, Rara.” suara itu memutus perkataanku. Si pemilik suara sekarang sedang mengelus rambutku lembut. Tapi sesungguhnya, sejujurnya dan sebenarnya, hal manis ini hanya dilakukannya bila kami ada di depan Ayah. Licik.

“Iya, Rara. Benar kata Mom Jeanny.” sahut Ayah lalu menyesap teh hangatnya.

Aku menatap perempuan bernama Jeanny itu yang jelas jauh lebih tinggi dariku itu.

“Nanti malam kita pergi keluar untuk membeli boneka baru untukmu.” Perempuan bernama Jeanny itu tersenyum kepadaku. “Kamu mau yang seperti apa? Panda? Kelinci? Atau mungkin Barbie? Yang seperti milik Reyna itu.”

“Tidak!” seruku.

“Rara! Jangan bersikap kasar pada Mom Jeanny!” bentak Ayah.

Aku menunduk. Menatap kakiku yang terbungkus sandal berwarna hijau pucat.

“Rara tidak mau boneka yang lain. Rara hanya mau Giya. Rara tidak mau boneka Barbie seperti milik Reyna. Rara tidak butuh, Rara tidak suka. Rara hanya suka boneka beruang seperti Giya. Dia manis.” kataku.

“Tapi bonekamu itu sudah jelek.” kata Jeanny dengan nada mengejek.

“Tidak! Giya tidak jelek dan tidak akan pernah jelek sampai kapanpun!” kataku tak mau kalah.

“Tapi tangan bonekamu itu sudah robek.”

“Aku tak peduli. Aku sudah bilang, kan, kalau aku pernah di ajari menjahit oleh ibuku. Aku bisa menjahit sendiri tangan Giya bila tak ada yang mau menolongku.”

“Tak, usah, Rara. Nanti tanganmu terkena jarum tajam.” kata Ayah.

“Lebih baik nanti kita beli saja Barbie. Barbie juga tak kalah manis bahkan jauh lebih manis dari boneka pemberian Cara. Barbie itu cantik, seperti Reyna.” tambah Jeanny, masih dengan nada mengejek.

“Tidak. Barbie itu menyeramkan, begitu juga anakmu itu!” seruku. Lalu aku segera berlari meninggalkan halaman belakang rumahku.

Tak ada yang menahanku pergi. Memang, tak ada yang peduli padaku. Biarkan saja. Aku juga tak peduli. Yang harus kulakukan sekarang, menyelamatkan Giya.

AxelandraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang