Aku menutup pintu rumah rapat - rapat setelah Devan keluar. Aku menyandarkan tubuhku di balik pintu kayu ini. Aku memejamkan mataku. Setelah beberapa detik, kembali terngiang peristiwa yang baru saja terjadi. Devan. Reyna. Dua nama itu melayang - layang dipikiranku. Entah kenapa hatiku seperti tergores ketika aku menyimpulkan bahwa Devan kesini, menemuiku, hanya untuk... mengatakan itu.
Aku membuka mataku lalu mengerjapkannya beberapa kali. Setelah itu aku menghembuskan nafas lega. Namun, beberapa detik kemudian, suara Devan yang memohon padaku itu kembali terngiang. Buru - buru aku mengusap wajahku. Dan suara itu menghilang dan tak lagi terngiang. Tapi kali ini yang terdengar malah suara mobil Jeanny disambut dengan seruan yang keluar dari mulut Reyna.
Aku langsung membuka korden. Benar saja, Reyna baru saja turun dari mobilnya dan berlari kecil mendekati Devan. Bodoh. Ini bodoh. Mengapa Devan jalan begitu lambat sehingga sekarang ia masih ada di pekarangan rumah? Ah, pasti Devan mempunyai alasan tepat yang masuk akal untuk dikatakan pada Reyna. Pasti.
"Mengapa kau ada disini, Devan?" tanya Reyna.
Devan tersenyum pada Reyna. "Aku mencarimu. Kau darimana?"
"Aku baru saja pergi makan bersama Mom." jawab Reyna.
"Aku sudah datang sejak setengah jam yang lalu. Aku sudah duduk di ruang tamu namun kau tak kunjung datang juga." dusta Devan. Aku tersenyum senang mendengarnya.
"Siapa yang membukakan pintu untukmu?" tanya Reyna.
"Alexandra. Eh, siapa namanya?" tanya Devan, berbohong. "Saudaramu itu."
Reyna memutar bola matanya. "Axelandra. Dan, hmm... Dia bukan saudaraku."
"Ehm, baiklah," sahut Devan. "Aku pulang dulu, ya?"
"Mengapa secepat itu?" tanya Reyna, seperti mencegah Devan.
"Cepat? Aku sudah datang dari tadi, Reyna." bantah Devan. "Dan perutku sudah meronta - ronta meminta jatah."
"Di dalam ada makanan, Devan." kini Jeanny angkat bicara setelah Reyna menatapnya, meminta bantuan.
"Tidak usah. Terima kasih. Aku pergi dulu!" seru Devan. Ia langsung berlari melewati pagar yang belum tertutup.
Aku menatap kepergian Devan. Lama kelamaan ia mengecil... mengecil... menjadi titik... lalu, hilang dari pandanganku. Aku tersenyum melihatnya. Benar kataku, Devan pasti mempunyai alasan yang tepat untuk ia katakan pada Reyna. Dan--
"Sedang apa kau disitu, Axelandra?!" pekik Jeanny. Aku terlonjak kaget. Aku... tak mendengar suara pintu terbuka.
"A--aku..."
"Kau menguping? Mengintip? Dan memata - matai?" cecar Reyna.
"Tidak." balasku penuh penekanan.
* * *
Aku segera menutup korden jendela kamarku yang menghadap ke halaman depan rumah. Setelah memastikan Reyna dan Devan sudah jauh dari rumah, aku langsung keluar kamar dan turun ke bawah. Aku memastikan bahwa tak ada orang. Oh iya, aku baru ingat kalau Jeanny sedang keluar rumah sejak pagi ini. Ia mengatakan kalau ia ada pertemuan ibu - ibu sekaligus arisan. Aku berlari - lari kecil menuju gerbang setelah menutup pintu rapat - rapat.
"Mau kemana, Nona?" Suara satpam rumahku membuatku terlonjak kaget.
"Keluar." sahutku. "Beli sesuatu, sebentar."
Satpam berkumis itu langsung melebarkan gerbang rumahku yang tinggi. Aku tersenyum padanya lalu melangkahkan kakiku keluar gerbang. Kalau dipikir - pikir, satpam ini menyebalkan juga. Bukannya aku tidak selebar mobil? Aku kecil karena aku hanyalah seorang gadis kecil yang mungil. Tetapi, satpam itu membukakan gerbang untukku terlalu lebar. Entahlah.

KAMU SEDANG MEMBACA
Axelandra
Novela JuvenilAdakah yang tertarik untuk membaca kisah seorang gadis kecil bernama Axelandra? Tak usah panjang lebar lagi. Hmm, bagaimana kalau kalian langsung membacanya? Copyright © 2014 by syaapiraa