Axelandra - 9

2.2K 133 15
                                    

Bruk!!!

Hanya suara itu yang kuingat sebelum aku benar - benar tak sadarkan diri.

Aku membuka kedua mataku. Sinar yang amat silau berlomba - lomba memasuki mataku. Aku mengucek mataku perlahan ketika mendengar suara seseorang. Kini, mataku benar - benar terbuka dan aku bisa melihat jelas. Aku berada di atas sofa panjang dan lebar yang ada di ruang tengah, rumahku. Mengapa aku bisa disini? Ada apa? Apa yang terjadi tadi?

"Axelandra, kau ini sudah menyusahkanku!" seru Reyna.

Aku menoleh dan tak jadi angkat bicara ketika Devan muncul di hadapanku.

"Tadi kau pingsan." ucap Devan, seakan - akan bisa membaca pikiranku.

"Pingsan?" tanyaku bingung. Aku langsung memegangi keningku yang tiba - tiba terasa berdenyut.

"Darah?!" pekikku. Benar saja, beberapa jari tangnaku yang baru saja menyentuh keningku penuh dengan darah merah segar.

"Tadi kau berlari dan menabrak tiang lampu taman hingga kau pingsan! Dan kau membuat kami kesusahan!" seru Reyna. "Benar 'kan, Devan?"

Devan tersenyum sebelum akhirnya dia berkata mantap, "tidak."

"Aku tidak merasa kesusahan ataupun kerepotan." sambungnya. "'Kan bukan kita yang menggotong Rara ke rumah."

Reyna mendengus kesal. Sedangkan aku tersenyum mendengar perkataan Devan. Reyna yang melihat itu, memelototiku.    

****

 Reyna menyemprotkan parfum barunya di daerah pergelangan tangannya. Lalu ia menghirupnya. Ia sempat melirikku sedetik sambil tersenyum licik. Aku tak memedulikannya. Reyna menyemprotkan parfumnya ke udara lalu ia berputar layaknya seorang penari balet di antara udara yang sudah terkontaminasi oleh zat pewangi itu.

 "Mau kemana kau?" tanyaku.

Reyna melirikku. "Kau bertanya pada siapa?"

"Siapapun yang ada di ruangan ini." jawabku sambil memutar bola mataku.

"Oh." Reyna menjepitkan jepitan berbentuk pitanya di atas rambutnya. "Jadi kau berbicara pada guci itu."

Aku menatap Reyna sebal. Dan ia hanya tertawa tak jelas.

"Terserah kau." ucapku.

* * *

"Sore yang indah, bukan?" tanya Devan.

Yang di tanya tersenyum malu sambil mengangguk.

"Aku jarang jalan - jalan ke taman seperti ini." ucap Reyna.

"Benarkah?" sahut Devan. Mereka pun duduk di salah satu bangku panjang dari kayu.

"Iya." Reyna mengangguk. "Paling tidak, aku hanya ke taman di dekat rumahku, yang kemarin itu."

Devan tersenyum. "Itu pun jarang?"

"Iya." Reyna mengangguk sekali lagi. "Aku tak pernah ke taman ini. Walaupun komplek rumah kita berdekatan. Tapi aku belum pernah ke taman ini sebelumnya."

Aku menjilati es krim stroberiku yang hampir meleleh karena sedari tadi kubiarkan tanpa kumakan. Aku keasyikan menguping pembicaraan mereka.

Aku melirik lagi mereka yang tak jauh dariku. Mereka sudah tak ada. Lenyap. Kini bangku yang tadi mereka duduki sudah kosong. Aku langsung mencari - cari mereka. Aku menatap sekeliling taman yang ramai ini. Tak ada. Aku menurunkan kacamata hitamku, yang sengaja kupakai sebagai alat penyamaranku. Namun mereka tetap tidak ada.

AxelandraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang